"Selamat siang, tuan. Aku tadi sedikit mencuri dengar, hanya ingin memastikan saja. Apakah agamamu? Bolehkah hamba mengetahui?"
Sedikit curiga, Joko Wangkir menjawab hati -- hati, "Aku beragama Hindu, seorang pengikut Siwa."
"Ah, kita beragama sama. Salam bagimu, tuan. Perkenalkan, hamba adalah Ken Arok, pemimpin pasukan yang disewa untuk melawan Kerajaan Sriwijaya."
Mata Joko Wangkir melebar. Segala kantuk dan lelahnya lenyap seketika. Di sampingnya Unggun Krama yang mendengar salam Ken Arok segera mencabut pedangnya dan mengarahkan kepada sang bandit. Di belakang, beberapa orang berpenampilan garang yang menyaksikan terpicu untuk mengelilingi sang panglima dan ksatrianya sehingga Unggun Krama kembali menyarungkan pedangnya. Ken Arok menatap seluruh anak buahnya, meminta seluruhnya untuk mundur. Ia kembali memberikan perhatian kepada Joko Wangkir.
"Aku mohon maaf atas kelakuan anak buahku. Apakah kau adalah Joko Wangkir, panglima Kerajaan Medang?"
"Apa yang kau inginkan, Ken Arok?"
"Mungkin kau sudah mengetahui bahwa anak buahmu, seseorang bernama Anggabaya, membuat perjanjian dengan kami untuk mengusir pasukan Kerajaan Sriwijaya."
"Ya, aku mengetahuinya."
Senyum Ken Arok melebar. Joko Wangkir dapat memerhatikan bahwa sebenarnya darah muncul di tepian bibirnya, tanda sang pemimpin mengikuti perang dengan Sriwijaya.
"Seperti yang kau lihat, pasukan Kerajaan Sriwijaya kocar -- kacir menghadapi kami. Mereka enggan menghadapi kami. Para prajurit sudah kabur ke selatan. Aku ingin menagih hadiah kami. Kau menjanjikan seratus lima puluh ribu saga emas."
Joko Wangkir naik pitam. Unggun Krama berusaha menahan sang panglima. Seseorang berdehem dengan keras di belakang Ken Arok. Sang pemimpin bandit menyadarinya dan bertukar beberapa patah kata. Perkataannya membuat Ken Arok mundur, digantikan oleh seorang berpenampilan lusuh namun memiliki wajah yang segar.