"Apakah Andin mau Mah? Papa nggak mau dia histeris di persidangan nanti." Mama diam beberapa saat. Menatap Andin lekat. Lalu kembali menatap Papa untuk meyakinkan.
"Mama yakinkan dulu ya Pah. Semoga Andin bersedia," ucap Mama melangkah menghampiri Andin.
"Sayang." Mama memapah Andin ke tempat tidur. Mengelus rambut anak gadisnya lembut, menatap wajah Andin yang pucat dan tak berdaya. "Mimpi kamu tetap bisa di gapai kok. Kamu masih bisa bermimpi sebanyak yang kamu mau. Kamu boleh mewujudkannya satu per satu. Tapi butuh waktu, kamu butuh waktu sayang. Selesaikan satu-satu, jangan terlalu terburu-buru yaa," ucap Mama menenangkan Andin.
Andin menatap wajah sang Mama lekat. Seolah mencari keyakinan dari setiap kata yang diucapkan Mama.
"Tapi anak ini Ma? Ini bukan anak Andin Mah---"
Mama menggeleng pelan, mengelus kembali rambut Andin. "Hei, dia anugrah bagi keluarga kita. Dia itu titipin Tuhan. Malaikat kecil yang akan segera lahir dari perut gadis cantik seperti kamu merupakan anugrah terindah lhoo sayang. Jadi jangan anggap malaikat kecil ini sebagai beban kamu sayang."
Andin menangis pelan, memegangi perut nya. Rasa bersalah hadir dalam diri Andin.
"Mah, maaf. Harusnya Andin tidak seperti ini Mah."
 Mama memeluk Andin erat. "It's okay sayang. Kita hadapi semuanya bersama-sama yaa," ucap Mama mencium puncak kepala Andin.
"Nah, sekarang Mama mau kasih tau kamu sesuatu. Tapi janji jangan nangis atau apapun itu. Kamu harus kuat yaa," ucap Mama hati-hati.
Andin mengangguk pelan. Menatap Mama lekat, menggenggam tangan Mama erat.