"Kakang!" kata Anggit. "Siapa yang akan menjaga kami dirumah ini, jika kakang Linggar juga pergi?"
Linggar mengangkat wajahnya dan membelai rambut adiknya. "Kau sudah besar Anggit, kini dipundakmulah tugas itu!"
Tangis Anggit pecah dihalaman pendapa itu. Ia terbayang ketika masing kecil selalu dijaga kakaknya jika teman laki-lakinya mengganggunya.
"Aku pamit ibu!" kata Linggar dan langsung menuju pringitan.
Nyi Demang melepas jabatan tangan Linggar dengan berat, ia tidak dapat berkata-kata lagi, Kerongkongannya terasa tersumbat.
"Jangan menangis Anggit! Kakakmu pasti akan kembali," kata Nyi Demang sambil mengelus punggung Anggit yang memeluknya erat.
Beberapa saat kemudian, Ki Demang Wulungan dan Linggar muncul dari samping rumahnya sambil menuntun kuda.
"Kami sudah siap Ki Jipayana."
"Baiklah Ki Demang. Aku menghormati niat baikmu, aku tidak akan mengikatmu, karena kau belum diputuskan bersalah," ujar Ki Jipayana.
Kemudian kelima orang prajurit dan Ki Jipayana, serta Ki Demang dan Linggar meninggalkan halaman itu dengan berkuda. Nyi Demang dan Anggit memandang kosong kepergian mereka, rasanya darahnya terasa berhenti mengalir melepas kepergian mereka ke Demak. Kedamaian hidup yang dijalaninya bersama suaminya mendadak seperti kehampaan yang ada.
Ketika melintas regol. Ki Demang Wulungan tidak menatap bebahunya, pandangannya hanya lurus ke muka. Berbeda dengan Linggar yang wajahnya mendadak merah, melihat senyum sinis anak Ki Jagabaya, Suwandana.