Mohon tunggu...
Tammy Siarif
Tammy Siarif Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan Pengamat Kesehatan

Saya adalah seorang dokter, dan Manager di Rumah Sakit Swasta di Bandung, juga sebagai dosen di Perguruan Tinggi Kota Bandung. dan sekaligus sebagai pemerhati kesehatan,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)

8 Oktober 2018   16:46 Diperbarui: 8 Oktober 2018   17:08 14509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendahuluan

Menurut Permenkes no 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (untuk selanjutnya disebut sebagai Permenkes PTK), Pasal 1 ayat (1):  yang dimaksud dengan Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilaklukan terhadap pasien. Untuk memahami tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent), harus dipahami dahulu apa yang dimaksud dengan Tindakan Kedokteran. (Baca: https://www.kompasiana.com/tammysiarif/5b962e0fbde5756650307ad9/aspek-hukum-tindakan-kedokteran)

Setelah memahami Tindakan Kedokteran, maka Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah persetujuan dari pasien/keluarga untuk dilakukan tindakan kedokteran yang akan dilaksanakan oleh dokter terhadap pasien.

Bahasan tentang persetujuan tindakan kedokteran meliputi:

  • Mengapa perlu ada persetujuan untuk tindakan kedokteran.
  • Proses melakukan persetujuan tindakan kedokteran.
  • Aspek hukum persetujuan tindakan kedokteran

Mengapa Perlu ada Persetujuan untuk Tindakan Kedekteran.

Indonesia memiliki konsep sebagai welfare state (negara kesejahteraan), dimana pada konsep tersebut tidak ada satu sisi dalam kehidupan masyarakat yang tanpa adanya campur tangan pemerintah (from the cradle to the grave). Untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut, maka pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak dasar rakyatnya, melalui kewenangan pemerintah untuk mengatur melalui perangkat hukum yang ada.

Persetujuan tindakan kedokteran adalah amanat dari Permenkes no 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran  yang merupakan pelaksanaan dari UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45. Permenkes PTK Pasal 2 ayat (1) mengatakan bahwa semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Peraturan ini merupakan representasi dari upaya negara  untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dokter yang memungkinkan timbulnya pelanggaran hak asasi pasien.

UU no 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 2:

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat              pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,                kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Hak dasar manusia dalam bidang kesehatan yang berhubungan dengan Persetujuan Tindakan Kedokteran: (menurut UU no 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia)

  • Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya (Pasal 9)
  • Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.(Pasal 14)
  • Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 30)

Proses Melakukan Persetujuan Tindakan Kedokteran

Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Dari pengertian tersebut maka persetujuan tindakan kedoktrean terdiri dari :

  • Proses memberikan penjelasan
  • Proses mengambil keputusan

a. Proses Memberikan Penjelasan

Proses memberikan penjelasan pada persetujuan tindakan kedokteran harus diberikan

secara lengkap tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan kedokteran yang akan dilakukan kepada pasien/keluarga oleh dokter yang akan melakukan tindakan, agar pasien/ keluarga mengerti dan dapat memahami, dan penjelasan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk membuat keputusan. Dengan demikian maka persetujuan tindakan kedokteran sebenarnya suatu proses komunikasi antar dokter dan pasien/keluarga.

Pengertian Komunikasi

  • Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: komunikasi merupakan pengiriman dan penerimaan informasi, berita, atau pesan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih sehingga maksud atau pesan tersebut dapat dipahami.
  • Komunikasi adalah interaksi yang saling mempengaruhi yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, baik sengaja maupun tidak. Komunikasi tidak terbatas pada bahasa verbal saja, namun juga pada ekspresi wajah dan lainnya. (Shannon & Weaver)
  • Komunikasi adalah sebuah proses yang dilakukan seseorang dengan tujuan memberikan pengertian kepada orang lain  (James A. F. Stoner)

Ada beberapa unsur pada proses komunikasi, yaitu:

  • Komunikator (penyampai pesan), adalah mereka yang menyampaikan pesan. Penyampai pesan dapat orang yang menyampaikan informasi secara langsung atau dapat melalui media tertentu, seperti surat kabar, radio, televisi, sms, w.a, dan sebagainya.  
  • Komunikan (penerima pesan), adalah seseorang atau kelompok yang menerima pesan dari komunikator.
  • Pesan adalah maksud yang disampai dari komunikator ke komunikan.
  • Efek, komunikasi dikatakan berhasil bila memberikan efek kepada  komunikan.  

Dalam hal Persetujuan Tindakan Kedokteran, maka yang dimaksud dengan :

  • Komunikator adalah dokter atau dokter gigi
  • Komunikan adalah pasien atau keluarga pasien
  • Pesan adalah sesuatu yang harus disampaikan yang sekurang-kurangnya meliputi:  (Permenkes PTK Pasal 7 ayat (3)) 
    • Diagnosa dan tata cara tindakan kedokteran
    • Tujuan tindakan kedoekteran yang dilakukan
    • Alternative tindakan lain dan resikonya
    • Resiko dan komplikasi yang mungkin tertjadi
    • Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
    • Perkiraan biaya
    • Efek yang diharapkan adalah persetujuan/consent dari pasien/keluarga pasien terhadap tindakan yang akan dilakukan.
    • Agar pasien dapat memberikan persetujuan, maka pesan yang diberikan selain lengkap

juga harus menggunakan bahasa yang jelas, dapat dipahami dan dimengerti oleh pasien/keluarga  (Ps 9 ayat (1)).  Penjelasan tidak boleh mengesankan sesuatu yang sifatnya menakut-nakuti, tetapi suatu kebenaran untuk membantu pasien/keluarga agar dapat mengambil keputusan yang terbaik.

b.      Proses Mengambil  Keputusan.

Keputusan adalah suatu pengetahuan yang seutuhnya tentang benar atau salah, keputusan menyatakan it is or it is not.  Keputusan bisa benar, tetapi juga bisa salah, tetapi dalam diri manusia ada keinginan untuk selalu mengambil keputusan untuk hal-hal yang benar  (Adelbert Snijders: Manusia dan Kebebasan-Pustaka Filsafat,  Penerbit Kanisius 2010).  

Untuk bisa mengambil keputusan yang benar, diperlukan penjelasan yang benar pula. Jadi keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui tindakan kedokteran sangat ditentukan oleh penjelasan yang benar tentang tindakan yang akan dilakukan. Keputusan tindakan kedokteran: bisa keputusan untuk menyetujui atau menolak tindakan kedokteran yang akan dilakukan.  

Aspek Hukum Persetujuan Tindakan KedokteranPersetujuan Tindakan Kedokteran sebagai Proses Hukum:

  • Bagi negara: persetujuan tindakan kedokteran merupakan upaya negara untuk melindungi hak pasien dari tindakan kesewenang-wenang dokter terhadap pasiennya.
  • Bagi dokter: merupakan kepastian hukum akan adanya persetujuan dari pasien terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
  • Bagi pasien: merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan negara akan adanya hak pasien untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan dirinya dan hak untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri.

Aspek Hukum Pemberian Penjelasan Tindakan Kedokteran

Bagaimana hubungan hukum antara komunikator dan komunikan (sengaja tidak dituliskan dokter dan pasien), apakah komunikator dan komunikan adalah orang (subjek hukum) yang mempunyai hubungan hukum ?

Contoh: pasien A akan dilakukan operasi usus buntu oleh dokter X. apakah penjelasan tentang mengapa operasi dilakukan dengan segala resikonya disampaikan oleh dokter X atau oleh dokter lain (misal: dokter jaga) atau bahkan oleh Perawat. Apakah penjelasan tersebut disampaikan kepada pasien A atau kepada orang lain/keluarga? (Pasal 7 ayat 1)

Dalam hal persetujuan tindakan kedokteran, hubungan hukum antara komunikator dengan komunikan adalah: dokter penanggungjawab pelayanan dengan pasien (pada keadaan tertentu, pasien bisa digantikan oleh keluarga terdekat). Jadi yang berkewajiban untuk memberikan penjelasan adalah dokter yang akan melakukan tindakan, apabila karena sesuatu sebab, maka tindakan yang sudah direncanakan tersebut harus dialihkan kepada dokter pengganti, maka dokter pengganti harus melakukan penjelasan kembali kepada pasien. Jadi komunikator adalah dokter pelaksana tindakan dan tidak bisa dialihkan kepada komunikator lain.  Karena memberikan penjelasan pada tindakan kedokteran merupakan tanggung jawab yang tidak boleh didelegasikan (non-delegable duty)

Berbeda dengan komunikan, seharusnya komunikan adalah pasien, tetapi dalam keadaan tertentu, maka komunikan bisa dialihkan kepada orang lain, misalnya keluarga terdekat atau pada keadaan yang sangat istimewa, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar, tidak ada keluarga, kemudian diantar oleh pengantar yang tidak diketahui pasti hubungannya dengan pasien, maka penjelasan dapat diberikan kepada pengantar tersebut.

Pemberian Penjelasan kepada Pengantar

Pada keadaan pasien tidak sadarkan diri, menurut Pasal 7 ayat (20, maka penjelasan dapat diberikan kepada keluarga atau pengantar.  Bagaimana hubungan hukum dan akibat hukumnya apabila penjelasan diberikan kepada pengantar yang bukan  keluarga pasien?

Dalam undang-undang hukum perdata dikenal adanya perwakilan sukarela (Pasal 1354 KUH Perdata):

"Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusannya."

Pengantar adalah perwakilan sukarela yang termasuk dalam perikatan yang lahir karena undang-undang, yaitu suatu perbuatan di mana seseorang secara sukarela menyediakan dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang lain, dengan perhitungan dan resiko ditanggung orang tersebut. Perwakilan sukarela dapat terjadi, karena seseorang yang diwakili  tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri (pasien dalam keadaan tidak sadar).

Terjadinya perwakilan sukarena, harus memenuhi persyaratan :

  • Yang diurus adalah kepentingan orang lain.
  • Seorang wakil sukarela harus mengurus kepentingan orang yang diwakilinya secara
  • sukarela, artinya perbuatan tersebut atas inisiatif sendiri dan bukan berdasarkan kewajiban yang ditimbulkan oleh undang-undang atau perjanjian.
  • Seorang wakil sukarela harus mengetahui dan menghendaki dalam mengurus kepentingan orang lain.
  • Untuk membenarkan inisiatif bertindak sebagai wakil sukarela, maka harus ada keadaan yang menyebabkannya (dalam hal ini pasien tidak sadar)

Yang menjadi masalah apakah pengantar mengetahui bahwa dia adalah wakil sementara dengan segala akibat hukumnya, atau hanya sekedar mengantar saja karena rasa belas kasih, tanpa mengerti  akibat hukum yang akan terjadi setelah pasien tersebut diantar.

Dari persyaratan terjadinya perwakilan sementara, maka seorang wakil sukarela harus mengetahui dan menghendaki dalam mengurus kepentingan orang lain, hal ini  belum tentu diketahui dan resikonya pun belum tentu akan diambil oleh pengantar. Dengan demikian apakah pengantar dapat dianggap sebagai wakil sementara yang bisa diberikan penjelasan  oleh dokter ?

Dalam perwakilan sukarela perbuatan-perbuatan hukum dapat dilakukan atas nama orang yang mewakili secara sukarela sendiri atau atas nama orang yang diwakili.

Jika dilakukan atas nama orang yang diwakili dan kepentingannya telah diurus dengan baik, maka terjadi hubungan antara orang yang diwakili dengan pihak ketiga.

Dalam hal orang yang mewakili secara sukarela bertindak atas nama sendiri, maka terjadi hubungan hukum antar orang yang mewakili dengan pihak ketiga.

Apabila pengantar adalah orang yang sebenarnya tidak ada hubungan apapun dengan pasien, (pengantar menemukan pasien kecelakaan, tidak sadarkan diri disuatu tempat, lalu dibawa kerumah sakit), maka hubungan hukumnya adalah antara pasien dengan pihak dokter/rumah sakit. Tetapi apabila pengantar adalah kebetulan orang yang kenal dengan pasien (teman, kerabat atau saudara jauh), maka hubungan hukumnya  antar pengantar dengan dokter/rumah sakit.

Aspek Hukum Pemberian Keputusan pada Persetujuan Tindakan Kedokteran  

Siapa yang berhak mengambil keputusan menyetujui atau menolak tindakan kedokteran?  Yang paling berhak untuk menyetujui atau menolak tindakan kedokteran adalah pasien sendiri. Pasien harus mempunyai kemampuan (capacity or ability) untuk mengambil keputusan (Guwandi -- 2004); tetapi pada beberapa keadaan, keputusan bisa dilakukan oleh orang lain yaitu keluarga terdekat.

Peraturan tidak menentukan siapa yang dimaksud dengan keluarga 'terdekat'. Sebagai gambaran tentang siapa saja yang bisa dianggap sebagai keluarga terdekat, maka hubungan keluarga menurut hukum Indonesia dapat terjadi karena:

  • Adanya hubungan perkawinan:
    • Disebut dengan hubungan semenda
    • Misalnya : hubungan antara ipar,mertua,anak tiri,menantu
  • Adanya hubungan darah.
    • Hubungan yang terjadi karena pertalian darah.
    • Garis lurus keatas/garis leluhur : hubungan dengan bapak,ibu,nenek,kakek
    • Garis lurus ke bawah/garis keturunan: hubungan dengan anak,cucu,cicit.
    • Garis ke samping: hubungan dengan saudara kandung dan anak-anak saudara kandung

(Pokok-Pokok Hukum Perikatan - R. Setiawan, SH dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

Keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat apabila:

  • Pasien masih dibawah umur
  • Pasien dibawah pengampuan
  • Pasien yang tidak sadar

Keputusan yang diberikan bisa menyetujui atau menolak tindakan, bahkan pada saat dijelaskan pasien menyetujui untuk dilakukan tindakan,  tetapi pada saat akan dilakukan tindakan, pasien masih boleh untuk mencabut persetujuan tersebuit dan menyatakan bahwa dia menolak untuk dilakukan tindakan. Penolakan tersebut, harus dibuat secara tertulis.(Pasal 16). Dengan demikian, maka segala akibat dari penolakan tersebut sepenuhnya menjadi tanggungjawab pasien (Volenti non Fit Inuria).

Volenti non Fit Inuria adalah doktrin 'tidak ada cedera bagi orang yang besedia melakukannya' merupakan salah satu prinsip hukum, dimana seseorang yang mengetahui dengan persis dan secara sukarela, tanpa paksaan memberikan persetujuan dan berpartisipasi untuk mengambil resiko  tidak bisa mengajukan tuntutan atas cedera atau kerugian yang terjadi.  Contoh: pasien pulang paksa yang sudah dijelaskan segala resikonya oleh Dokter.

Persetujuan dapat diberikan secara tertulis, lisan atau Implied Consent  yaitu persetujuan yang diberikan tanpa pernyataan tegas, tetapi secara tersirat, yang ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien, umumnya untuk tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum. Sikap yang dapat diartikan sebagai persetujuan, misal: anggukan kepala atau mengulurkan tangan saat akan diambil darah.Untuk tindakan kedokteran yang mempunyai resiko tinggi harus dinyatakan secara tertulis oleh yang paling berhak memberikan persetujuan.

Persetujuan Tindakan Kedokteran pada Pasien Gawat Darurat.

Pada kasus gawat darurat yang mengancam jiwa, dan tidak ada keluarga terdekat, maka tindakan kedokteran bisa dilakukan tanpa persetujuan tindakan kedokteran (Permenkes PTK Pasal 4). Ini dilandasi oleh doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik walaupun tanpa persetujuan tindakan kedokteran (Guwandi, 2004) dimanakan sebagai  presumed consent (perkiraan persetujuan). Presumed consent didasari oleh fiksi hukum, bahwa seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa yang pada umumnya disetujui oleh para pasien yang berada dalam keadaan sadar pada situasi dan kondisi sakit yang sama. Pada kasus gawat darurat yang mengancam jiwa dikenal istilah Constructive Consent untuk membedakan dengan Implied Consent pada kasus non gawat darurat (Guwandi 2004).

Bagaimana bila tidak ada keluarga terdekat, tetapi hanya pengantar yang bukan keluarga pasien, apakah perlu dimintakan persetujuan kepada pengantar?  Peraturan menyebutkan bahwa pengantar hanya mendapatkan penjelasan, dan kepada pengantar tidak dimintakan persetujuaan.  Mengapa pengantar tidak dimintakan persetujuan ?

Penerapan ketentuan perwakilan sementara dalam persetujuan tindakan kedokteran,  hanya diberlakukan sebagian saja dari ketentuan perwakilan sementara seperti yang dimaksudkan Pasal 1354 KUHPerdata, sebatas penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan kepada pasien, dan tidak meminta keputusan dari wakil sementara. Karena pada tindakan kedokteran pada pasien tidak sadar yang tidak ada keluarga, hanya ada seorang pengantar, yang bukan keluarganya, sementara peraturan menyatakankan: setiap tindakan kedokteran harus dilakukan persetujuan setelah diberikan penjelasan (informed consent). Pada situasi demikian seorang (dokter) mempunyai Self Defence (pembelaan pribadi) terhadap kasus-kasus yang dapat mengancam dirinya, mengingat:

  • Seseorang (dokter) berhak untuk membela dirinya sendiri, dan (dokter) juga boleh mengambil langkah/tindakan yang perlu untuk melindungi dirinya.
  • Tindakan tersebut harus beralasan dan terkait dengan kemungkinan kejadian  yang dapat terjadi dan apabila tidak dilakukan (penjelasan) maka dokter akan mendapatkan masalah.

Persetujuan Tindakan Kedokteran dengan Hak Weiver  

Hak Waiver atau Doktrin Waiver adalah hak pasien untuk melepaskan haknya memperoleh informasi tentang penyakitnya, atau pasien memutuskan bahwa dia tidak ingin diberi informasi tentang penyakit dan tindakan kedokteran yang akan dilakukan atau keharusan pasien untuk membuat keputusan atas dirinya (to decide not to make another decision).

Ada kalanya pasien merasa takut menghadapi kenyataan bahwa dia menderita sesuatu penyakit (misal menderita keganasan), sehingga pasien menyerahkan sepenuhnya kepada dokter untuk melakukan apa saja terhadap dirinya, tanpa perlu memberitahukan dan meminta persetujuan untuk tindakan yang akan dilakukan.

Disisi lain dokter berkewajiban untuk menyampaikan informasi yang benar kepada pasien dan meminta persetujuan pasien untuk setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan, karena menerima penjelasan dan memberikan persetujuan adalah hak pasien. Ada  dua hal yang saling bertentangan, disatu pihak pasien mempunyai hak untuk mendapatkan penjelasan dan mengambil keputusan atas dirinya, dipihak lain pasien yang sama juga mempunyai hak untuk tidak mau menerima penjelasan, dan tidak mau membuat keputusan untuk dirinya sendiri.

Jika dihubungkan dengan Doktrin Persetujuan Tindakan Kedokteran, penggunaan Doktrin Waiver oleh pasien bisa diartikan bahwa pasien telah melepaskan haknya untuk mendapatkan  informasi penyakitnya, penjelasan tentang tindakan kedoketeran yang akan dilakukan dan melepaskan haknya untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri. Dengan demikian  dokter tidak lagi berkewajiban untuk memberikan informasi dan penjelasan serta meminta persetujuan tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

Filosofi dari persetujuan tindakan kedokteran adalah upaya negara  untuk melindungi hak asasi pasien dan mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dokter yang memungkinkan timbulnya pelanggaran terhadap hak pasien. Sebaliknya negara juga mempunyai kewajiban untuk menghormati hak lain yang dimiliki  pasien. Untuk menghormati hak pasien(hakWeiver) sekaligus melindungi dokter, karena dokter melakukan  tindakan kedokteran tanpa penjelasan terlebih dahulu dan tanpa persetujuan pasien, maka Pasal 9 ayat (3)  menyatakan bahwa dalam hal pasien menolak diberi penjelasan, dokter dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lainnya sebagai saksi.

Sebenarnya kepada pasien penguna hak Waiver, dokter dapat memberikan penjelasan kepada keluarga terdekat, tetapi hal tersebut juga masih ada celah untuk menyalahkan dokter, dokter harus melakukan self defence dengan meminta agar pasien membuat pernyataan tertulis bahwa pasien tidak mau menerima penjelasan dan membuat keputusan bagi dirinya sendiri dan penjelasan tersebut disampaikan kepada keluarga terdekatnya atau kepada orang tertentu.

Yang menjadi permasalahan adalah apabila ternyata pasien juga tidak menghendaki penjelasan disampaikan kepada keluarga atau orang lain. Dalam hal ini dokter harus mendapatkan  catatan dari Komite Medik, bahwa tindakan yang akan dilakukan kepada pasien sudah sesuai dengan indikasi medik. Dan dokumen-dokumen tersebut disimpan sebagai berkas rekam medis.

Orang Tua yang Tidak Menyetujui Tindakan Kedokteran pada Anak.

Goldtein, Freud dan Solnit dalam bukunya "Before the best Interestof the Child' menyatakan bahwa  bila orang tua tidak setuju, maka tindakan kedokteran pada pasien anak-anak tetap dapat dilakukan dengan persyaratan:

  • Tindakan tersebut harus berupa tindakan terapi (bukan percobaan)
  • Tanpa tindakan tersebut anak akan mati
  • Tindakan tersebut akan memberikan peluang atau harapan kepada anak untuk bisa hidup normal,sehat dan mempunyai manfaat.

Persetujuan Tindakan Kedokteran pada Perluasan Tindakan  (Extended Operation)  

Perluasan tindakan kedokteran adalah tindakan operasi yang dilakukan diluar atau melampaui yang sudah direncanakan, ada dua kemungkinan:

  • Perluasan sudah terindikasi sejak sebelum tindakan.
    • Dalam keadaan ini maka harus dijelaskan kemungkinan adanya perluasan pada saat dilakukan tindakan, 
    • Tindakan perluasan tersebut sudah juga disetujui.
  • Perluasan tindakan baru diketahui pada saat tindakan dilakukan.
    • Yaitu pada saat dilakukan operasi ditemukan sesuatu yang tak terduga sebelumnya
    • Dapat membahayakan jiwa pasien, jika tidak segera dilakukan perluasan tindakan

Pembatasa perluasan tindakan:

  • Pada kondisi yang wajar tidak mungkin didiagnosa sebelumnya.
  • Perluasan operasi masih berada pada lokasi sayatan yang sama.
  • Tidak untuk membuang organ atau anggota tubuh
  • Tidak mengakibatkan perubahan pada fungsi reproduksi/sexual
  • Tidak memberikan resiko tambahan yang serius.
  • Tidak ada indikasi bahwa pasien menginginkan hal tersebut

Perluasan tindakan harus dibatasi hanya sebagai tindakan penyelamatan jiwa (life saving) dan tidak boleh diperluas dengan operasi lain yang tidak berhubungan dengan penyelamatan jiwa. (Appelbaum, et al dalam Guwandi, 2006).  Setelah dilakukan perluasan tindakan, segera dijelaskan kepada pasien atau keluarganya dan dimintakan persetujuan secara tertulis. (Pasal 11 dan 12)

Persetujuan pada Situasi Khusus

Yang dimaksudkan dengan situasi khusus dalam peraturan ini adalah situasi dimana akan dilakukan tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support) pada pasien. Menurut Permenkes no 37/2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor yang dimaksudkan dengan:

  • Penundaan terapi bantuan hidup (Withholding life support) adalah menunda pemberian terapi bantuan hidup baru atau lanjutan tanpa menghentikan terapi bantuan hidup yang sedang berjalan,
  • Penghentian terapi bantuan hidup (Withdrawing life support) adalah menghentikan sebagian atau semua terapi bantuan hidup yang sudah diberikan pada pasien.6

Para dokter sudah dididk untuk selalu menolong jiwa pasien, namun pada keadaan tertentu dimana kondisi pasien tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile), maka dokter harus memutuskan apakah boleh 'merelakan pasien untuk meninggal' (allowing the patient to die).

Peraturan memungkinkan pasien yang tidak sapat disembuhkan dan tindakan kedokteran sudah sia-sia sesuai kriteria yang sudah ditetapkan, dapat dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup. Keputusan penundaan terapi bantuan hidup dan/atau penghentian terapi bantuan hidup harus dilakukan oleh tim dokter yang menangani pasien, setelah berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik. Jadi keputusan yang diambil semata-mata karena keputusan medis dan bukan keputusan emosioal.

Rencana tindakan penghentian/penundaan terapi bantuan hidup, harus diinformasikan dan dimintakan persetujuan tertulis dari keluarga /wakil keluarga pasien. (Permenkes PTK Pasal 14).

Yuen et al 2010 dalam Breault 2011 membuat beberapa ukuran untuk menentukan keputusan penundaan terapi bantuan hidup dan/atau penghentian terapi bantuan hidup:

  • Dokter penanggungjawab pelayanan harus menentukan penyakit/kondisi pasien,
  • Apa tujuan memutuskan penundaan terapi bantuan hidup atau penghentian terapi bantuan hidup, prognosa, potensi manfaat dan kerugiannya, apakah ada rekomendasi lain,
  • Alasan pasien/keluarga dalam pengambilan keputusan,
  • Didokumentasikan dalam berkas Rekam Medis.

Prosedur penundaan terapi bantuan hidup dan/atau penghentian terapi bantuan hidup, menurut Morrison et al (2010):

  • Usulan penundaan terapi bantuan hidup dan/atau penghentian terapi bantuan hidup  disampaikan oleh dokter yang merawat dan diskusikan dengan tim dokter.
  • Didiskusikan kepada keluarga yang berhak mengambil keputusan,
  • Pasien/keluarganya dapat menerima dan  memahami informasi yang akurat tentang penundaan terapi bantuan hidup dan/atau penghentian terapi bantuan hidup, prognosa, potensi manfaat dan kerugiannya, rekomendasi lain,
  • Pernyataan persetujuan tindakan penundaan terapi bantuan hidup dan/atau penghentian terapi bantuan hidup oleh keluarganya harus dibuat tertulis.

Apakah tindakan penundaan atau penghentian terapi bantuan hidup bisa dianggap sebagai euthanasia ?  

Menurut Prof Leenen: tindakan penundaan atau penghentian terapi bantuan hidup, dinamakan Pseudo euthanasia, yaitu menghentikan tindakan perawatan medis yang tidak berguna lagi. Menurutnya: seharusnya ada perbandingan yang masuk akal antara tindakan medis dengan efek dari tindakan tersebut, jika tindakan medis yang dilakukan sama sekali tidak ada gunanya lagi, maka dokter tidak lagi berkompeten untuk melakukan perawatan medis, karena  sangat berhubungan dengan batas ilmu kedokteran. Bahkan apabila dokter tetap melakukan tindakan medis yang tidak ada gunanya, secara juridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. (Fred Ameln, dikutip dari Leenen: Recheten van mensen in de gezondheids zorg, 1978 hal 239).

Leenen berkesimpulan: dokter seharusnya tidak memulai sesuatu terapi atau melanjutkan terapi, jika secara medis tidak dapat lagi diharapkan suatu hasil, walaupun hal itu mengakibatkan meninggalnya pasien. Ini bukan tindakan euthanasia (pasif), dan tidak ada perbuatan yang dapat dihukum dikarenakan dalam perawatan medis, dokter tidak lagi berkompeten untuk melakukan perawatan medis. 

Persetujuan Tindakan Kedokteran pada Organ Reproduksi.

Baik wanita maupun laki-laki mempunyai organ reproduksi, yang berguna pada proses reproduksi manusia untuk menghasilkan generasi penerus. Tanpa organ reproduksi tidak mungkin terjadi penerusan generasi dalam keluarga. Oleh karena itu keberadaan organ reproduksi baik pada wanita maupun laki-laki dalam ikatan suami istri menjadi sangat penting. Sementara itu belum ada  peraturan yang mengatur secara jelas bagaimana persetujuan tindakan kedokteran pada organ reproduksi, bagi pasien yang berada dalam ikatan perkawinan.

Menurut Undang-Undang no 1/1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1) dan perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.(Pasal 6 ayat (1)).

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka setiap tindakan kedokteran yang akan berpengaruh terhadap pasangannya sebagai suatu kesatuan dan tidak bersifat terapi, yang sifatnya irreversible, missal: pengangkatan organ reproduksi yang akan berdampak pada proses regenerasi,  dokter wajib memberikan penjelasan kepada suami dan istri, dan setiap tindakan kedokteran tersebut harus mendapat persetujuan tertulis dari suami dan istri.  

Persetujuan pada Program Pemerintah.

Menurut Permenkes PTK Pasal 15: dalam hal tindakan kedokteran yang harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah, dimana tindakan kedokteran tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan.

Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan program pemerintah tersebut. Salah satu program pemerintah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak adalah pemberian imunisasi dasar pada anak-anak. Sehingga pemerintah dapat melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional secara berkala.

Tanggungjawab  Persetujuan Tindakan Kedokteran        

Pelaksanaan tindakan kedokteran yang sudah mendapatkan persetujuan sepenuhnya merupakan tanggungjawab dokter yang akan melakukan tindakan tersebut, sementara fasilitas pelayanan kesehatan/rumah sakit, bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan persetujuan tindakan kedokteran, melalui pembuatan regulasi yang berhubungan dengan proses persetujuan tindakan kedokteran. (Permenkes PTK Pasal 17)

Kekuatan Hukum bagi Dokter atas Persetujuan Tindakan Kedokteran

Selama ini yang dianggap sebagai tindakan kedokteran adalah tindakan yang bersifat operatif, padahal tidak semua tindakan kedokteran adalah tindakan operatif, karena ada tindakan kedokteran yang bersifat administratif. Tindakan kedokteran operatif, misal: pembiusan, sayatan atau penusukan terhadap tuhuh, yang dilakukan oleh dokter dapat dianggap sebagai penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Walaupun tindakan tersebut dilakukan oleh dokter, tetap dianggap sebagai penganiayaan, kecuali: (Fred Ameln: Kapita Selekta Hukum Kedokteran- 1991)

  • Orang yang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan,
  • Tindakan tersebut sesuai dengan indikasi medis dan untuk tujuan yang konkrit
  • Tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan ilmu kedokteran.

Karena perbuatan yang menimbulkan rasa sakit/luka kepada orang lain yang merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan yang diperbolehkan, menurut penafsiran tersebut tidak termasuk kedalam pengertian penganiayaan.

Kekuatan hukum persetujuan tindakan kedokteran terletak pada penyelenggaraan persetujuan tindakan kedokteran itu sendiri, apakah sudah sesuai dengan ketentuan hukum. Jika penyelenggaraan persetujuan tindakan kedokteran sudah sesuai aturan hukum, maka persetujuan tindakan kedokteran tersebut akan memberikan kepastian hukum bagi dokter.  Kalau demikian, apakah dokter yang melakukan tindakan kedokteran dan sudah mendapatkan persetujuan tindakan kedokteran yang sudah sesuai dengan aturan yang ada, bisa dituntut secara hukum?  

Harus dibedakan antara prasyarat untuk melakukan tindakan kedokteran dan prosedur tindakan kedokteran.  Persetujuan tindakan kedokteran adalah prasyarat untuk melakukan tindakan kedokteran, selama prosedur persetujuan tindakan kedokteran dilakukan sesuai dengan aturan yang ada, maka pelaksanaan tindakan tersebut tidak bisa dituntut, tetapi apabila dokter melakukan kelalaian pada saat menjalankan prosedur tindakan kedokteran, dokter masih tetap bisa dituntut,  tetapi hanya untuk tindakan kedokterannya. (Lihat:Memahami Malpraktik Medis:             https://www.kompasiana.com/tammysiarif/5b6410145a676f2fb04404a4/memahami-malpraktik-medis)  Jadi walaupun dokter sudah memiliki persetujuan tindakan kedokteran bukan jaminan bahwa dokter tidak dapat dituntut oleh pasien/keluarganya.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan pada Formulir Persetujuan Tindakan Kedokteran:

  1. Pasien yang sudah menyetujui tindakan kedokteran, maka tidak perlu dimintakan persetujuan lain yang akan menyertainya, karena sudah dianggap  implied consent misal:
    • Suntikan premedikasi yang berhubungan dengan tindakan operasi
    • Mencukur rambut pada daerah jahitan operasi.
  2. Persetujuan tindakan kedokteran bukan perjanjian, sehingga tanda tangan dokter pada formulir persetujuan hanya sebatas bukti bahwa dokter telah memberikan penjelasan sebagaimana seharusnya.
    • Tandatangan saksi diperlukan sebagai bukti bahwa:
    • Dokter telah memberikan penjelasan sebagaimana seharusnya
    • Pasien telah memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan kedokteran.
    • Saksi harus dua orang karena menurut hukum satu saksi bukan saksi.
  3. Formulir persetujuan tindakan kedokteran tidak perlu dibubuhi Materai, karena materai sebagai tanda pelunasan pajak atas dokumen. Dalam UU no No.13/1985 tentang Bea Meterei, disebutkan: surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei. Ada atau tidak adanya materai pada persetujuan tindakan kedokteran, perbuatan hukumnya tetap sah, hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian.  Bila suatu saat formulir tersebut akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.

Bandung, 5 Oktober 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun