"Ya, tapi bukan merekalah yang menyelamatkan kita hari ini. Para dewa tidak tahan menyaksikan pembantaian warga tak bersalah dan memutuskan untuk meledakkan Gunung Merapi. Kau patut berterima kasih kepada para dewa, yang mulia raja, karena kehendak merekalah kita selamat di hari ini."
Sebuah suara ringan menyela dari belakang. Sang mahapatih kerajaan, Ario Senopati. Joko Wangkir mengamini perkataannya. Keputusan dewalah yang membuat rakyat Medang bernapas lega.
"Namun, kita perlu tetap waspada. Sebentar lagi hawa panas akan berusaha merangsek masuk ruangan ini sepanjang malam. Kita harus bertahan. Dan sepanjang informasi yang kuperoleh, tidak ada api merah yang menggelinding turun dari puncak gunung. Bencana ini hanya menghasilkan debu dan awan panas. Kau harus bertahan, raja, demi rakyat yang tercinta."
"Tentu saja, Senopati, aku akan bertahan. Aku akan menyambut rakyatku yang gagah berani mempertahankan kotaraja. Kalian, beristirahatlah. Aku pun hendak beristirahat dan memohon kepada Hyang Widdhi untuk memberikan perlindungan bagi Pramoda, Tara, dan Pikatan."
Seluruh petinggi kerajaan memohon diri dari samping raja dan membubarkan diri, meninggalkan raja bersama tabib dan dayang -- dayangnya. Unggun Krama membopong Joko Wangkir untuk kembali ke tempatnya semula. Mapala Senadi mengikutinya. Joko Wangkir duduk bersender dan menyadari sang bupati berada di belakangnya sedari tadi. Mapala Senadi menatap sang panglima, raut wajahnya menyatakan permintaan maaf.
"Aku meremehkan kekuatan mereka, Wangkir. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri pembantaian warga. Aku mohon maaf. Aku seharusnya tidak menyombongkan diri."
Joko Wangkir menggenggam pundak koleganya dan menggeleng perlahan. Mapala Senadi mengetahui hal ini. Ia mengangguk tanda mengerti dan memohon diri.
"Siwa besertamu, Joko Wangkir."
"Dan besertamu juga, Senadi."
Mata sang panglima mulai memberat. Ia masih berusaha memerhatikan setiap insan dengan kesibukan masing -- masing di ruang pendopo. Beberapa merawat prajurit -- prajurit yang terluka. Beberapa terlihat berbincang -- bincang. Di tengah -- tengah ruangan ia memerhatikan Mahesa Kriwijaya bertukar kata dengan Lapuk Gurawa dan Jasabhana. Di sisi lainnya ia melihat Tantrawijaya sedang menjalankan semedi. Seorang wanita berpenampilan anggun terlihat tergesa -- gesa melangkah menuju tempat pembaringan raja. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Ibu negara, Ratu Dewi Taradyahwardhani.
Ia hampir menutup matanya ketika seorang yang tidak dikenal menghampirinya. Ia adalah pemuda berbadan kekar dan garang yang menangkap perhatian sang panglima tadi. Sang pemuda tersenyum ramah.