"Maafkan aku, yang mulia raja. Hamba terpaksa meninggalkan tempat hamba di kaki Gunung Merapi saat pertarungan. Musuh terlalu kuat, kami terdesak ke selatan. Aku dengan beberapa anak buahku menghimpun warga yang dapat diselamatkan untuk segera mengungsi ke selatan. Pos Merapi kosong. Setengah dari warga Kedu, Mamrati, dan Merapi berada di kotaraja untuk berlindung. Untuk menyelamatkan mereka, Bupati Kedu gugur di medan pertempuran."
Raja membalas ucapannya pelan -- pelan, "Harian Adhyaksa?"
Mapala Senadi mengangguk.
"Lalu, Rakai Pikatan?"
Mapala Senadi menggeleng perlahan. Raja kembali menutup tangannya. Kini air mata mengalir deras di pipinya. Raungannya mengagetkan orang -- orang yang berada di sisinya.
"Tak akan kuampuni Kerajaan Sriwijaya sialan itu! Sampai akhir hayat akan kuhabisi mereka satu persatu! Walaupun mereka adik, kakak, ayah, atau ibuku!"
Sebuah sentuhan hadir di lengan Samaratungga.
"Tenangkan dirimu, wahai paduka rajaku. Kuharap berita ini dapat menenangkan hatimu, atau setidaknya bisa meringankan penderitaanmu. Seluruh warga Kalingga selamat dan sentosa. Kerajaan Galuh bersedia untuk membantu kita dengan mengirimkan bala tentaranya. Kepala Joko Wangkir tidak akan berada di sini seandainya pasukan Galuh tidak datang. Kita memenangkan pertempuran di dataran Dieng."
Joko Wangkir menatap Iswana Isyana dan mengangguk menyetujui. Perkataan sang Bupati Kalingga membuat emosi raja terdinginkan. Ia menatap sang bupati.
"Aku mengucapkan terima kasih kepadamu, Iswana Isyana. Bagaimana caranya kau dapat membujuk Manarah untuk mengirimkan bala bantuan?"
"Ceritanya panjang. Kita dapat membahasnya semalaman. Kau sembuhkanlah dirimu dahulu, paduka raja. Yang perlu kau ketahui adalah seluruh rakyat Kalingga aman dan mendukungmu. Kerajaan Galuh juga berada di pihak kita."