Hasil-hasil lembaga survei pun tidak ada yang mengunggulkan pasangan Jokowi-Ahok. Seperti Jaringan Suara Indonesia (2/7/12) merilis Pemilukada DKI Jakarta dimenangkan oleh kandidat pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Pasangan ini meraih dukungan tertinggi, 49, 6 persen suara. Disusul kandidat Jokowi-Ahok 15,8 persen, Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini 6,4 persen, Alex Noerdin-Nono 4,3 persen. Sedangkan kandidat dari jalur Independen keempat dan kelima yaitu, Faisal Basri-Biem Benyamin 1,9 persen dan Hendarji Soepandji-Riza Patria 1,0 persen (kompas.com, 06/07 2012).
Begitu juga hasil Lingkaran Survei Indonesia. Pasangan pertama Fauzi Bowo-Nachrawi Ramli berpeluang besar untuk menang. Pasangan Foke-Nara didukung oleh 43,7 persen pemilih. Urutan kedua, ditempati pasangan Jokowi-Basuki dengan 14,4 persen. Empat pasangan lainnya masih di bawah 10 persen.
Menurut hasil survei atas 440 responden yang tersebar di seluruh zona dan kelas sosial, ada tiga alasan mengapa pasangan lain sulit menandingi pasangan Foke-Nara. Pertama, pasangan lain hanya dikenal di bawah 70 persen, kecuali Jokowi, 71,8 persen. Semakin calon tak dikenal, semakin kecil kemungkinan untuk dipilih.
Kedua, hingga H minus 14 hari (pemungutan suara), tingkat kesukaan terhadap calon lain, relatif kecil dibandingkan tingkat kesukaan publik terhadap petahana. Pemilih yang menyukai Foke, 81,2 persen. Sementara terjadi penurunan terhadap tingkat kesuksesan kompetitor, Jokowi dari 75 persen, menjadi 66,6 persen. Stagnasi tingkat kesukaan bagi Hidayat dan Alex di angka 66,8 persen dan 50,5 persen. Sementara calon Hendardji dan Faisal mengalami peningkatan kesukaan sekitar 10 persen diangka 56,2 persen dan 60,2 dari pemilih yang mengenalnya.
Faktor ketiga adalah, sentimen negatif publik pada kompetitor terdekat Fauzi Bowo. Pasangan Jokowi-Basuki dinilai publik kurang representatif dari mayoritas penduduk DKI.
Unggulnya kandidat pertama tidak lepas dari perannya sebagai incumbent. Ia sudah melakukan sosialisasi dan pengenalan diri selama lima tahun. Pasangan pertama juga rawan sekali dengan penyalahgunaan kewenangan. Contoh paling kecilnya adalah, menjelang pemilukada ada peningkatan tunjangan untuk ketua RT dan RW dari yang sebelumnya hanya Rp 700.000 per triwulan menjadi Rp 750.000 (Majalah Detik, 9-15 Juli 2012).
Belum lagi mengenai biaya kampanye pasangan Foke-Nara yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kandidat-kandidat lain. Biaya kampanye pasangan ini sebesar.[5] Dengan biaya yang sangat besar, melalui marketing politiknya, incumbent berpotensi untuk memanipulasi opini publik dengan mengontrol media. Karena bagaimana pun masyarakat hanya dapat menerima informasi secara tidak langsung dari sumber berita (Firmanzah,2007: 329).
Incumbent juga berpotensi untuk iklan atau branding politik secara jor-joran. Istilah ini dikenal dengan serangan udara. Tujuannya untuk mempengaruhi opini publik.
Mekipun kandidat petahana lebih siap, Jokowi berhasil mencuri perhatian media dalam cara dia berkampanye dan pencitraan. Pola pencitraan dia tidak menggunakan uang untuk menjadi mesin politik atau pun tergopoh-gopoh bertemu wartawan atau sibuk mencari slot talk show (Silih Agung Wasesa, 2011: Hal.4). Jokowi-Ahok menggunakan konsep buzzing, yaitu cara menjadikan pesan politik sebagai bahan pembicaraan positif di kalangan masyarakat sekaligus cara menggerakan target audiens dengan membangun kesadaran mereka sendiri (Silih Agung Wasesa, 2011: Hal.5). Ia berjualan baju kotak-kotak untuk mencari dana kampanye, lalu turun ke lapangan dengan cara blusukan ke pasar, hingga bersantap siang dengan pedagang kaki lima. Ia juga naik kereta rel listrik dari Tanah Abang ke Universitas Indonesia guna memberikan kuliah umum dan lain-lain.
Cara-cara tersebut ternyata ampuh. Tidak sedikit warga khususnya dari kalangan menengah ke bawah yang mengaguminya (Majalah Detik, 9-15/04/2012). Begitu juga media massa. Porsi pemberitaan-pemberitaan lebih banyak kepada pasangan Jokowi-Ahok. Dari 3448 berita yang berasal dari 16 media[6]: terdiri dari 4 media online, 8 media cetak dan 4 stasiun televisi, hasil riset Aliansi Jurnalis Independen merilis (5/8/12) pasangan Jokowi-Ahok ditampilkan secara tunggal dalam 599 berita atau sekitar 17,37 persen.
Selain itu, AJI juga menemukan bahwa Jokowi merupakan kandidat yang kerap mendapatkan berita positif yaitu 441 berita atau 12,79 persen. Sebaliknya, Fauzi Bowo mendapat pemberitaan bernada negatif paling banyak, yaitu 98 berita atau 2,84 persen (tempo.co, 5/8/12).