Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bocah Misterius

6 Agustus 2019   13:11 Diperbarui: 6 Agustus 2019   17:47 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pablo, atau tersebut karyawan kesayangan bosnya yang teramat polos itu akan terbangun pukul satu dinihari. Matanya kerap memerah dan melotot. Belakangan dia terus dihantui mimpi buruk tentang bocah laki-laki yang ditabraknya seminggu lalu. Darah segar dari bocah itu mengalir ke banyak arah, membuat tubuhnya yang kurus gemetar.

Saat ini, dia sedang sangat menyesali perbuatannya hingga tidak keluar dari apartemennya sejak kejadian itu, menghapus rutinitas mandi dari daftar kesehariannya yang membosankan, serta hanya memakan mi instan yang mungkin saja sudah kadaluwarsa.

Sesekali kantong matanya yang hitam dia munculkan di sela-sela gorden kamar yang berada di lantai tiga pada sebuah apartemen kecil yang terletak di Jalan Boulevard 11, Kota M. Hampir setiap satu jam dia mengintip ke arah jalanan, memastikan bahwa tidak ada mobil polisi yang mengincar huniannya yang dipenuhi gumpalan tisu, bungkusan mi, piring kotor serta baju dan celana yang belum dia laundri.

Pablo sudah tidak memikirkan pekerjaannya lagi. Telepon genggamnya dimatikan. Otaknya yang terkenal jenius dan membuatnya dinobatkan sebagai karyawan terbaik, hingga naik jabatan hanya dalam hitungan bulan itu pun dijejali sejumlah kekhawatiran. Seperti bayangan tentang masuk penjara yang terus mengejarnya. Dia sudah tidak memiliki tempat untuk memikirkan kepercayaan dari bosnya yang bertubuh gempal. Baginya, sembunyi dari keramaian adalah pilihan yang bijak untuk saat ini.

Pablo yang belum memiliki istri ini, pada dasarnya memang menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian buruk yang menimpa bocah laki-laki misterius itu. Dia berpikir bahwa bocah tersebut sudah tewas hingga dia tinggalkan begitu saja jasadnya terkapar di bawah mural bergambar wajah Obama. Namun tak jarang juga dia menggerutu dan menyebut-nyebut nama kedua teman yang memaksanya menenggak minuman keras yang bahkan botolnya saja tidak pernah dia sentuh sebelumnya.

"Ayolah. Bukankah memang untuk ini kita datang? Untuk merayakan kenaikan jabatanmu?" Apabila dia mengenang kata salah seorang temannya, Frank, yang berdiri longgar. Sambil memukul ringan pipinya. Waktu itu sekitar pukul 12 malam di dalam sebuah bar kecil yang terletak di pinggiran kota M.

"Ayo. Sedikit saja," bujuk kawannya yang lain. Yang bernama Bony.

Pada akhirnya, Pablo, si karyawan kesayangan bosnya itu menyesali keputusannya mengiyakan perayaan di sebuah bar sebagai bentuk pesta sederhana atas pencapaiannya yang luar biasa dalam beberapa bulan belakangan. Pikirnya, harusnya dia tidak datang ke tempat itu dan menghabiskan cukup banyak uang hanya untuk mabuk dan merasakan pusing di kepala.

Tapi apalah daya. Semuanya sudah terjadi. Selepas paksaan yang berlarut-larut itu, dia akhirnya terbujuk juga. Satu botol, dua botol, bahkan hingga tiga botol. Rupanya sensasi kepala yang berputar-putar dari bir kelas atas di bar itu membuatnya ketagihan. Pablo pulang terhuyung-huyung dengan mulut yang meracau.

Sempat juga dia dipukul pria botak bertato di sebuah kursi yang disinari redup cahaya lampion karena mengatakan lengan pria itu dipenuhi panu. Hingga membuat dirinya dan kedua temannya yang nakal ditendang keluar.

Ketiganya berpisah di parkiran. Salah satu temannya yang pulang dengan motor sempat terjatuh akibat menabrak bilik mesin ATM. Sedang seorang lagi menunggu jemputan dari anggota keluarganya.

Tokoh Pablo, sebagai karyawan tingkat atas tentu lebih berkelas.  Sebagai orang kepercayaan, dirinya diberikan mobil yang tidak terlalu mewah oleh bosnya. Mobil sedan hitam dengan bonyok pada bagian bemper depan dan mesin AC yang rusak, serta lampu sein yang kadang-kadang tidak menyala.

Dalam keadaan sendeng dia memaksakan diri untuk mengemudi, dengan bayangan panu di lengan pria botak yang membuatnya tertawa sendiri, juga bokong besar barista wanita yang membuat gugur air liurnya. Dia jalankan mobilnya perlahan, maju, mundur tersendat penuh keraguan.

Setelah keluar dari jalanan yang agak sempit itu, dia langsung tancap gas saat ban mobilnya baru menyentuh aspal jalan raya. Dia lebih mirip orang gila ketimbang orang mabuk. Dia berteriak-teriak tidak jelas di dalam mobilnya yang pengap.

Kegilaan berlanjut ketika kecepatan mobilnya telah melebihi 100 kilometer perjam. Dengan sekehendak hati dia menggiring laju kuda besinya ke kiri dan ke kanan. Karena jalanan memang sudah sangat sepi saat jarum pendek jam menyentuh angka satu dinihari.

Tapi beberapa menit kemudian dia mendadak hening dan diam. Mobilnya berhenti. Wajahnya berkeringat dan pucat. Matanya terbelalak. Saat itu ia merasa seperti telah menabrak sesuatu.

"Barusan tadi apa?"

Dadanya berdegup kencang. Seolah ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam tubuhnya. Kemudian dia memutuskan untuk memeriksa apa yang sebenarnya terjadi. Dengan mata yang sayu dia memandang sekitar, menemukan batangan kayu sebesar lengan yang telah patah. Pablo lega, menghela nafas. Sebetulnya dia terlalu takut apabila tanpa sengaja menabrak makhluk hidup seperti kucing. Apalagi kalau kucingnya betina dan masih menyusui empat ekor anak yang lebih kecil dari ibu jari kakinya.

Namun dia langsung jatuh terduduk saat menemukan tubuh seorang bocah laki-laki yang  kiranya berusia sepuluh tahunan, sedang terkapar bersimbah darah tepat satu meter di belakang lintasan mobilnya. Tubuhnya gemetar, mulutnya komat-kamit seperti membaca seribu doa dalam satu menit. Pablo mundur dengan menendang-nendangkan kakinya ke aspal yang dialiri oleh darah segar bocah itu.

"Tidak ada saksi. Tidak ada yang melihat." Ia melihat sekeliling dengan debar di jantung yang jauh lebih intens. "Tenang, tenang." Ia melongok ke atas dan menjerit sebentar saat melihat wajah Obama yang terpampang pada sebuah mural.

"Oh! Kau membuat saya semakin takut." Suaranya getir, samar dengan bibir yang masih bergetar. Ia semakin gugup.

Pukul satu dinihari lewat sebelas. Suasana jalan Boulevard 10 baginya semakin mencekam dan megerikan. Darah bocah laki-laki itu terus mengalir dan seperti mengarah padanya. Dia pun segera beranjak dan kembali masuk ke dalam mobil sambil  berbicara pada dirinya sendiri dengan mengulangi kalimat yang sama, "Aku tidak sengaja. Tidak ada saksi. Tidak ada yang melihat."

Dengan rasa takut dia kembali menjalankan mobilnya menembus kecepatan tinggi. Matanya memerah dan melotot ke arah jalanan yang masih lengang. Tapi hatinya diaduk oleh perasaan bersalah. Dia sempat berpikir untuk membawa anak itu pulang ke apartemennya untuk setidaknya memberinya pertolongan. Tapi dia takut. Terlalu takut apabila ada yang mendapati dia telah menabrak bocah itu hingga sekarat atau bahkan mati.

"Tidak, tidak! Dia sepertinya sudah mati. Aku tidak mungkin membawa mayat ke rumah! Habislah aku. Aku akan membusuk di penjara."Bibir dan hatinya bergetar hebat di sepanjang jalan.


Ketika tiba di apartemen, dia langsung terbirit-birit masuk ke dalam, mengunci pintu dan merendamkan tubuh beraroma tak sedapnya ke dalam bak mandi. Pikirannya masih mengarah pada bocah itu. Masih. Dan sepertinya akan selalu. Kepalanya juga terasa pusing akibat bir impor yang seharusnya tidak ia minum.

"Sial! Goblok! Apa yang sudah kulakukan!?" Ia kembali berbicara pada diri sendiri sewaktu berbaring di atas kasur yang juga gelisah karena sudah lama tidak dia cuci.

Beberapa kali dia bangkit dan berjalan ke arah jendela yang ditutupi oleh gorden berwarna merah muda itu, memerhatikan jalanan yang mulai ramai. Dia tidak bisa tidur hingga pagi. Kepalanya masih sempoyongan, matanya masih berkunang-kunang dan otaknya disiksa oleh kejadian pukul satu dinihari lalu. Dia tidak pernah mengira kalau akhirnya dia akan menjadi penjahat. Beruntung, hari itu hari Minggu. Dia tidak perlu keluar apartemen untuk pergi bekerja. Sebab dia masih trauma dan tidak ingin tahu tentang berita-berita yang mungkin sedang tersebar di kota, tentang bocah laki-laki yang tewas sebagai korban insiden tabrak lari yang kejam.

Pablo memendam dirinya seharian penuh di dalam sebuah ruangan 10x15 meter persegi, menghindari acara-acara berita di televisi. Sesekali dia memutar otaknya yang dipenuhi bayangan bocah itu. Dia penasaran apa yang sebenarnya dilakukan bocah itu di tengah jalan pada saat tengah malam.

***

Malam berikutnya, saat pusing kepalanya telah hilang, dan yang tersisa penuh di benaknya hanyalah segumpal penyesalan. Serta ketololan yang seolah menyumbat rongga dadanya buat bernafas. Perasaan bersalah semakin menghantuinya ketika kepalanya sudah mulai mampu berpikir waras.

Kemudian mimpi-mimpi tentang bocah itu mulai muncul, teror dari tubuhnya yang merah dan darahnya yang mengalir terus. Sejak saat itu dia rutin terbangun pukul satu dengan embusan nafas yang menggebu-gebu dan mata merah melotot yang seperti orang kesetanan.

Mimpi buruk itu terus mengejarnya selama  seminggu. Tepatnya hingga hari ini dan membuatnya yang kini nampak terlihat menyedihkan jadi semakin tertekan. Dia tidak masuk kerja dari senin hingga sabtu, dengan alasan sakit. Seperti yang tertulis pada  pesan singkat yang dia kirim pada atasan tambunnya yang masih sibuk di luar kota.

Sudah delapan hari, dan potongan-potongan mimpi itu belum hilang juga. Kulitnya kelihatan semakin pucat. Kantung matanya seperti lingkaran hitam di wajah panda. Dan kegelisahan di dalam kepalanya melebihi hari-hari sebelumnya.

"Aku tidak bisa terus begini. Aku akan gila. Tidak. Tidak. Aku harus menyerahkan diri." Dia berdiri di depan sebuah cermin panjang yang memantulkan seluruh bayangannya yang nampak seperti mayat hidup. "Tapi aku tidak ingin masuk penjara."

Setelah melalui perdebatan yang panjang dengan dirinya sendiri, akhirnya dia menyatakan ketidaksanggupan,"Aku sudah tidak tahan. Aku akan menyerahkan diri."

Dia mulai menyalakan telepon genggamnya yang menerima puluhan panggilan tak terjawab serta puluhan pesan yang tak terbaca. Pablo ingin menelepon polisi dan mengakui segala kesalahannya. Meski sempat dilema, namun ingatan serta teror buruk yang dialaminya selama seminggu belakangan memaksanya untuk segera menyerahkan diri juga.

"Selamat sore, bersama Departemen Kepolisian Kota M. Ada yang bisa kami bantu?" Suara seorang operator wanita terdengar dari sambungan teleponnya.

"Hh-halo. Ss-saya pelaku tabrak lari di Jalan Boulevard 10. Ss-saya ingin menyerahkan diri."

"Maaf, bisa Anda ulangi? Dan bisa Anda sebutkan nama Anda, Tuan?"

"S- saya pelaku tabrak lari di jalan Boulevard 10 pada minggu dinihari lalu. Nama saya... nama saya Pablo Dicario."

"Baik. Jadi Anda ingin menyerahkan diri?"

"Iya."

"Sekarang Anda berada di mana? Apa Anda bersenjata?" tanya operator itu untuk memastikan.

"Saya hanya akan menunggu di rumah. Tidak. Saya tidak bersenjata. Saya tidak punya senjata"

"Bisa sebutkan alamat Anda?"

"Jalan Boulevard 11, Green Apartement Nomor 10."

"Baik, Tuan, sudah saya catat."

"Lekas tangkap saya. Saya sudah tidak tahan."

"Tunggu sebentar, Tuan. Bisa Anda rincikan kronologi kejadiannya sebentar?"

"Minggu mungkin sekitar pukul satu dinihari, sewaktu pulang dari bar, saya menabrak seorang bocah laki-laki. Saya gugup sekali karena saya pikir saat itu dia sudah mati. Darahnya berhamburan di mana-mana. Mengejar saya dan seperti men..."

"Baik, Tuan, tolong perlahan. Tenangkan diri Anda. Pelan-pelan saja."

"Maaf. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi."

"Tadi Anda bilang, kejadiannya di Jalan Boulevard 10 sekitar pukul satu pagi?"

"Iya."

"Baiklah. Anda jangan ke mana-mana. Perwakilan kami akan segera ke sana setelah kami memeriksa CCTV lalu lintas pada hari dan waktu yang sudah Anda sebutkan."

"Hah? Apa?" Pablo sedikit kebingungan, "bb-baik." Dia pun menutup sambungan teleponnya.

Dia agak keheranan dengan maksud ucapan operator kepolisian yang mengatakan akan memeriksa CCTV.

***

Sekitar satu jam lebih yang menggelisahkan, bibirnya digigit oleh barisan gigi atas yang tidak digosok selama dua hari. Dia terus memantau dari jendela untuk melihat apabila sudah ada sebuah mobil polisi terparkir di dekat bangku tua karatan yang berembun.

"Tok..tok...tok..." 

Suara ketukan terdengar dari balik pintunya yang terkunci rapat.

"Permisi, Tuan. Saya Richard Armando dari Kepolisian Kota M."

"Tt-tunggu, Pak," sahut Pablo dengan gugup.

Pintu dibuka. "Saya ke sini atas laporan dari seseorang bernama Pablo Dicario, Jalan Boulevard 11, Green Apartemen Nomor 10. Apakah orang itu Anda?"

"Iya, iya, itu saya. Saya bersalah. Saya minta maaf seharusnya saya bertanggung jawab lebih awal."

"Atas laporan tabrak lari terhadap seorang bocah laki-laki di Jalan Boulevard 10, minggu dinihari pukul satu. Apakah benar?"

"Iya, Pak. Saya pelakunya. Memang saya."

"Anda bilang, waktu itu Anda sehabis pulang dari bar?"

"Betul."

"Apakah waktu itu Anda mabuk?"

Dahinya mengkerut. "Eee.. iya, mungkin saya memang mabuk."

"Saya meminta ketegasan Anda. Apakah saat itu anda mabuk!?" Polisi dengan perut yang buncit itu menaikkan nada suaranya, membuat Pablo ciut.

"Baik, baik. Iya. Iya. Saya memang mabuk. Mungkin mabuk parah. Saya tidak ingin melakukan itu lagi. Cukup satu kali saya mabuk. Saya benar-benar jera. Saya tidak akan mengulanginya."

"Oke, saya hanya ingin memastikan saja."

"Apa Anda akan membawa saya ke penjara sekarang?"

"Sayangnya tidak bisa. Meskipun sebenarnya saya ingin."

Pablo semakin bingung, wajahnya semakin terlihat tolol dengan pemandangan yang pucat dan kusam. Yang menghadap dengan aroma tak sedap di depan muka polisi itu.

"Apa maksud Anda?"

"Setelah memeriksa rekaman lalu lintas di sepanjang Jalan Boulevard, kami sama sekali tidak menemukan adanya kecelakaan lalu lintas di Jalan Boulevard 10 pada hari dan waktu yang anda sebutkan. Dalam seminggu ini hanya ada satu kecelakaan yang terdata di Kota M. Itu pun tidak terdapat korban jiwa. Kejadiannya berlangsung di Jalan Boulevard 9, bukan Boulevard 10. Dan, lagi, itu terjadi pada hari Kamis pukul sebelas siang. Satu-satunya kecelakaan yang berakibat kematian terjadi sekitar sebulan lalu, di sekitaran Jalan Boulevard 8," jelasnya dengan gerakan bibir yang meremehkan.

"Hah!?"

"Seharusnya Anda pun tahu jika kejadian memilukan semacam itu pasti akan langsung terekspos oleh media. Tapi, bukankah dalam seminggu ini tidak ada berita tentang seorang bocah korban tabrak lari?"

"Entahlah. Saya tidak membaca koran, dan nyaris tidak menyalakan televisi apalagi menonton berita. Karena saya benar-benar tertekan."

"Memang tidak ada," kata polisi itu menegaskan.

"Apa maksudnya ini?"

"Sepertinya kejadian yang anda maksud itu hanya berlangsung di dalam kepala Anda. Hanya ilusi atau khayalan Anda yang terlalu mabuk."

"Apa?"

"Mari ikut saya ke kantor agar Anda mengerti apa yang saya maksud. Tapi sebelum itu, sikat gigi Anda dan cuci muka Anda. Anda dan rumah Anda sama-sama berantakan."

"Bb- Baik. Tunggu sebentar."

Setelah pembicaraan yang berlangsung selama beberapa menit, Pablo mengikuti ajakan polisi itu untuk datang ke kantornya dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Ia nyaris tidak berbicara di sepanjang jalan. Namun polisi itu memulai percakapan ketika mobil yang mereka kendarai melewati Jalan Boulevard 10, tempat kejadian perkara yang sempat disebut olehnya.

"Kecelakaan yang Anda maksud, terjadi di sini, kan?"

Pablo terdiam. Dipandanginya sekitaran jalanan itu dari balik kaca mobil polisi yang hitam; mural wajah Obama, tiang lampu serta bohlamnya yang pernah menyala redup, dan bahu jalan yang dipikirnya dialiri oleh darah anak itu.

"Tuan Dicario?" panggil polisi itu.

"Ya ya ya.. Iya betul. Tepat di sini. Di dekat tiang lampu jalanan dan mural itu."

"Anda lihat? Tidak ada goresan atau pun tanda-tanda bekas kecelakaan apalagi sisa-sisa darah kering yang menempel di sana, bukan? Oh. Memang ada sedikit goresan. Tapi itu hanyalah bekas potongan kayu yang diseret oleh mobil Anda."

Pablo yang sudah linglung semakin bertambah bingung. Sementara aroma tidak sedap yang menguar dari tubuhnya tertimpal oleh wewangian yang menempel di sela-sela lubang AC mobil polisi.

***

Mereka sudah tiba di kantor polisi. Pablo hanya celingak-celinguk seperti anak ayam yang kehilangan induk. Dia perhatikan satu persatu wajah-wajah yang baginya tentu asing di dalam ruangan yang berembun dingin itu.

"Anda lihat ini?" kata polisi itu sembari menunjuk sebuah layar di antara beberapa monitor yang menampilkan rekaman lalu lintas di Jalan Boulevard 8 hingga 11.

Pablo menoleh, "Ah iya, iya."

"Saya mau Anda fokus dan perhatikan ini."

"Baik, Pak."

"Lihat. Pukul 01.07 pagi. Ini mobil Anda."

"Emm."

"Mobil Anda menyeret sebatang kayu. Lalu kayu itu terlindas dan patah. Ini Anda. Anda keluar dari mobil. Kebingungan."

"Benar."

"Anda ingat ini? Anda terduduk dan berbaring beberapa menit setelahnya. Anda sepertinya benar-benar mabuk. Anda terbangun kemudian dan entah kenapa langsung masuk ke dalam mobil seperti sedang dikejar-kejar anjing."

"Apa? Hanya itu?" tanya Pablo, dengan alis membengkok, "saya tidak menabrak orang."

"Sepertinya begitu. Itu hanya semacam halusinasi yang Anda alami. Dan jika Anda bisa berpikir waras, mungkinkah ada anak-anak yang bermain di tengah jalan pada tengah malam?"

"Astagaaa." Dia memukul jidatnya yang agak jenong.

"Baiklah, sepertinya Anda sudah mulai mengerti. Habiskan minuman itu kemudian saya akan mengantar Anda pulang dan saya ingin Anda menunjukkan SIM serta surat-surat kendaraan Anda di sana."

"Bb- baik. Baik, Pak. Saya punya. Surat izin atau pun surat-surat kendaraan saya, ada."

Segelas teh panas perlahan habis. Pablo dan Polisi itu beranjak kembali menuju apartemennya.

***

"Baik, surat-surat Anda lengkap. Namun saya tetap harus memberi Anda surat peringatan untuk tidak mengemudi di saat sedang mabuk. Anda akan menanggung konsekuensinya ketika Anda melanggar peringatan ini."

Pablo yang muram akhirnya bisa sedikit tersenyum. "Baik, Pak. Saya mengerti. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi."

"Bagus," sahutnya. 

"Bukankah mobil yang terparkir di sana itu mobil Anda?" Polisi itu menunjuk sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di bawah sebuah pohon.

"Betul, Pak. Kenapa?"

"Anda itu bodoh sekali, ya. Anda merasa telah menabrak seseorang, tapi mobil Anda parkir sembarangan. Hahaha." Polisi itu tertawa. Sementara Pablo hanya bisa tertawa hampa dengan perasaan malu yang menempel di wajahnya, "penyok di bemper itu, kenapa?" tanya polisi itu menambahkan.

"Saya tidak tahu. Itu mobil atasan saya, beliau memberikannya pada saya sekitar sebulan lalu."

"Benarkah?" Polisi itu agak senyum. "Apa? Tunggu. Sebulan yang lalu?" Rautnya Polisi itu berubah, seolah teringat sesuatu.

"Iya. Ada apa, Pak?"

Sedan hitam, bemper depan yang penyok, halusinasi tentang menabrak bocah laki-laki misterius. Polisi itu sepertinya teringat akan sesuatu atau menemukan benang merah dari kejadian yang ada dengan insiden tabrak lari yang melibatkan sedan hitam hingga menewaskan seorang bocah laki-laki di Jalan Boulevard 8 sebulan yang lalu. Yang hingga kini pelakunya masih menjadi misteri.

"Terima kasih atas segala informasi yang anda berikan. Mohon Anda untuk ikut saya kembali ke kantor polisi dan memberikan keterangan serta kesaksian." Polisi itu dengan lekas mengambil tangan Pablo

Pablo mengikuti kemauan polisi tersebut dengan perasaan bingung. Kemudian ketika mereka berdua keluar dan menutup pintu ruangan itu, seorang bocah laki-laki dengan kepala berdarah berdiri di baliknya seraya tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun