Pak Syahban hanya memandang Arya dengan mata yang kelam. “Nak, ada hal-hal yang tidak sesederhana kelihatannya.”
Yudi berteriak marah. “Pak! Anda yang merusak kampung ini?! Anda menghancurkan tanah sendiri!”
Pak Syahban menarik napas panjang, seolah ingin mengeluarkan seluruh beban yang menghimpit dadanya. Ia menunduk, tatapan matanya berat, lalu perlahan duduk di kursi kayu yang reyot. Suaranya terdengar parau, seperti menggali luka yang sudah lama ia pendam.
"Aku tidak bangga, Nak. Tidak sedikit pun," katanya, menatap lantai yang mulai retak seperti hidupnya. "Tapi kau tahu rasanya hidup tanpa pilihan? Saat anak-anakmu menangis kelaparan, utang mencekik lehermu, dan laut, yang dulu sahabatmu, kini tak lagi memberi apa-apa?"
Ia mendongak, matanya basah oleh kesedihan yang sulit dibendung. "Orang-orang di kota besar tak pernah peduli. Mereka sibuk menghitung uang mereka, sementara kami di sini harus memilih antara bertahan hidup atau mempertahankan harga diri. Jadi, saat tawaran itu datang, aku menerimanya... meski aku tahu, dalam hati, aku sedang menghancurkan tempatku sendiri."
Suara Pak Syahban bergetar, lalu menghilang, tenggelam dalam keheningan yang terasa menusuk. Di wajahnya, penyesalan melukis garis-garis yang lebih dalam daripada usia.
Arya terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu.
“Tapi, Pak,” Arya berkata pelan, “harga yang Anda bayar terlalu mahal. Lingkungan ini... tak akan kembali seperti semula.”
Pak Syahban mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu. Setiap malam, aku dihantui mimpi buruk. Tapi aku ini siapa, Nak? Aku hanya nelayan tua yang mencoba bertahan hidup.”
Setelah hening yang panjang, Pak Syahban berdiri. Ia mengambil sebuah amplop dari kantong bajunya dan menyerahkannya kepada Arya.
“Di sini ada nama-nama besar yang terlibat dalam tambang ini. Pergilah, tuliskan kebenaran. Tapi jangan sebut namaku. Aku ini tak lebih dari bidak kecil dalam permainan besar.”