Masih pagi, mentari merayap perlahan di langit, menabur cahaya jingga di atas pasir putih dan laut yang dahulu gemerlap biru. Kini, airnya keruh, bercampur endapan lumpur dan jejak-jejak keserakahan. Arya berdiri di tepian, kakinya menancap di pasir yang basah, menatap horizon yang membujur jauh. Di tangannya, kamera menggantung, seperti mata ketiga yang siap merekam kisah luka alam.
Ia mengembuskan napas panjang. Tiga hari di Bangka, Arya sudah mendengar terlalu banyak cerita: tambang timah yang melubangi tubuh pulau, nelayan yang pulang dengan jala kosong, dan tanah yang perlahan kehilangan napasnya. Tapi di balik itu semua, ia belum menemukan bukti yang cukup kuat.
“Pagi, Nak Arya,” suara serak menyapa dari belakang.
Pak Syahban, seorang nelayan tua, berdiri dengan tubuh yang bungkuk, membawa keranjang kosong. Wajahnya dipahat oleh usia, tetapi matanya masih menyimpan kilau kehidupan.
“Bagaimana tangkapan tadi malam, Pak?” tanya Arya, meski ia tahu jawabannya.
Pak Syahban hanya menggeleng, meletakkan keranjang di atas pasir. “Laut tak lagi murah hati. Tapi begitulah, Nak, barangkali ia lelah pada manusia.”
Arya terdiam. Di antara kata-kata sederhana Pak Syahban, ia menemukan kebenaran yang menyakitkan.
---
Sore itu, Arya bertemu dengan Yudi , seorang aktivis muda yang lantang menolak tambang ilegal. Yudi mengajaknya ke tengah hutan, tempat bekas tambang menganga seperti luka yang tak bisa disembuhkan.
“Hutan ini dulunya rumah bagi burung-burung, rusa, dan kijang,” ujar Yudi , menunjuk tanah yang terbelah dengan genangan air berwarna kehitaman. “Sekarang, yang tersisa hanya lubang-lubang kosong. Mereka meraup tanah ini, meninggalkannya seperti kulit mati.”
Arya mengarahkan kameranya, memotret pemandangan itu. “Apa pemerintah tidak tahu soal ini?”
Yudi tertawa pendek, getir. “Tahu. Tapi siapa yang berani melawan? Banyak tambang ini milik orang-orang besar. Kami, yang kecil, hanya bisa bertahan dengan perlawanan seadanya.”
Yudi bercerita tentang ancaman yang sering ia terima. Malam itu, ketika hujan rintik mengguyur atap rumah kayunya, Yudi terbangun oleh suara dentuman keras yang menghantam dinding. Ia bergegas keluar, kaki telanjang menginjak lantai dingin. Di depan pintu, sebuah batu besar tergeletak, diikat secarik kertas yang basah oleh hujan. Jemarinya gemetar saat membuka gulungan itu.
"Diam, atau kau akan merasakan akibatnya."
Tulisan itu singkat, kasar, dan tajam seperti belati. Hatinya mencelos, tapi hanya sesaat. Dalam dirinya, nyala keberanian kembali berkobar, seperti api kecil yang menolak padam meski diterpa angin.
"Biar saja," gumamnya pelan, suara bergetar tapi tegas. Baginya, Bangka bukan sekadar tanah tempat ia berpijak; ia adalah rumah, jiwa, dan warisan nenek moyangnya. Jika harus bertaruh nyawa demi menyelamatkannya, ia tidak akan mundur. Sebab, bagi Yudi , mati melawan jauh lebih mulia daripada hidup menyerah.
---
Malamnya, di rumah panggung sederhana tempat ia menginap, Arya menyalakan laptop. Tulisan-tulisannya mulai menyusun narasi, tetapi masih terasa ada yang kurang. Ia membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar cerita; ia membutuhkan bukti kuat yang bisa mengguncang.
Pikiran Arya melayang ke Pak Syahban. Nelayan tua itu selalu berbicara seolah-olah ia menyimpan rahasia besar. Namun, Arya ragu untuk bertanya lebih jauh.
---
Pagi menjelang siang, sinar matahari terpecah-pecah di antara celah dedaunan hutan lebat yang mereka lalui. Langkah Arya dan Yudi berhati-hati, menapaki tanah lembap yang dipenuhi akar-akar liar. Suara burung dan desau angin perlahan tergantikan oleh dengung mesin yang makin lama makin keras.
Setelah menembus rimbunan terakhir, mereka tiba di sebuah kawasan yang terbuka—terlalu terbuka. Di depan mereka, tanah merah terkuak seperti luka yang digaruk tanpa ampun. Mesin-mesin raksasa berdiri gagah namun menyeramkan, menggali bumi dengan rakus. Gigi-giginya yang berkarat mencakar lapisan tanah, menciptakan lubang menganga yang dalam.
Di sisi lain, truk-truk besar berbaris seperti binatang lapar, menunggu isi perut bumi untuk dimuntahkan ke baknya. Para pekerja tampak bergerak cepat, mengisi timah yang berkilau redup di bawah matahari siang. Tidak ada sisa keindahan di tempat ini—hanya keserakahan yang bising, menguasai setiap sudutnya.
Arya menatap pemandangan itu dengan rahang yang mengeras. "Ini bukan tambang, Yudi . Ini pembantaian.”
“Kita harus memotret ini,” bisik Yudi .
Arya mengangguk. Dengan hati-hati, ia mengangkat kameranya dan memotret. Namun, langkah kaki berat mendekat, dan sebelum mereka sempat kabur, sekelompok pria bertubuh besar menangkap mereka.
“Siapa kalian?!” bentak salah satu pria itu.
Arya dan Yudi dibawa ke sebuah bangunan tua di tepi tambang. Di sana, mereka dipaksa duduk di kursi kayu, dengan tangan terikat.
“Lapor ke Bos,” ujar salah satu preman, meninggalkan ruangan.
Ketegangan membungkam mereka berdua. Hingga suara langkah lain terdengar mendekat, disusul seseorang yang Arya kenal baik: Pak Syahban.
---
Arya menatap nelayan tua itu dengan mata terbelalak. “Pak... ini semua... milik Anda?”
Pak Syahban hanya memandang Arya dengan mata yang kelam. “Nak, ada hal-hal yang tidak sesederhana kelihatannya.”
Yudi berteriak marah. “Pak! Anda yang merusak kampung ini?! Anda menghancurkan tanah sendiri!”
Pak Syahban menarik napas panjang, seolah ingin mengeluarkan seluruh beban yang menghimpit dadanya. Ia menunduk, tatapan matanya berat, lalu perlahan duduk di kursi kayu yang reyot. Suaranya terdengar parau, seperti menggali luka yang sudah lama ia pendam.
"Aku tidak bangga, Nak. Tidak sedikit pun," katanya, menatap lantai yang mulai retak seperti hidupnya. "Tapi kau tahu rasanya hidup tanpa pilihan? Saat anak-anakmu menangis kelaparan, utang mencekik lehermu, dan laut, yang dulu sahabatmu, kini tak lagi memberi apa-apa?"
Ia mendongak, matanya basah oleh kesedihan yang sulit dibendung. "Orang-orang di kota besar tak pernah peduli. Mereka sibuk menghitung uang mereka, sementara kami di sini harus memilih antara bertahan hidup atau mempertahankan harga diri. Jadi, saat tawaran itu datang, aku menerimanya... meski aku tahu, dalam hati, aku sedang menghancurkan tempatku sendiri."
Suara Pak Syahban bergetar, lalu menghilang, tenggelam dalam keheningan yang terasa menusuk. Di wajahnya, penyesalan melukis garis-garis yang lebih dalam daripada usia.
Arya terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu.
“Tapi, Pak,” Arya berkata pelan, “harga yang Anda bayar terlalu mahal. Lingkungan ini... tak akan kembali seperti semula.”
Pak Syahban mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu. Setiap malam, aku dihantui mimpi buruk. Tapi aku ini siapa, Nak? Aku hanya nelayan tua yang mencoba bertahan hidup.”
Setelah hening yang panjang, Pak Syahban berdiri. Ia mengambil sebuah amplop dari kantong bajunya dan menyerahkannya kepada Arya.
“Di sini ada nama-nama besar yang terlibat dalam tambang ini. Pergilah, tuliskan kebenaran. Tapi jangan sebut namaku. Aku ini tak lebih dari bidak kecil dalam permainan besar.”
---
Arya dan Yudi dilepaskan malam itu. Di perjalanan pulang, Yudi menangis. “Bagaimana kita melawan jika yang terlibat adalah orang-orang seperti dia? Orang kecil yang terjebak dalam sistem besar yang tak adil?”
Arya tidak menjawab. Ia memegang amplop itu erat, merasa bebannya semakin berat.
—
Beberapa minggu kemudian, laporan investigasi Arya diterbitkan di media nasional. Artikel itu menjadi viral, mengungkap jaringan tambang ilegal yang melibatkan pejabat tinggi dan pengusaha besar. Namun, nama Pak Syahban tidak disebutkan. Arya tahu, nelayan tua itu adalah korban, bukan pelaku utama.
Di Bangka, Yudi memulai gerakan rehabilitasi lingkungan. Bersama masyarakat, ia menanam kembali mangrove di pesisir dan memulihkan lahan bekas tambang.
—
Pagi itu, langit Bangka mendung, seakan alam merasakan kesedihan yang belum sempat terucap. Kabar itu datang seperti angin yang membawa dingin menusuk—Pak Syahban ditemukan tak lagi bernyawa di rumah panggung sederhananya. Wajahnya tenang, seperti seseorang yang akhirnya melepaskan beban yang terlalu lama ia pikul. Mereka berkata, serangan jantung adalah penyebabnya. Namun, siapa yang tahu berapa banyak luka yang disimpan di dadanya sebelum napas terakhir itu terhenti?
Di samping tubuhnya yang kaku, ada secarik kertas, tulisannya sederhana namun penuh beratnya penyesalan dan harapan. Kata-kata itu ditujukan untuk Arya:
"Laut dan tanah ini lebih tua dari kita semua. Aku telah membuat kesalahan, tetapi aku percaya anak-anak muda sepertimu akan menjaga warisan ini. Jangan biarkan keserakahan menghancurkannya lagi."
Arya membaca kata-kata itu dengan tangan bergetar, sementara air matanya jatuh satu per satu, membasahi kertas yang sudah agak kusut. Dalam hati, ia merasa Pak Syahban tidak sepenuhnya pergi; warisannya tertinggal, bukan pada tambang yang meninggalkan luka di tanah, tetapi pada semangat untuk memperbaiki kesalahan.
Dengan catatan itu di genggaman, Arya menatap jauh ke horizon yang kelabu. Ia tahu tugasnya belum selesai. Dalam hati, ia berjanji, “Aku akan menulis. Bukan hanya tentang keserakahan yang telah menghancurkan, tetapi juga tentang harapan yang tersisa, agar dunia tidak lagi melupakan kebenaran ini.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H