Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(KC) Teka-Teki Mata Tika

2 Oktober 2015   20:09 Diperbarui: 3 Oktober 2015   06:46 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Thamrin Sonata, No. 30

 

TERLALU sulit menembak Tika. Ia burung nuri berwarna khusus dan indah yang kerap terbang tinggi membubung. Dibutuhkan lensa panjang untuk mendapatkannya. Hingga perlu menunggu waktu saat ia hinggap tepat. Untuk mendapatkan matanya terjepret pas. Klik. Fokus. Ah, tapi ia dalam kepungan gagak galak.

                “Terlalu indah untuk …,” San tak bisa meneruskan kata-katanya. Cuma mengatupkan kelopak matanya, dan membayangkan senyum Tika, setelah berlama-lama memandangi foto gadis sama-sama satu angkatan, dan sama-sama kelas tiga. Dan terlukislah sepasang alis menyerupai golok. Sepasang bibir basah tak kenal kemarau panjang sekalipun. Hidung bangir menjulang melebih Gunung Gede-Pangrango. Rambut mirip pendekar sakti yang menari gemulai saat mengeluarkan jurus melawan musuh. Di ujungnya lukisan sempurna: sepasang mata bola pingpong.

                “Jangan bola ping-pong, dong!” runtuk suara lain seperti menempeleng San.

                “Trus?”

                “Itu kan mirip lagunya Iwan Fals….”

                “Jadi…”

                “Di matamu masih tersimpan, selaksa ….”

                “Teka-teki.”

                Plak!

                San menempeleng jidatnya dengan foto close-up Tika hasil curiannya dari jarak jauh. Dengan tele-lens-nya. Saat Tika nembang dengan sepenuh hati lagu Ayah-nya Ebiet G. Ade. Yang ada “di matamu masih tersimpan, selaksa …peristiwa." Di panggung pensi SMA 1000 lalu.

                “Padahal, baru beberapa bulan terakhir ini,” desis San.

                Kini, perpisahan sudah di depan mata. San seperti disentakkan dengan kenyataan. Sebentar lagi akan lulus, dan Tika mungkin ikut orangtuanya ke Bali karena pindah tugas.Kuliah di sana.  “Di sana, ia akan menjadi penari kecak yang baik. Dengan matanya yang mbelo indah…,” gumam San.

                Seharian, cowok itu memilah foto seluruh kelas tiga yang akan dipasang di Buku Tahunan. Ia yang kebagian memotret semua teman seangkatannya. Dan ketika selesai, ia kemudian menatap wajah Tika lagi: lurus-lurus.

                “Kau seperti tegang, Sandika….”

                San mengernyitkan kening. Persis ketika ia memotret Tika dalam giliran dipotret satu per satu, seminggu lalu. Untuk Buku Tahunan.

                “Ah, biasa aja, ‘kalee…”

                “Nggak. Yang kurasakan.”

                “Masak?”

                “Iya.”

                “Trus?”

                Tika menggeleng mengelakkan tatapan San.

                “Mungkin karena matamu indah….”

                “Trus? Apa hubungannya?”

                San menyadari keterlepasannya. Dan ia meminta Tika untuk memandang secara lurus ke arah lensa yang dimoncongkan.

                “Awaass …!”

                San mengenyitkan kening.

                “Apa? Kok aku yang diingatkan. Mestinya, kamu …!” sergah San.

                “Iya. Maksudku, kalau hasilnya jelek.”

                San tertawa.

                Tika tertawa. Ia pun yakin-seyakin yakinnya dengan bidikan San. Karena ia memang kerap kali dipotret. Mungkin karena ia menjadi penyanyi Band SMA 1000. Sejak kelas satu. Lagu yang ditembangkan selalu melankolik. Dibawakan dengan memejamkan mata. Lalu diteruskan dengan menyisir rambut panjangnya dengan lentik jemarinya. Saat itulah biasanya San siap-siap membidik, saat Tika membuka mata untuk melafazkan lirik berikutnya.

                “Aku hapal betul….”

                “Hapal apa, San?”

                “Lagu Leaving on A Jet Plane ….”

                Tika tertawa.

                “Mengingatkan apa?”

                “Ben Affleks akan meninggalkan …Mila.”

                “Apollo 13.”

                Cleguk.

                “Kamu akan pindah ke Bali, kan?”

                Tika menggigit bibir bawahnya. Lalu mengangguk pelan.

                “Iya. Aku …aku …ah!”

                San sengaja membesarkan foto yang meski berpose bak foto KTP, namun ada pancaran bola mata Tika yang sendu. Mestinya bukan seperti itu. Ah, kenapa aku merasakannya begitu. Dan itu menjadi teka-teki panjang baginya. Mata Tika.

                SMS masuk. Tika mengatakan ingin menemuinya.

                “Ada apa?”

                “Masak minta fotoku aja nggak boleh. Jahat betul, kamu.”

                San menghela nafas dalam-dalam. Terlalu sedih memikirkan mata Tika dan perpisahan yang tinggal menghitung hari. Sementara tak ada kejelasan pada mata Tika. Untuk siapa?

                “Aku ke tempatmu?” telepon Tika.

                “Jangan. Kita ketemuan di warung es campur ….”

                Tika tertawa di ujung HPnya. “Hatimu sedang campur-aduk, ya?”

                “Ya.”

                “Knapa?”

                “Melihat fotomu….”

                Ada desah Tika dari dalam yang masih sempat terdengar di HP San.

                “Iya. Banyak temen bilang, aku di situ ….kayak seperti kalau nyanyi Leaving on A Jet Plane….”

                San mengendarai motornya dengan hati linglung. Dan ia diam saja dibimbing Tika ketika tiba di warung es campur favorit anak-anak SMA 1000. Juga mempersilakan Tika mengambil foto yang sudah dicetak dan dibingkai warna merah di dalam tas punggung.

                “Iiiih …!” pekik Tika.

                “Knapa?” tanya San, datar.

                “Aku sendu bener, ya?” Tika geleng-geleng kepala. Bibirnya digigit deret gigi-giginya.

                “Kalau, ya, pertanda apa?”

                Tika tak bisa menjawab. Ia sekilas memandang ke arah San. San yang sejak tadi lebih banyak diam pun memandang. Terjadilah ... bersirobok.

                “Iiih ….” Tika mengelakkan adu pandang itu.

                “Knapa?”

                Tika diam. Menjadi wanita bermata indah yang perlu disembunyikan. Kepada San yang telah memotretnya dengan komposisi indah.

                “...I hate to go!”

                “Knapa?”

                “Kau ….”

                “Aku ingin menyudahi.”

                “Menyudahi apa?”

                “Matamu ….”

                “Mataku knapa?” kejar Tika.

                “Tidak teka-teki bagiku lagi, Tik.”

                “Kalau?”

                “Aku ingin …sebelum kau ke Bali.”

Tika tertawa. Tawa yang sesungguhnya sumbang.

                “Knapa tertawa ngejek?”

                “Knapa kau nggak ngejarku ke Bali?”

                San menempeleng jidatnya.

                “Kalau perlu, aku mengantarmu …!”

                “Nah!” jentik Tika.

Tika memandang San.

                San menatap Tika.

                Keduanya tersenyum.

                “Eh, kita belum pesan es campur.”

                “Satu mangkuk saja. Kita aduk sama-sama. “

                Dan adegan berikutnya, punggung tangan Tika dibimbing telapak tangan San. Mengaduk es campur dengan satu sendok. Biar menyatu! ***

               

            Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silakan bergabung di FB Fiksiana Community

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun