Andin diam di sudut kamar. Memukul perutnya sekuat tenaga, menangis dalam diam. Meski sebulan sudah berlalu, tapi kejadian menjijikkan itu masih terbayang di ingatan. Deretan kejadian yang tidak ingin dia ingat. Kenapa masih terus berputar disana? Andin benci akan dirinya.
"Andin sayang, makan yuk." Mama membuka pintu kamar. Terkejut melihat Andin yang menangis histeris sambil terus memukul perutnya.
Mama meletakkan nampan diatas nakas, lalu menghampiri Andin dan memeluk anak gadisnya.
"Mah, anak siapa ini? Ini bukan anakku. Anak di dalam perut ini bukan anakku. Aku nggak mau punya anak Mah. Aku mau sekolah, kuliah, mengejar mimpiku lagi. Menggapai apa yang mau aku gapai. Bermimpi sebanyak yang aku mau dan menggapainya satu per satu Mah. Ini bukan anakku. Dia anak laki-laki bejat itu! Dia anak si brengsek itu!"
Andin kembali menangis histeris. Memukul perutnya sekuat tenaga, berharap dirinya keguguran. Haahhh, harapan itu. Rasanya omong kosong belaka. Tidak ada gunanya. Semaunya sudah hancur lebur.
Papa yang berdiri di dekat pintu, menatap sedih pada anak gadisnya. Tapi Papa tidak bisa diam begini, dia harus memberitahu sesuatu hal.
"Mah,"panggil Papa.
Mama menoleh, menghampiri Papa. "Ada apa Pah?"
"Pelakunya sudah ditangkap," ucap Papah lirih.
Mama membulatkan mata lebar. Antara sedih dan marah ketika tahu bahwa pelakunya telah ditangkap. Mama memegang tangan Papa, menanyakan sekali kepastiannya.
"Serius Pah?"
"Iya Mah, dan polisi minta Andin datang di sidang nanti sore untuk dimintai keterangan dan polisi juga telah menemukan saksi nya," ujar Papa menatap Andin yang termenung di sudut ruangan.