"Aku tidak bisa terus begini. Aku akan gila. Tidak. Tidak. Aku harus menyerahkan diri." Dia berdiri di depan sebuah cermin panjang yang memantulkan seluruh bayangannya yang nampak seperti mayat hidup. "Tapi aku tidak ingin masuk penjara."
Setelah melalui perdebatan yang panjang dengan dirinya sendiri, akhirnya dia menyatakan ketidaksanggupan,"Aku sudah tidak tahan. Aku akan menyerahkan diri."
Dia mulai menyalakan telepon genggamnya yang menerima puluhan panggilan tak terjawab serta puluhan pesan yang tak terbaca. Pablo ingin menelepon polisi dan mengakui segala kesalahannya. Meski sempat dilema, namun ingatan serta teror buruk yang dialaminya selama seminggu belakangan memaksanya untuk segera menyerahkan diri juga.
"Selamat sore, bersama Departemen Kepolisian Kota M. Ada yang bisa kami bantu?" Suara seorang operator wanita terdengar dari sambungan teleponnya.
"Hh-halo. Ss-saya pelaku tabrak lari di Jalan Boulevard 10. Ss-saya ingin menyerahkan diri."
"Maaf, bisa Anda ulangi? Dan bisa Anda sebutkan nama Anda, Tuan?"
"S- saya pelaku tabrak lari di jalan Boulevard 10 pada minggu dinihari lalu. Nama saya... nama saya Pablo Dicario."
"Baik. Jadi Anda ingin menyerahkan diri?"
"Iya."
"Sekarang Anda berada di mana? Apa Anda bersenjata?" tanya operator itu untuk memastikan.
"Saya hanya akan menunggu di rumah. Tidak. Saya tidak bersenjata. Saya tidak punya senjata"
"Bisa sebutkan alamat Anda?"
"Jalan Boulevard 11, Green Apartement Nomor 10."