Mohon tunggu...
Theresia Rini Susanti
Theresia Rini Susanti Mohon Tunggu... Novelis - Penulis lepas

Penulis di platform novel online sejak 2019, setelah 20 tahun menekuni profesi Public Relations. Mencoba menikmati waktu menulis lebih banyak, di sudut kota kecil, Bawen ....

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Alta

6 September 2023   20:19 Diperbarui: 6 September 2023   20:24 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Penulis: T.R Sue

Rote Island, 27 Maret 2021

Gerimis turun semakin lebat di tanah merah yang kemudian menjadi tergenang. Kubangan tersebut tampak berwarna merah tua pekat dan melebar seiring titik hujan yang berderai. 

Di teras sebuah panti asuhan, sepasang suami istri menjabat tangan pengelola dengan wajah berbinar bahagia. 

Pengadilan telah meluluskan permohonan adopsi mereka. Sedikit pun tidak ada kendala. Semua berjalan lancar dan gadis kecil yang bernama Alta, resmi menjadi putri bagi keduanya. 

***

"Ini akan menjadi kamar kamu," ucap Liana pada Alta. 

Gadis yang baru berusia lima tahun tersebut terdiam dan tidak mengatakan apa pun. Liana paham dan mengerti. Walau dari sikap tampak lebih dewasa dari usianya, Alta tetap anak kecil yang mungkin lebih pantas disebut sebagai balita. 

Dion, suaminya, menepuk pundak Liana dengan lembut. 

"Kami turun dulu, kamu bisa mengenali kamar dan mungkin menata boneka yang baru kita beli tadi. Ok?" pamit Liana. Alta menoleh dan menatap Liana dengan sayu.

"Terima kasih," balasnya lirih. Liana mengusap rambut halus dan lurus milik Alta. Pasangan suami istri itu melenggang pergi turun ke bawah. 

"Dia sangat pemalu," cetus Liana. Dion mengecup bahu istrinya dengan mesra. 

"Beri dia waktu. Selama ini, Alta selalu berpindah rumah dan berganti keluarga. Nggak tahu kenapa pasangan sebelumnya selalu membatalkan proses adopsi. Semoga kita bisa menerima segala kekurangan Alta dengan tulus," bisik Dion bijak. 

Liana mengangguk dengan lega. Ia harus mengerti dan bersabar. 

Sejak rahimnya diangkat karena penyakit miom, Liana kehilangan kesempatan untuk memiliki buah hatinya sendiri. 

Untunglah, Dion adalah pria yang sangat luar biasa tegar dan setia. Ia tetap mencintai Liana tanpa berkurang sedikit pun, walau seluruh keluarganya mulai mencibir dan melemparkan sindiran keji.

Sebagai ahli desain interior, Liana memiliki perusahaan sendiri yang kantornya berada di rumah. Kini ia bisa menjadi ibu sekaligus wanita karir. 

Sementara Dion adalah salah satu pegawai Bank Nasional dengan posisi yang sangat bagus dan menjanjikan.

Keduanya sudah menjalani pernikahan selama lima tahun dan itu tidak sebentar. Memutuskan untuk mengadopsi memang langkah yang cukup besar dan membutuhkan keberanian untuk mencintai tanpa syarat.

"Aku siapin makan malam dulu ya, Di," ucap Liana akhirnya. Dirinya dan Dion tidak pernah menggunakan panggilan mesra seperti 'Mas' atau 'Sayang'. Namun kokohnya cinta mereka tidak tergoyahkan.

"Aku bantu Alta untuk berkemas," timpal Dion bersemangat. Liana mengangguk dan sibuk memilih bahan makanan di kulkas. 

*** 

Seminggu berlalu. Alta tampak betah dan mulai menyesuaikan diri dengan kedua orang tua asuhnya. Ada sesuatu yang ganjil dan terkadang sangat jelas terlihat pada diri Alta. 

Alta selalu menghindar setiap mereka ingin memeluk. Bukan ekspresi sungkan, tapi wajah yang ketakutan dan panik. Diam-diam, Dion menemui pengelola panti asuhan untuk mendapatkan informasi penting. 

Jika terbukti bahwa Alta pernah mengalami pelecehan seksual atau penindasan maka ia akan bertindak lebih lanjut. Ratna meminta waktu untuk mengumpulkan informasi sebaik-baiknya.

"Maklum, Pak. Saya baru bertugas kurang dari setahun ini. Tapi pasti saya akan bantu untuk menemukan yang Pak Dion butuhkan," ungkap Ratna dengan sungguh-sungguh. 

"Iya. Terima kasih, Bu Ratna. Saya hanya mengantisipasi saja. Karena jika Alta betul pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan sebelumnya, maka kami akan berusaha memperbaiki dan mungkin membawa ke psikiater. Yah, tujuannya supaya tidak berlanjut hingga dewasa," balas Dion. 

Ratna mengangguk dengan wajah keibuan. 

"Beruntung sekali Alta memiliki orang tua asuh seperti kalian berdua. Saya sendiri juga nggak punya anak, bekerja di sini setelah mendiang suami pergi adalah pengabdian," ungkap Ratna dengan sikap mendukung penuh. Dion menyampaikan kalimat turut duka cita dengan santun. 

Setelah mendapatkan kesanggupan dari Ratna, Dion pun pamit. 

***

Ratna terpekur di ruang kerjanya. Beberapa dokumen tercecer di meja dalam keadaan berantakan. 

Semua catatan tentang Alta, telah ia baca dengan sangat teliti. Sungguh mengherankan. Alta telah melewati lima proses adopsi sejak usia sebulan. Alasan yang membuat para orang tua asuh tersebut mengembalikan Alta rata-rata sama. 

Alta terlalu nakal. 

Gadis kecil itu diambil dari rumah sakit karena ibunya yang tanpa identitas, telah meninggal dunia yang disebabkan pendarahan hebat. 

Polisi tidak mampu melacak keluarga Alta karena minimnya informasi. Mereka hanya menemukan sebuah tas kumal dengan beberapa potong pakaian lusuh dan selembar surat yang ditulis dengan tangan. 

Isi surat tersebut hanya pesan untuk membesarkan bayinya dengan baik, dan kalimat ganjil untuk tidak pernah memberikan putrinya pada keluarga yang lain. 

Ratna mengerutkan keningnya dengan benak gusar. Ibu mana yang tidak menginginkan anaknya dicintai dan mendapat kesempatan lebih baik? 

Lampu meja Ratna mendadak mati. Mengingat masih belum tuntas, Ratna mencoba menyalakan lampu ruangan tapi sama saja, mati. Dengan setengah menggerutu, ia bergegas keluar. 

"Asmiii!" teriak Ratna memanggil asistennya. 

"Ya, Bu!" sahut Asmi dari ruang tengah. 

"Lampu mati?" 

"Enggak, Bu. Ini kita lagi nonton sinetron," jawab Asmi. 

Ratna berdecak kesal. 

"Minta tolong Usman buat ganti bohlam lampu kantor ya?" pinta Ratna. 

Asmi mengiyakan dan berlalu dengan tergesa. 

Akhirnya, Ratna memutuskan untuk meneruskan besok. Wanita itu memilih untuk tidur cepat.

Baru saja selesai berdoa dan menarik selimut, Ratna mendengar keran kamar mandi menyala. 

'Mungkin aku lupa mematikan,' pikirnya. 

Ratna beringsut turun dan menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar. Keran tertutup dan mendadak Ratna menggigil kedinginan. 

Suhu ruangan turun secara drastis menjadi sangat dingin. Ketika tangan Ratna ingin meraih saklar kamar mandi, lampu tersebut keburu mati. Begitu juga ruang tidurnya. 

Semua tampak gelap gulita. Hanya pantulan cahaya dari luar yang menembus jendela kaca dan memberinya sedikit penerangan. 

Ratna menggerayangi tembok untuk mencapai tempat tidurnya kembali. Udara makin terasa membeku dan menggigit. 

Setelah mencapai meja, tak jauh dari pembaringannya, mata Ratna menangkap ada siluet hitam sedang duduk di sisi seberangnya. Ratna tidak yakin akan penglihatannya dan mengucek mata berkali-kali. Bayangan itu masih di sana. Kini, lambat laun, ia melihat sosok itu menyisir rambutnya yang panjang dengan jari. 

"Si-siapa di situ?!" serunya gugup. Tidak mungkin perampok. Ini baru jam delapan lebih dan suara pegawainya masih terdengar, tengah bermain catur di teras. 

"Balekno anakkuu ...!!" (Kembalikan)

Suara itu terdengar halus dan dingin. Antara ada dan tiada. Menelusup memenuhi gendang telinga Ratna. 

"A-anake so-sopo*?" jawab Ratna terbata-bata, dengan suara bergetar sekaligus ngeri. Lututnya gemetar tidak terkendali. (*anaknya siapa?).

Kepala sosok hitam tersebut perlahan memutar. Ratna merasa lemas dalam kengerian yang mencekam. Tidak peduli seberapa kuat melantunkan kalimat suci Al'Quran, tapi semua tidak tersusun dengan baik. 

Begitu menoleh sepenuhnya, sosok itu menerjang ke arahnya dengan wajah pucat mengerikan!

"Baleknoo ...!!" raung makhluk astral penuh amarah. Ratna tidak lagi memiliki kesadaran penuh, hanya jeritan histeris terlontar, sebelum tubuhnya terkulai di lantai. 

***

Alta sedang sibuk bermain boneka di kamar sementara Liana menyusun baju yang sudah disetrika di lemari. 

'Ah, sungguh menyenangkan momen ini!' seru Liana dalam hati. "Alta, kamu suka puding susu yang kemarin nggak?" pancing Liana. 

Alta berhenti dan menoleh. Senyum tulus terpancar dan kepalanya mengangguk. Hingga detik ini, Alta tidak pernah memanggilnya dengan sebutan mama. 

Anehnya, Alta justru sudah mulai menyebut Dion dengan panggilan papa. Liana menghibur diri dengan anggapan, mungkin masih butuh waktu lagi untuk Alta menerima semuanya. 

"Oke. Berarti kalo aku bikin lagi, harus kasih hadiah cium pipi, dong!" goda Liana. 

Senyum Alta mendadak hilang. Gadis itu menundukkan kepala dalam-dalam. Liana tampak kecewa. Alta masih belum mau menerimanya. Padahal, ia bersama-sama dengan Alta hampir sepanjang waktu. 

Helaan napas berat terdengar. Liana tersenyum kikuk dan meninggalkan kamar putri asuhnya dengan langkah gontai. 

'Biarlah. Mungkin dia selalu menghadapi ibu asuh yang jahat. Aku harus bersabar,' ucap Liana--membatin, kembali menghibur diri. 

Ketika ia sedang mengaduk puding di atas kompor, mendadak roknya ditarik dari belakang. Liana tersentak. Alta berdiri di belakangnya dan mengulurkan selembar kertas bergambar. Liana menerimanya dengan heran, kemudian Alta berlari meninggalkan dirinya kembali. 

Liana mematikan kompor dan menatap kertas tersebut. Ada gambar seorang perempuan dengan baju biru, mungkin itu dirinya, dan di bawah ada gambar hati. 

Liana tersedu. 

'Inikah cara Alta mengungkapkan cintanya untukku?' batin Liana dengan haru. 

Air matanya berlinang tak tertahankan lagi. Ada pijar semangat yang meletup dalam dirinya. Wanita itu bertekad untuk mencintai dan menerima Alta dengan cara apa pun, walaupun ganjil dan aneh! 

***

Ratna mengangsurkan rangkuman dari data Alta yang ia ketahui. Wajahnya terlihat pucat dan sendu. 

"Hanya ini saja, Pak. Alta tidak memiliki catatan kesehatan. Sebelum Pak Dion dan Bu Liana, Alta pernah diadopsi oleh lima keluarga. Mereka mengembalikan Alta kurang dari enam bulan kemudian," papar Ratna. Dion mengerutkan kening. 

"Saya tahu tentang pembatalan mereka. Tapi alasannya apa?" tanya Dion tidak puas. 

"Alta kurang bisa dididik dengan baik," jawab Ratna pelan. 

"Apa?! Nakal maksudnya, Bu?" 

Ratna mengangguk atas pertanyaan Dion. Pria itu menggelengkan kepala dengan tidak habis pikir.

"Tega sekali. Alta nggak pernah bertingkah macam-macam selama bersama kami dalam tiga bulan ini. Kalau pendiam, memang betul. Alta sulit diajak komunikasi dan menolak membangun koneksi batin untuk lebih dekat. Itulah kenapa, saya meminta info dari ibu. Tapi nakal? Ah, mereka terlalu mengada-ada," sergah Dion seraya melemparkan pandangan tidak percaya. 

Ratna memendam opininya dalam hati. Sejak kejadian malam tersebut, ia tidak ingin terlibat terlalu jauh.

"Baik, Bu. Terima kasih sudah membantu sejauh ini," ujar Dion akhirnya. 

Ia tidak mendapat tanggapan lebih jauh mengenai Alta. Entah kenapa, kemarin Ratna yang terlihat berapi-api, kini berubah total. Ada pancaran ketakutan pada wajahnya yang bulat. 

Dion berpamitan dan bergegas pergi. Dalam perjalanan pulang, ia terus berpikir. 

'Ada apa dengan kisah hidup di balik gadis kecil bernama Alta ini?' renung Dion dengan penasaran. Benak Diona berkecamuk dengan berbagai spekulasi liar yang tidak berujung. 

***

"Mana Alta?" tanya Dion saat Liana menyambutnya di ruang tengah. Istrinya menghela napas berat. 

"Badannya sedikit hangat, jadi tidur lebih awal setelah minum obat," sahut Liana lesu.

"Kok bisa?" tanya Dion. 

"Mungkin kebanyakan renang tadi sore," jawab Liana. 

Dion bergegas naik ke lantai dua dan menengok kamar Alta yang sedikit terbuka. Gadis itu terbaring dengan mata terpejam. Dion bersimpuh di sebelah dan memegang dahi Alta dengan lembut. Memang masih sedikit panas. Dengan pelan, Dion mengecup kening Alta dan mengusap pipi gembul yang menggemaskan. 

"Cepat sembuh jagoan papa, ya?" bisik Dion. 

Setelah membetulkan selimut, Dion berjingkat keluar. Setelah beberapa langkah ia merasa ada yang mengawasinya. Dion menoleh ke belakang dan dari kamar Alta yang remang-remang, sekilas ia melihat sekelebat bayangan. 

Dion mengerjapkan mata. Otaknya yang selalu berpikir dengan logika, menganggap itu hanya ilusi optik. Ia segera turun dan melupakan hal tersebut.

Liana menawari untuk makan malam.

"Aku sudah makan sama Chandra tadi," jawab Dion sambil mendekati kulkas untuk mengambil air dingin. 

"Wah! Gambar siapa ini?" tanya Dion melihat selembar kertas tertempel di pintu atas kulkas. Liana tersenyum bangga.

"Surat cinta Alta buat aku," pamer Liana dan membuat Dion tertawa. Ia merengkuh tubuh istrinya serta mengecup pipi Liana dengan lembut. 

"Akhirnya, dia mulai membuka diri," bisik Dion dengan lega dan penuh syukur. Liana mengeratkan pelukan suaminya dan tersenyum senang.

"Dia putri kecil kita," imbuh Liana. 

Hati keduanya sangat gembira dan optimis. Mungkin ini waktu bagi mereka untuk mulai mengakrabkan diri dan menjadi keluarga utuh.

***

Rasa haus yang mencekat tenggorokan membuat Liana bangun dan turun ke bawah untuk mengambil botol mineral. Dion telah menghabiskan persediaan minum yang Liana bawa ke atas tadi. 

Sekilas, Liana melirik ke pintu kamar Alta yang terletak paling ujung dan tampak tertutup rapat. Tidak ada suara dan dirinya berharap Alta sudah membaik.

Setelah mengambil dua botol air untuk mereka, Liana kembali menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai atas. 

Begitu menginjak anak tangga terakhir, ia mendengar suara Alta seperti sedang berbisik dan bicara dengan seseorang. Liana menajamkan pendengarannya dengan baik. Karena penasaran, ia mendekatkan telinganya di pintu Alta.

"Aku mohon, jangan sakiti mereka. Jangan sakiti mama dan papaku." 

Liana bagaikan tersambar petir. Tubuhnya dingin dan bulu kuduknya meremang. Dengan siapa Alta bicara?

"Enggak, Alta janji akan tetap sayang. Jangan ...." 

Alta mulai terisak. Hati Liana berdebar. Siapa yang ingin menyakiti Alta? Dengan wajah pucat, ia mendorong pintu dan membukanya.

"Alta!" seru Liana. 

Dia bersumpah, sempat melihat bayangan hitam melesat ke arah jendela lalu lenyap. Alta sedang duduk di atas tempat tidur dan menangis. Liana memeluk Alta segera dan mengusap punggungnya yang basah oleh keringat.

"Kamu kenapa, Nak? Mimpi buruk?" tanya Liana cemas. 

Sosok yang tadi ia lihat tidak dipedulikan lagi. Baginya yang terpenting saat ini adalah Alta. Alta yang tadinya memeluk Liana, mengurai pelukan dan mendorong dirinya supaya menjauh.

"Nggak apa-apa," bisiknya lirih di tengah sesegukan. 

Liana melorot ke lantai sementara Alta terus mencoba berhenti menangis. Liana akhirnya tersedu.

"Kamu kenapa, Al? Bicara, Nak. Supaya kami tahu, siapa yang sudah jahat sama Alta?" pinta Liana dengan putus asa. Mata Alta menatap Liana dengan ekspresi duka dan sesal yang mendalam. 

'Anak sekecil ini, sudah memiliki jiwa yang begitu kelam dan luka yang mendalam?' rintih Liana pilu. 

"Kalau Alta terus begini, bagaimana mama sama papa tahu?" keluh Liana dan akhirnya menangis lebih kuat. 

Hatinya begitu pedih oleh sedu sedan tangis Alta, yang tampak begitu ketakutan memandang dirinya. Ada raut sayang juga sesal yang terpancar sekaligus dari mata yang bulat dan jernih tersebut. Alta menggelengkan kepala kuat-kuat. Dion muncul dan tampak khawatir.

"Alta mengigau, mungkin mimpi buruk," terang Liana sambil menyusut air matanya. Dion paham. Ada penolakan Alta yang membuat Liana terluka dan kecewa. 

"Alta ganti baju dulu, ya?" ucap Dion. 

Alta mengangguk dengan pelan. Tangisnya mulai mereda. Liana bangkit dan mengambil baju ganti di lemari. Begitu selesai bertukar pakaian, Alta kembali berbaring. Liana memutuskan untuk tidur di kamar tersebut karena suhu badan Alta kembali menghangat. Bibirnya tampak kering dan merah.

"Besok kita bawa ke dokter," pesan Dion sebelum kembali ke kamar. 

Liana mengangguk. Dengan sabar dan telaten, ia mengompres kening Alta. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Karena lelah, Liana memutuskan tidur di karpet, dalam kamar Alta.

***

Alta terbangun dengan tubuh lebih segar. Gadis kecil itu memegang dahinya sendiri dan panas tubuhnya sudah turun. Ketika hendak beringsut dari tempat tidur, Alta melihat Liana yang masih terlelap dengan pulas. 

Ia berjingkat dan mendekati wanita yang begitu baik padanya. Melimpahi dirinya dengan perhatian dan kasih sayang. Jarinya yang kecil menyingkirkan rambut yang terjuntai di dahi Liana. 

Alta mengambil selimut kecilnya dan menyelubungi tubuh Liana. Sebelum keluar, ia menunduk dan mencium lengan Liana.

"Alta sayang Mama," bisiknya lembut. Liana masih pulas dan tidak menyadari hal tersebut. Alta tersenyum manis lalu keluar kamar.

***

Liana keluar dari kamar dengan khawatir. Alta sudah tidak berada di atas tempat tidur. Langkahnya menjadi tergesa dan cepat.

"Diooon, Altaa!" serunya cemas. 

Kakinya lincah menuruni tangga. Begitu melewati ruang tengah dan menuju halaman samping, ia melihat keduanya sedang bermain ayunan. Liana langsung merasa lega. 

"Morning, Sleeping Beauty!" sapa Dion pada Liana. Wanita itu tertawa. Terutama saat Alta melambaikan tangan penuh kegembiraan padanya. 

'Semoga hari ini lebih baik,' harap Liana dalam hati.

***

Hari minggu ini semua berjalan dengan baik dan mereka menghabiskan waktu dengan penuh keceriaan seperti tidak pernah terjadi hal yang menyedihkan. Namun, ketika Liana memandikan Alta, ia terkejut. Ada lebam berwarna ungu di punggung putri kecilnya. 

"I-ini kenapa, Sayang? Sakit?" tanya Liana cemas. Alta memutar balik tubuhnya.

"Enggak sakit kalo Mama kecup," gurau Alta. 

Liana tersenyum lebar kemudian tertawa. Wanita itu memeluk Alta dan membiarkan tubuhnya berlumur busa. Putrinya mulai memanggil mama, ini suatu pencapaian besar! 

Sementara itu, Alta memeluk Liana sambil memejamkan mata dengan hati pilu. 

***

"Kenapa, Di?" tanya Liana saat melihat Dion turun ke bawah dengan sesekali menoleh ke belakang.

"Aku kayak melihat sekelebat orang. Tapi ... kayaknya salah liat," sahut suaminya ringan, tapi wajahnya cukup penasaran. Liana tertegun. 

"A-aku juga sering," ucap Liana dengan gugup. 

"Mungkin kita salah liat," tukas Dion sembari mengedikkan bahu. Liana dan Dion saling pandang.

"Ah, nggak mungkin!" ucap keduanya bersamaan. 

Mereka sempat berpikir tentang hantu, tapi itu terpatahkan dengan akal sehat yang lebih mengutamakan logika.

"Alta langsung tidur pulas dan ngorok," cetus Dion geli. Liana tertawa kecil. 

"Aku juga mau tidur, besok ada meeting dengan klien pagi jam sembilan," ajak Liana. Dion mengiyakan dan mereka naik ke atas.

***

Teriakan Alta membangunkan keduanya. Dion lari tunggang lenggang disusul Liana yang sempoyongan di belakang. Matanya sangat mengantuk. 

'Mungkinkah Alta mimpi buruk lagi?' pikir Liana dengan tubuh lelah. 

Tidak lama kemudian, Dion berteriak dan menyebut asma Allah dengan lantang. Begitu Liana menyusul dan melihat yang terjadi, ia juga turut menjerit histeris! Keduanya membeku sesaat di pintu masuk kamar Alta.

Gadis itu berputar di udara dan menjerit memohon ampun. Dion segera menguasai diri dan melantunkan ayat-ayat suci sambil mencoba mendekat. 

Tubuh Alta terbanting dengan begitu keras di kasur! Liana memekik penuh kengerian. Itulah asal lebam di tubuh Alta selama ini!

Dion menghambur dan memeriksa tubuh Alta yang masih menangis kencang.

"Astagfirullah, apa yang terjadi, Dion?" tangis Liana sambil memangku tubuh gadis kecil itu dengan gemetar. Dion menggelengkan kepala gugup. 

"A-aku harus menelepon seseorang," ucap Dion masih terdengar gugup dan mencoba untuk tidak panik.

Liana memeluk Alta dengan erat. Alta menatap Liana dengan sedih.

"Maafin Alta, Mama," bisik Alta lirih. 

Liana menggelengkan kepala dengan hati tersayat perih.

"Nggak ada yang perlu disalahkan! Kamu nggak pernah salah! Ingat itu, Nak. Oh, Tuhan!" ratap Liana memeluk tubuh Alta lebih erat lagi. Dion kembali ke kamar dan memberitahu istrinya telah menelpon polisi. 

"Bagaimana mereka akan menyelidiki sesuatu yang terjadi tadi, Di?" tanya Liana tidak yakin. Dion meremas rambutnya dengan gusar.

"Entah," jawab Dion. "Semoga CCTV kita tidak berkhianat," lanjutnya gelisah. Liana mengangguk dengan gamang.

Baru saja bernapas lega, tiba-tiba tubuh Alta seperti ditarik oleh kekuatan yang begitu kuat dan merenggutnya dari dekapan Liana. 

"Altaaa!!" pekik Liana. 

Alta menjerit ketakutan saat terlempar ke dinding dengan keras. Liana dan Dion yang hendak menyelamatkan Alta, terseret oleh sebuah gerakan tak kasat mata dan mengunci mereka tanpa daya di tembok dengan kedua tangan dan kaki terentang. 

Liana dan Dion merintih dan menangis dalam kengerian yang begitu mencekam. Mereka harus menyaksikan tubuh Alta yang tergores oleh cakaran yang entah dari mana berasal. 

"Jangan sakiti anakku!" ratap Liana tanpa daya.

Gadis kecil itu merangkak dengan tubuh penuh luka menuju balkon kamarnya. Saat mendorong pintu dengan perlahan, Alta menoleh untuk terakhir kali.

"Alta sayang Mama dan Papa. Maafin Alta ...." 

Selesai mengucapkan kalimat tersebut, Alta berdiri dan berlari keluar serta melompat dari atas balkon lantai dua. 

"Tidaak!!" teriak Dion dan Liana dengan histeris juga kalap. 

Ada misteri apa sebenarnya?

***

Polisi baru selesai mengevakuasi jenazah gadis kecil yang kepalanya hancur dan otaknya bertebaran. Dari CCTV, mereka melihat dengan jelas kejadian yang sebenarnya. 

Memang menyelamatkan Liana dan Dion dari tudingan sebagai pembunuh, tapi kondisi keduanya syok berat. Liana yang paling parah. Wanita itu menunjukkan gangguan mental yang kini membuatnya diam dan linglung. 

"Kenapa ini bisa berakhir mengerikan, Bu Ratna?" tanya penyidik dari kepolisian itu. 

Pria berkumis tebal tersebut masih belum percaya dengan hal yang ia saksikan di CCTV. Kejadian supranatural yang sangat mencengangkan. 

"Arwah wanita yang melahirkan Alta, tidak pernah rela anaknya dimiliki dan dicintai oleh siapa pun. Roh wanita itu terus membayangi putrinya sendiri," jawab Ratna dengan wajah keras dan bibir mengerucut menahan emosi. Penyidik tersebut mengusap wajah dengan prihatin. 

"Alta memilih mengakhiri nyawanya? Begitu maksud Bu Ratna?" tanya polisi tersebut.

"Iya. Ini surat yang ia tulis untuk Liana dari Alta, saya temukan di meja makan," timpal anak buahnya yang baru datang. 

Sederet tulisan anak kecil yang tidak rapi dan salah ejaan tertuang dengan pensil di atas kertas gambar yang terlipat. 

'Alta sayan Mama. Maav ya Ma, Alta pegi sama ibu.'

T A M A T

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun