Ayah Nadia setuju. Aku segera berjalan ke arah rumah bordil Diesye, menarik tangan Nadia dan mengajak Yeni keluar.
"Kamu tidak boleh ke tempat ini lagi, Nadia," ucapku, "mulai besok kamu bekerja di perpustakaan sepulang sekolah. Kamu tak perlu takut pada bapak kamu. Pengobatan ibu kamu juga akan kutanggung. Kamu harus tetap sekolah dan aku yang akan bertanggung jawab pada semua biayanya."
"Terima kasih, Kak. Tapi bagaimana Kakak..."
"Jangan pikirkan apa pun. Yang harus kamu lakukan adalah mempertahankan harga diri kamu. Jangan pernah berpikir melacur adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa kamu lakukan. Tingkatkan keterampilan kamu. Belajar bahasa Inggris dan cari pengetahuan lain. Dua tahun lagi kamu keluar dari Rawamalang, bekerja dan tinggal tanpa bapak kamu yang brengsek itu."
"Aku tidak mungkin meninggalkan ibu saya."
"Itulah yang kamu harus lakukan. Membebaskan ibu kamu dari kebiadaban bapak kamu. Kalian tidak perlu menggantung diri padanya. Dia jelas-jelas tidak menyayangi kalian."
"Kakak beri bapak uang?"
"Aku berikan setengah dari gaji kamu bekerja di perpustakaan. Setengahnya akan kuberikan pada ibumu. Gunakan sebaik-baiknya. Bila perlu, sebelum kamu lulus, kamu sudah pindah dari sini. Lebih baik aku cari orang lain untuk bekerja di perpustakaan menggantikanmu. Aku sangat khawatir dengan keselamatan kalian."
Kami terus berjalan menyusuri gang. Musik dari berbagai sumber terdengar saling menghantam dan ingin didengar. Tawa keras dari para lelaki hidung belang dan tawa genit para penjaja seks mengiringi langkah kami. Aku muak dengan tempat ini.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H