Belum sempat keadaan mencair, mereka dikejutkan kehadiran rombongan berkuda yang berjumlah tujuh orang. Terdiri dari lima orang pengiring dan dua orang dimuka, salah satunya adalah Ki Jagabaya. Ki Jagabaya yang melihat anaknya terduduk dengan bibir berdarah langsung membimbing anaknya berdiri. Ditatapnya Linggar yang masih berdiri dengan mata membara.
"Bodohnya kau Suwandana! Menangkap anak ingusan saja tidak bisa."
Suwandana hanya tertunduk dalam. Kemudian Jagabaya itu menghampiri Ki Demang Wulungan yang masih berdiri menghadap Sura Keling yang terkapar.
"Aku datang bersama prajurit Demak, Ki Demang!"
"Aku sudah menduga niat busukmu, Jagabaya! Kau mencoba menjeratku diantara kisruh antara Demak dan Jipang."
Ki Jagabaya mencoba mengendapkan hatinya dihadapan senapati Demak.
"Sudahlah Ki Demang kau sudah tertangkap tangan, jalan terbaik hanyalah mematuhi paugeran yang berlaku."
"Beraninya kau!" sahut Ki Demang dengan suara tinggi. Lalu tangannya diangkat tinggi hendak menampar Jagabaya itu.
Akan tetapi senapati yang datang bersama Ki Jagabaya itu memperingatkannya. "Cukup! Jangan memperluas persoalan kemana-mana. Aku Jipayana, senapati yang diutus ingkang sinuwun di Demak. Aku mencari dua buron yang melarikan diri dari lereng Tidar beberapa waktu lalu. Dan menurut Ki Jagabaya di Matesih, kau telah menyembunyikan dua buron itu! Benar begitu Ki Demang?"
Bagai petir di siang hari Ki Wulungan mendengar tuduhan itu lagi. Tetapi dicobanya untuk mengendapkan perasaannya yang bergejolak. "Ki Jipayana. Aku tidak pernah ingkar akan kuasa Demak atas bumi Matesih. Tetapi tuduhan memberontak ada tuduhan yang paling keji bagiku, tidak pernah secuil pun aku meragukan kedaulatan Demak atas kademangan yang aku pimpin. Untuk apa pula aku memberontak, tanah Matesih adalah tanah yang subur, rakyatnya dapat menuai padi lebih dari satu kali setahun."
Ki Jipayana mengangguk-angguk, "Baiklah Ki Demang, Buktikan jika kau tak bersalah!"