Mohon tunggu...
Tarie Kertodikromo
Tarie Kertodikromo Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja lepas di bidang penulisan, komunikasi, penyelenggaraan event, juga relawan untuk berbagai kegiatan sosial, salah satunya di 1001buku. Kontak lain: FB: Tarie Kertodikromo YM: magicpie2005 Twitter: @mlletarie Blog: http://tariekertodikromo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Membingkai Hati (2)

25 April 2012   11:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku merenung sesaat. Apakah aku yang harus maju menemui mereka, pikirku. Aku tak merasa takut sedikit pun dengan preman lokalisasi itu, dan niatku baik. Aku tak perlu takut padanya.

Kukumpulkan kekuatan dan keyakinan agar aku benar-benar siap melangkah menghadapi ayah tiri Nadia. Kuminta alamat rumah gadis itu pada Yeni yang tak ingin menemaniku karena ayah Nadia akan menyalahkannya dan kembali mengancam perempuan itu.

"Dia mengancam akan menghancurkan perpustakaan ini," tukas Yeni, "aku tak mengkhawatirkan diriku, tapi aku tak ingin tempat ini dihancurkan."

Aku mengangguk seraya melangkah pergi. Dengan bantuan secarik kertas dan petunjuk dari orang-orang yang kutanyai, aku mencari rumah Nadia.

Rumah itu berada di ujung barisan rumah yang membatasi permukiman dan lokasi prostitusi. Pantas saja ayahnya mendapat posisi pengaman lokalisasi.

Pintu rumah berdinding setengah bata dan setengah kayu itu tertutup rapat. Jendela yang terbuat dari kawat kasa tertutup tirai kain berwarna merah lusuh dan kotor. Aku mengucapkan salam memanggil penghuni rumah itu.

Seorang anak lelaki berusia sekitar delapan tahun keluar membukakan pintu. Kutanyakan padanya apakah Nadia ada di dalam rumah, ia menjawab gadis itu sedang tidur. Aku meminta izin untuk masuk sedikit ke dalam rumah.

"Ibu kamu masih sakit?" tanyaku pada anak lelaki itu.

"Masih. Ada di dalam."

"Apa kamu bisa bangunkan Nadia?"

Anak itu mengangguk. Ia melangkah ke dalam ruangan yang hanya dibatasi sekat kayu dengan tempat di manaku berdiri. Aku memandangi dinding ruangan itu yang ditempeli kalender dan poster-poster huruf dan angka yang sudah penuh coretan. Aku yakin poster ini dibeli lima tahun lalu saat Nadia mengajarkan adiknya membaca dan berhitung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun