San menempeleng jidatnya dengan foto close-up Tika hasil curiannya dari jarak jauh. Dengan tele-lens-nya. Saat Tika nembang dengan sepenuh hati lagu Ayah-nya Ebiet G. Ade. Yang ada “di matamu masih tersimpan, selaksa …peristiwa." Di panggung pensi SMA 1000 lalu.
“Padahal, baru beberapa bulan terakhir ini,” desis San.
Kini, perpisahan sudah di depan mata. San seperti disentakkan dengan kenyataan. Sebentar lagi akan lulus, dan Tika mungkin ikut orangtuanya ke Bali karena pindah tugas.Kuliah di sana. “Di sana, ia akan menjadi penari kecak yang baik. Dengan matanya yang mbelo indah…,” gumam San.
Seharian, cowok itu memilah foto seluruh kelas tiga yang akan dipasang di Buku Tahunan. Ia yang kebagian memotret semua teman seangkatannya. Dan ketika selesai, ia kemudian menatap wajah Tika lagi: lurus-lurus.
“Kau seperti tegang, Sandika….”
San mengernyitkan kening. Persis ketika ia memotret Tika dalam giliran dipotret satu per satu, seminggu lalu. Untuk Buku Tahunan.
“Ah, biasa aja, ‘kalee…”
“Nggak. Yang kurasakan.”
“Masak?”
“Iya.”
“Trus?”