"Mulai kapan Nadia bisa bekerja?" tanya wanita bernama tante Diesye itu.
"Malam ini dia sudah siap bekerja," jawab ayah Nadia.
"Tapi Bapak, Nadia belum siap malam ini," ucap Nadia. Suaranya yang pertama kali kudengar sejak tadi.
"Tunggu apa lagi?" tanya ayah Nadia dengan suara keras, "kamu hanya mengulur waktu. Dasar anak pemalas! Kamu pikir biaya makan kalian selama ini gratis. Sekarang kamu harus gantikan ibu kamu. Dia sudah tua dan sakit-sakitan. Kamu tidak kasihan padanya?"
Nadia tak bicara lagi. Ia tak punya daya lagi untuk membantah ayahnya.
"Baik kalau begitu. Jika Nadia sudah siap, dia bisa menyambut tamu di depan sekarang. Nanti Selly akan bantu Nadia untuk urusan jadwal kerja dan pembayaran," kata tante Diesye, "sekarang aku hanya bermain dari balik layar saja, mengecek laporan keuangan dan promosi ke calon-calon pelanggan melalui internet. Sekarang sudah zaman canggih, Bang. Yang datang ke rumah bordilku bukan orang sembarangan, banyak bos dan pejabat. Aku pilih lokasi di sini karena lebih bebas dan tidak banyak aparat yang minta jatah. Aku tidak mengeluarkan terlalu banyak uang untuk suap."
Aku masih mematung dan tak tahu apa yang harus kulakukan. Hanya menunggu Nadia dan ayahnya benar-benar keluar tanpa tante Diesye.
Tubuh besar bang Rambo terdengar bangkit dari duduknya. Ia mengucapkan terima kasih pada tante Diesye dan akan segera keluar, dan membiarkan anaknya tetap tinggal di ruang tamu rumah bordil itu.
Aku segera berjalan cepat meninggalkan lorong itu. Aku tak peduli tatapan pegawai administrasi yang masih mengobrol dengan Yeni yang seakan bertanya, dari mana saja aku.
"Terima kasih, tadi saya menumpang buang air kecil," ucapku.
Perempuan muda itu mengangguk.