"Adalah tidak baik, Ken Arok, untuk menunggu kematian orang yang dituakan. Dewa tidak menyukainya."
"Aku membenci orang itu, brahmana. Bango Samparan. Memakaiku hanya sebagai jimat keberuntungan saja. Matanya hijau hanya karena duit hasil judi. Selain Umang, tidak ada yang baik di rumah orang ini, begitu pula istri muda dan anak -- anaknya. Hanya kepada Nyai Samparan, istri tua Bango Samparan, aku menaruh hormat."
Lohgawe tertawa keras dalam hatinya. Ironi. Aku adalah seorang penjudi ulung.
"Sudahlah, kawan. Jangan menyimpan dendam. Kau lihat dimana kau berdiri sekarang. Ia telah berhasil mendidikmu menjadi seorang yang kuat dan berpendirian teguh. Aku yakin jika kau bertemu dengannya sekarang, pandanganmu akan berubah."
Ken Arok terdiam dan merenung.
"Baik, Ken Arok, malam sudah larut. Lebih baik kita beristirahat sekarang. Besok akan menjadi hari yang cukup panjang, bukan? Kita akan menempuh perjalanan jauh."
Ken Arok mengangguk dan melangkah bersama Lohgawe menuju gubuk peristirahatan.
***
Ken Arok berdiri di atas sebuah batu. Di hadapannya berdiri puluhan penjahat -- penjahat pasar berpenampilan sangar. Golok, celurit, pedang, dan belati menjadi pemandangan pelengkap bagi para bandit. Satu hal yang mengganggu Lohgawe yang berada di samping Ken Arok adalah tawa menyeringai para penjahat: penuh dengan gigi -- gigi bolong dan bau busuk menyengat. Semua menujukan perhatian kepada sang pemimpin.
"Selamat pagi, teman -- temanku sekalian. Aku tidak ingin berucap lama -- lama. Hari ini kita akan membantu Kerajaan Medang melawan Kerajaan Sriwijaya. Jika kita menang maka kita akan memperoleh uang. Jika kalah maka kita tidak akan kembali ke tempat ini. Jika ada yang menyayangi nyawa kalian, aku mempersilakan kalian pergi dari tempat ini sekarang juga."
Semua bandit bergeming.