Thamrin Sonata, No. 30
TERLALU sulit menembak Tika. Ia burung nuri berwarna khusus dan indah yang kerap terbang tinggi membubung. Dibutuhkan lensa panjang untuk mendapatkannya. Hingga perlu menunggu waktu saat ia hinggap tepat. Untuk mendapatkan matanya terjepret pas. Klik. Fokus. Ah, tapi ia dalam kepungan gagak galak.
“Terlalu indah untuk …,” San tak bisa meneruskan kata-katanya. Cuma mengatupkan kelopak matanya, dan membayangkan senyum Tika, setelah berlama-lama memandangi foto gadis sama-sama satu angkatan, dan sama-sama kelas tiga. Dan terlukislah sepasang alis menyerupai golok. Sepasang bibir basah tak kenal kemarau panjang sekalipun. Hidung bangir menjulang melebih Gunung Gede-Pangrango. Rambut mirip pendekar sakti yang menari gemulai saat mengeluarkan jurus melawan musuh. Di ujungnya lukisan sempurna: sepasang mata bola pingpong.
“Jangan bola ping-pong, dong!” runtuk suara lain seperti menempeleng San.
“Trus?”
“Itu kan mirip lagunya Iwan Fals….”
“Jadi…”
“Di matamu masih tersimpan, selaksa ….”
“Teka-teki.”
Plak!