Suara pintu terbuka, membuat Andin refleks terduduk dari tidurnya. Nyeri hebat di bawah perutnya membuat Andin meringis kesakitan. Seseorang dengan badan besar masuk ke dalam ruangan putih itu, sosok Papa dengan wajah syukur karena anak gadisnya akhirnya siuman.
"Andin! Anak papa yang paling Papa sayangi!"
"Tidak! Tidak! Pergi kamu! Pergi!"
Andin melempar semua barang yang ada disekitarnya. Menarik rambutnya frustrasi. Tremor hebat saat Papa mendekatinya. Andin melepas alat infus di tangannya. Seakan tak merasakan sakit sama sekali, Andin berlari ke sudut ruangan. Menggeleng kuat, matanya berair dengan kantung mata yang terlihat jelas di matanya.
"Andin, ini Papa Ndin! Ini--"
"Enggak! Laki-laki itu, dia telah menghancurkan semuanya! Diaa--"
Mama datang saat mendengar teriakan Andin. Berlari menghampiri Andin dan langsung memeluk anaknya erat. Ikut menangis saat anak gadisnya menangis histeris.
Papa menyadari perubahan sifat Andin. Mengepalkan tangan kuat. Rasa marah dan geram memenuhi dada Papa. Papa segera keluar dari ruangan. Mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencari pelaku yang telah menghancurkan hidupnya.
***
"Bagaimana keadaan nak Andin saat ini?" tanya dokter muda. Wajahnya yang lembut, menatap Andin hati-hati.
Andin menatap sekitar. Masih diruangan yang serba putih. Tapi bedanya ruangan ini terlihat lebih banyak pasokan matahari masuk. Di ruangan sebelumnya, rasa sesak itu terasa. Sangat-sangat terasa.
"Nak Andin?"
Andin terkejut. Menatap dokter muda itu dengan mata sayu nya.