Setelah Pengadilan Agama memeriksa alasan dan syarat-syarat permohonan izin tersebut, maka Pengadilan Agama menempuh prosedur berikutnya, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 42:
a. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
b. Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Kemudian Pasal 43 mengatur tentang putusan Pengadilan terhadap permohonan pemohon. Pasal 43 menyatakan, “Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang”. Pasal 44 mengatur tentang larangan bagi Pegawai Pencatat Nikah untuk mencatatkan perkawinan poligami yang tidak mendapat izin dari Pengadilan Agama. Pasal 44 ini menegaskan, “Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43”.
Prosedur dan tata cara pengajuan izin poligami yang tertuang dalam Pasal 40-44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ini selanjutnya diperkuat oleh Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut:
a. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
b. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
c. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Prosedur dan tata cara pengajuan izin poligami ini juga mengisyaratkan bahwa kebijakan pemerintah mengenai poligami menganut prinsip/asas poligami yang diperketat. Bahkan, boleh dikatakan bahwa prosedur dan tata cara ini, sebagiannya, sudah “keluar” dan “bertentangan” dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam literatur-literatur hukum Islam (fiqh).