Joko Wangkir menunduk, "Ya, yang mulia raja, aku pun tidak mengira mereka akan menyerang dari arah selatan. Hamba mohon maaf, Raja Samaratungga, semua ini kesalahanku."
Raja menggenggam lengan Joko Wangkir. Wajahnya terlihat menahan sakit yang teramat sangat.
"Mungkin kau tidak mengetahui hal ini. Tapi kedua anakku, mereka berada di persembunyian, di hilir Sungai Opak!"
Joko Wangkir tersentak. Ia teringat kepada Jasabhana yang memberitahunya bahwa putri Pramodawardhani dan Taradyahwardhani akan menjadi pelarian. Ia tidak menyangka sang penasihat mengatakan sebuah kebenaran. Joko Wangkir memikirkan kata -- kata penghiburan yang tepat untuk dikatakan kepada raja, namun ia tidak dapat menemukannya. Sesaat kemudian ia melihat raja menutup mata dengan kedua tangannya.
"Beginilah langit menghukumku. Kedua anakku habis dilibas musuh."
"Belum tentu, wahai paduka raja. Siapa tahu langit berkata lain. Gunung Merapi meletus hari ini pun tidak ada yang mengetahuinya. Mungkin saja kedua tuan putri selamat dan berhasil bersembunyi. Tidak ada yang tahu. Aku harap kau cepat sembuh dan kembali memimpin negeri ini."
"Tentu saja, Joko Wangkir. Aku akan sembuh dan membalaskan perlakuan ini kepada Kerajaan Sriwijaya." Suara raja terdengar lirih menahan emosi.
"Tenangkan dirimu, Samaratungga. Tidak akan kau sembuh jika kau biarkan kemarahan menguasai dirimu."
Seorang lain hadir di sisi raja. Mapala Senadi. Di belakangnya bupati yang lain pun hadir. Iswana Isyana.
Raja menatap Mapala Senadi, "Kau, mengapa kau berada di tempat ini? Bagaimana dengan para penduduk Gunung Merapi dan Kedu? Bukankah kau juga kusuruh untuk menjaga Rakai Pikatan?"
Mapala Senadi menunduk. Kata -- kata yang diucapkannya bergetar, tanda kegamangan dan penyesalan melanda.