Jika ada orang yang sangat cinta sekali pada kekasihnya hingga dibilang cinta buta, itu sudah biasa, banyak contohnya dan mungkin kau adalah salah satunya. Demikian juga jika ada orang yang sangat cinta sekali pada hewan peliharaannya hingga memperlakukan mereka laik manusia itu pun sudah biasa. Tetapi Tuti beda. Mungkin kalian akan menganggapnya gila. Kalian nilailah nanti, aku hanya ingin menceritakan betapa dia sangat mencintai toilet.
***
Di panggung yang megah itu, di bawah gemerlap lampu warna-warni dan di depan ratusan tamu undangan. Tuti berdiri di depan mimbar dengan wajah penuh haru. Di tangan kanannya tergenggam piala berwarna keemasan yang sesekali berkilau terterpa sinar lampu. Sambil sesuggukkan menahan tangis bahagia usai dinobatkan sebagai penyanyi pendatang baru terbaik, Tuti menghaturkan rasa terimakasihnya kepada Tuhan dan toilet.
"Terimakasih sebesar-besarnya saya haturkan kepada Tuhan dan toilet," katanya.
Ratusan tamu undangan yang didominasi oleh kalangan artis dan beberapa pejabat terkejut mendengarnya. Salah seorang kameramen bahkan sempat menyorot Yonglex tengah tersedak di bangku saat Tuti mengucapkan toilet tepat pada waktu penyanyi rap itu memasukkan potongan pastel ke dalam mulut.
Beragam ekspresi berpendaran. Kebanyakan tergelak bagai mendengar lelucon semata, sedang Tuti di atas panggung sana semakin bertambah melankolic.
"Jika ada yang bertanya kepada saya, siapa di dunia ini yang paling mengenal saya, saya akan menjawab tak lain tak bukan yang paling mengenal saya adalah toilet."
Mereka tertawa. Mata Tuti berkaca-kaca.
"Di sanalah tempat saya membagi keluh kesah, tempat saya memelihara mimpi, hingga kemudian mimpi itu menjadi nyata," imbuh Tuti. "Dan ada yang mungkin perlu kalian tahu," tambahnya. "Terkadang, toilet bisa lebih mengerti kita ketimbang manusia."
Mereka tertawa. Bibir Tuti bergetar.
"Untuk semua yang sudah mendukung saya, penghargaan ini juga untuk kalian," Tuti mengangkat piala itu tinggi-tinggi, lalu beringsut pergi meninggalkan panggung. Riuh tepuk tangan penonton menggema.
***
Seminggu sebelum acara penghargaan bagi para musisi tanah air itu dihelat, Tuti sebenarnya baru saja pulih dari luka hatinya. Belum sembuh benar memang luka itu. Tapi setidaknya tak lagi parah.
Edo, Kekasihnya, sang pengusaha muda sukses di bidang food and baverage itu, membatalkan pernikahan yang telah lama diimpi-impikan Tuti sebagai seorang perempuan berusia 30. Tak sekadar menggagalkan pernikahan, lelaki itu pun mengakhiri hubungan asmara yang  sudah 3 tahun mereka jaga.
Keputusan celaka itu ditenggarai oleh ketidaksetujuan Edo pada konsep pernikahan yang Tuti inginkan.
Waktu nyatanya tak cukup menyatukan keduanya.
Padahal, sepekan setelah Edo melamar Tuti di hadapan kedua belah pihak keluarga, siang-malam wajah Tuti  berseri-seri membayangkan konsep pernikahan itu. Tersenyum-senyum dia memandangi langit-langit kamar hingga pagi. Betapa akhirnya konsep pernikahan yang selama ini sekadar di angan-angan dalam hitungan bulan akan menjadi kenyataan.
Jantung Tuti berdebar tak sabar. Dan, pada makan malam romantis yang kali kesekian itu, Tuti mengutarakan konsep pernikahan tersebut. Edo terkesiap. Makanan yang ditelannya tersendat di kerongkongan dan tak ayal membuatnya keselak. Kekasihnya menginginkan konsep pernikahan bernuansa toilet? Selera makannya sekejap ambruk. Semua panganan mewah nan lezat yang terhidang di meja bagai menjadi makanan emperan jalan yang dikerumuni lalat.
"Jangan bercanda!" tandasnya
"Siapa yang bercanda?"
"Berarti kau sudah gila!"
Tuti terkejut. Tak dinyana Edo akan berucap sekasar itu padanya. Ini yang pertama kali dan rasanya seperti ditusuk sembilu.
Edo, di kursinya, mengernyit, perutnya kontan mual membayangkan pernikahan bernuansa toilet. Apa jadinya nanti para tamu undangannya yang kebanyakan para konglomerat? Mereka bakal makan dan minum sementara benda tempat orang biasa buang taik, ada di dekat mereka?
"Ngawur!" Pekik Edo. Tanpa sadar meja digebraknya.
Tuti tercekat.
Semua pengunjung melihat.
Makan malam itu berakhir dengan perasaan yang berantakan. Dan kencan kali itu disudahi tanpa peluk cium sebagaimana biasanya. Dan angin menjadi lebih dingin.
***
"Aku mau tanya sekali lagi padamu, apa kau serius dengan konsep pernikahanmu itu?" tanya Edo di telpon sesampainya dia di rumah dan tak bisa tidur.
"Aku serius."
"Terus terang aku tidak setuju. Apa kau tidak bisa merubahnya?"
"Apa kau tidak bisa menerimanya?"
Edo terdiam. Sunyi. Tuti menunggu jawaban. Suara hujan meningkahi kebisuan mereka.
"Aku rasa kau tak sungguh-sungguh mencintaiku, Ti," imbuh Edo kemudian.
Hujan menderas. Hening. Tuti terdiam. Edo menunggu balasan.
"Kurasa kaulah yang tak sungguh-sungguh mencintaiku, Do."
***
Di toilet, Tuti menangis menjerit-jerit seperti binatang terluka. Pekiknya yang pilu sepanjang malam memantul-mantul di dinding hingga dia kepayahan dan tertidur meringkuk di sudut bagai orang yang terbuang.
Jelang pagi, Tuti terjaga dengan raut yang kuyu, pelupuk yang sembab dan mata yang merah, akan tetapi sorotnya kini terlihat kuat. Dengan limbung dia bangkit seperti orang yang kehabisan daya, membuka celana dan duduk di toilet, untuk kemudian berak dan merutuk.
"Buat apa menangisi laki-laki yang tak bisa menghargaimu, Ti. Yang menganggap apa yang kau cintai adalah sebuah kegilaan. Kau menikah untuk sekali seumur hidup jadi jangan menghabiskan sisa usiamu bersama laki-laki semacam itu!"
Begitulah Tuti berulang kali merutuk hingga ucapannya menimbulkan gema. Gema yang seakan menjelma menjadi suara-suara dukungan untuknya. Jiwanya pun serta-merta menguat setelah sebelumnya porak karena sebuah kehilangan.
Satu-persatu dia tanggalkan pakaian di tubuhnya, lalu mengguyur sekujur tubuhnya hingga kuyup dari ujung rambut hingga kaki. Hatinya memanglah masih terluka, tetapi ada dia dapati keringanan di sana. Ada penghiburan yang membuatnya yakin bahwa dia tak bakal kesepian kendati Edo tak ada.
Dia pandangi ruang toiletnya itu dengan nanar dan satu persatu disentuhnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Dinding, lantai, pintu, shower, kesemuanya dia cumbui dengan hasrat yang menggebu-gebu hingga dia mengejang. Mengerang..
"Tak ada yang perlu dikuatirkan dengan cinta," desisnya.
***
Tak ada yang lebih bersih dan senyaman dari toilet di apartement ruang 109 itu, bahkan kalaupun dibandingkan dengan ratusan ruang yang tersedia di gedung apartement itu sekalipun. Jika ada perlombaan toilet terbersih dan ternyaman di negara ini, aku berani jamin toilet itu yang akan menjadi juaranya.
Tuti merawat toilet itu seperti seorang ibu yang merawat bayinya. Menjaganya seperti seorang ayah yang menjaga anak perempuannya. Penuh kasih. Pada dinding dan lantai toilet berubin granit itu kau bisa melihat bayanganmu secara jelas.
Berendamlah di bathtube-nya, tepat pada plafon di atasmu kau akan menemukan gambar berukuran besar, tiga dimensi, sebuah lukisan langit biru dan burung-burung camar yang tengah terbang anggun di awan. Karenanya kau tidak akan merasa berada di suatu ruang yang kekang, melainkan seperti berendam di telaga, menikmati musik instrumental yang sayup-sayup terdengar dari speaker mungil yang terpasang di sudut plafon dan menghirup aroma terapi pepohonan.
Air yang keluar dari shower di toilet itu diatur sedemikian rupa sehingga lembut betul air yang jatuh, kau pernah basah terkena rinyai gerimis sehabis hujan? Begitulah kira-kira rasanya. Lembut dan romantis. Dan seperti shower pada umumnya yang bisa distel menjadi hangat, demikian pun shower di toilet itu. Kau tak perlu jauh-jauh berangkat ke lereng gunung agar dapat mandi air belerang yang hangatnya menyegarkan dan konon katanya mengobati, karena shower di toilet itu pun mengucurkan air yang serupa demikian.
Di sisi kanan dinding toilet itu berjajar  kembang-kembang cantik yang hidup sendiri-sendiri di sebuah pot mungil berwarna-warni. Tuti tidak suka membeli kembang palsu, baginya kembang palsu lambang kebohongan, terlihat asli padahal tidak. Untuk apa sekadar cantik tapi tak bermanfaat, pikirnya.
Sementara tepat pada dinding menghadap bathtube kau akan menemukan poster Marilyn Monroe dan vocalis-vocalis perempuan ternama yang terpajang dengan proporsional. Tak ketinggalan sebuah harmonika di samping bathtube, yang biasa dimainkan Tuti sembari berendam tatkala mencari ide membuat lagu.
Tuti biasa menghabiskan waktunya berjam-jam di sana. Menangis, tertawa, menjerit, melamun, mendengarkan, menciptakan atau menyanyikan lagu musisi lain dengan gitar dan direkam untuk kemudian diunggah ke akun Youtubenya yang telah memiliki 5 juta subscriber.
Kalau kalian berkunjung, jangan harap bisa memakai toilet itu. Tuti akan berkilah toiletnya sedang rusak dan kalian terpaksa harus mencari toilet umum. Kalian yang masih asing bagi Tuti tak perlu menjadi sinis, karena Edo, mantan kekasihnya yang kuceritakan di awal kisahpun tak pernah menjajal toilet itu barang sekalipun. Jika menjemput atau mengantar Tuti, Edo hanya sampai di depan pintu kamar atau loby apartement saja, maka jika ada orang jahil memasang CCTV di kamar Tuti, bisa dipastikan dia tak akan mendapat rekaman video sepasang kekasih yang sedang mesum.
Tuti hanya bercinta dengan Edo di tempat-tempat lain, tapi tidak di apartementnya agar toilet itu terjaga. Pada Tuti yang sedang berbaring di sisinya malam itu, Â Edo pernah bertanya, "Apa kau ada menyembunyikan laki-laki lain di sana?"
"Tidak ada, sayang. Tidak perlu menduga seperti itu, aku sudah berikan semuanya padamu, tak bersisa, untuk apa masih curiga?"
"Itu karena aku sangat mencintaimu."
"Sesangat-sangatnya kau mencintaiku, masih lebih sangat aku yang mencintaimu."
Lembut bibir mereka kemudian bertemu.
Keluarga Tuti? Mereka pun tak pernah menginjakkan kaki di toilet itu. sejak lima tahun Tuti memilih hidup mandiri mereka belum pernah sekalipun berkunjung. Tuti dengan Bapak, Ibu dan dua Kakaknya, tidak akur.
***
"Bapak tidak mau mengeluarkan sepeserpun uang untuk menguliahkanmu jurusan seni musik. Jika kau tetap bersikeras silahkan kau kuliah dengan uangmu sendiri!" tegas Bapak. "Lagipula banyak di luar sana yang suaranya lebih bagus darimu. Yang wajahnya lebih cantik darimu. Bapak tanya, memang wajah dan suaramu sudah bagaimana, mau bermimpi menjadi artis. Bapakmu ini saja tidak suka mendengar suaramu, itulah kenapa Bapak selalu menyuruhmu bernyanyi di toilet," Lelaki itu beringsut ke kamar dengan langkah yang tegas.
Tuti duduk membeku di kursi usai mendengar apa yang dikatakan Bapak tadi. Wajahnya pucat. Hatinya pilu.
Ibu menggeleng-geleng dan berdecak. "Kau ini aneh!" tambahnya. "Siapa yang memengaruhimu sampai kau tertarik mengambil jurusan seni musik. Kedua kakakmu saja mengikuti tradisi keluarga ini, menjadi dokter. Tiba-tiba kau menyimpang ingin menjadi musisi. Pasti selama ini kau sudah salah bergaul. kau membuat kami merasa gagal mendidikmu," Ibu menggeleng lagi, Â dia embuskan napas panjang dan berdiri. "Dengarkan apa kata Bapakmu tadi, kau tidak punya bakat menjadi penyanyi. Apa kau tidak ingat ketika sekolahmu mengadakan pensi, kau bernyanyi dan suaramu sumbang, semua orang di sana tahu itu. Kau pun merasa demikian kan?"
"Bu Rina bilang, sound system dan mic-nya yang bermasalah, bukan suaraku,"
Ibu berdecak. "Apa kau tak pernah berpikir kalau itu hanya kata-kata penghibur saja, guru senimu itu pastilah tak tega jika harus berkata yang sebenarnya padamu. Batalkan niatmu ingin kuliah jurusan seni musik!" Ibu beringsut ke kamar meninggalkan Tuti yang duduk terdiam.
Tuti merasa tercampak dan tiada daya.
"Kau turuti saja kemauan bapak dan ibu, maka semua selesai. Kau tidak bakal cekcok lagi dengan mereka."
Kedua kakaknya datang menghampiri dengan wajah iba.
"Aku tidak mau seperti kalian."
"Maksudmu?"
"Aku  tahu. Kalian sebenarnya tidak mau menjadi dokter, kan? Kak Ratna suka traveling karena itu ingin jadi pramugari, Kak Ita suka mengajar makanya ingin menjadi guru, tapi demi kemauan bapak dan ibu kalian buang impian kalian itu."
"Dalam hidup ini kita tidak pernah tahu apa yang akan kita dapat, Ti."
"Kalian bukannya tidak tahu apa yang akan kalian dapat. Kalian hanya tidak  mau lebih keras memperjuangkan apa yang membuat kalian bahagia."
"Sok tahu!"
"Terserah. Tapi jujur aku sudah bosan melihat kalian tiap hari saling mengeluh soal pekerjaan. Lihat wajah kalian jauh lebih tua dari umur kalian. Orang yang melihat mata kalian bisa menebak kalau kalian dua orang yang tidak bahagia."
***
Tuti selalu berusaha agar tak pernah lagi bernyanyi sekalipun sekadar bersenandung. Mendengar lagu saja sudah dijadikannya sesuatu yang tabu. Tuti berusaha menyibukkan diri dengan berbagai buku-buku kesehatan karena pada akhirnya dia menjadi mahasiswa kedokteran. Namun tanpa disadarinya, di tengah dia membaca dan belajar, bibirnya acap menggumamkan lagu-lagu yang sempat didengarnya di cafe-cafe yang pernah dia datangi. Otak Tuti sibuk menuntut ilmu tetapi jiwanya senantiasa bernyanyi.
***
Okulele itu tak sengaja dilihat Tuti teronggok tak berguna  di tepi gedung rumah sakit, dekat area parkir, ketika Tuti hendak pulang usai PKL di rumah sakit itu. Sebuah okulele usang. Penuh goresan dan coretan sembarang. Bersenar satu, telah karat pula. Okulele itu seperti sengaja dibuang pemiliknya, pastilah karena sudah jelek. Okulele yang malang. Dia diciptakan untuk melantunkan nada-nada yang indah, namun karena tak diindahkan dia menjadi sia-sia. Tercampak dan tiada daya.
Apapun yang tercampak dan tiada daya  pastilah perlu pertolongan, batin Tuti. Tuti menghampiri okulele itu, mengambilnya, lalu mengembuskan debu yang menempel di sana. Perlahan Tuti mengedarkan pandang, memastikan bahwa tak akan ada yang merasa kehilangan apabila okulele itu dia bawa. "Aku akan memperbaikimu, sehingga kau bisa lagi digunakan sebagaimana kau diciptakan untuk apa."
***
Tuti jemu dengan buku-bukunya di atas meja. Kepalanya pening. Matanya yang pegal dipejamkan dan diurutnya lembut dengan jemari tangan sebelum kemudian pandangannya terpagut pada okulele yang seminggu sudah tergantung di dinding kamarnya.
"Okulele ini sebenarnya okulele bagus lho, mbak. merk-nya saja mahal dan bahan material yang dipakai berkualitas. Tapi ya itu karena si pemilik sebelumnya tidak tahu kualitas gitar ini akhirnya jadi tidak berguna," ucapan si tukang reparasi gitar yang didatanginya sepekan silam terngiang di telinga Tuti.
***
"Kau tahu, ini adalah tempat satu-satunya di rumah ini yang paling aman untukku bernyanyi," seolah okulele itu bertelinga, Tuti berujar sembari membawanya ke toilet. "Emm, bukan, sebenarnya bukan aman, tetapi lebih kepada tempat satu-satunya di mana aku boleh bernyanyi," tambahnya dan mulai sibuk mengatur posisi duduk di sisi bathtube seraya mengotak-atik kamera.
Akun YouTube miliknya yang selama ini hanya berisi tutorial-tutorial di dunia ilmu kedokteran dan kecantikan, kali ini akan diisinya dengan rekaman video mengcover sebuah lagu.
Jantung Tuti berdegub kencang. Kamera sudah berdiri dengan aman. Tuti kembali mengatur posisinya agar pas berada di tengah frame. Sesekali rambutnya dirapikan dan berdeham.
Di layar kamera itu dia lantas menemukan seraut wajah Freckles. Wajah yang penuh dengan bintik-bintik hitam. Ini dia wajah yang dibilang Bapak tidak cocok jadi artis, Tuti membatin. Matanya terasa pedih mengenang kalimat itu.
Napas dihela Tuti. Panjang sekali. Suara desahnya menggigil, pun mengandung getir. Tak apa, niatnya kali ini hanya sekadar berekspresi tanpa ada pretensi. Sekadar ingin bernyanyi dan tak peduli dengan komentar sinis seperti Ibunya nanti.
Tuti memetik-metik okulele itu beberapa jenak guna melemaskan otot jemarinya, menghadap kamera lagi, dan membeku. Seperti hendak menyentuh api, berat sekali rasanya menekan tombol berwarna merah pada layar kamera itu, padahal jarak antara ujung telunjuknya dengan tombol itu sudah setipis tisu.
Tuti takut. Sangat takut pada komentar yang akan dia dapati bakal membuat semangatnya patah lagi. Dan butuh waktu yang cukup lama untuk bisa bangkit lagi. Akan tetapi, hatinya kemudian menuntun. Klik!
Kamera merekam.
Okulele dipetik.
Tuti bernyanyi.
Video diupload.
Satu minggu berselang video itu telah ditonton 1 juta kali. 10 ribu like. 230 dislike. 500 komentar. Subscriber melonjak pesat..... (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H