Arya mengarahkan kameranya, memotret pemandangan itu. “Apa pemerintah tidak tahu soal ini?”
Yudi tertawa pendek, getir. “Tahu. Tapi siapa yang berani melawan? Banyak tambang ini milik orang-orang besar. Kami, yang kecil, hanya bisa bertahan dengan perlawanan seadanya.”
Yudi bercerita tentang ancaman yang sering ia terima. Malam itu, ketika hujan rintik mengguyur atap rumah kayunya, Yudi terbangun oleh suara dentuman keras yang menghantam dinding. Ia bergegas keluar, kaki telanjang menginjak lantai dingin. Di depan pintu, sebuah batu besar tergeletak, diikat secarik kertas yang basah oleh hujan. Jemarinya gemetar saat membuka gulungan itu.
"Diam, atau kau akan merasakan akibatnya."
Tulisan itu singkat, kasar, dan tajam seperti belati. Hatinya mencelos, tapi hanya sesaat. Dalam dirinya, nyala keberanian kembali berkobar, seperti api kecil yang menolak padam meski diterpa angin.
"Biar saja," gumamnya pelan, suara bergetar tapi tegas. Baginya, Bangka bukan sekadar tanah tempat ia berpijak; ia adalah rumah, jiwa, dan warisan nenek moyangnya. Jika harus bertaruh nyawa demi menyelamatkannya, ia tidak akan mundur. Sebab, bagi Yudi , mati melawan jauh lebih mulia daripada hidup menyerah.
---
Malamnya, di rumah panggung sederhana tempat ia menginap, Arya menyalakan laptop. Tulisan-tulisannya mulai menyusun narasi, tetapi masih terasa ada yang kurang. Ia membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar cerita; ia membutuhkan bukti kuat yang bisa mengguncang.
Pikiran Arya melayang ke Pak Syahban. Nelayan tua itu selalu berbicara seolah-olah ia menyimpan rahasia besar. Namun, Arya ragu untuk bertanya lebih jauh.
---
Pagi menjelang siang, sinar matahari terpecah-pecah di antara celah dedaunan hutan lebat yang mereka lalui. Langkah Arya dan Yudi berhati-hati, menapaki tanah lembap yang dipenuhi akar-akar liar. Suara burung dan desau angin perlahan tergantikan oleh dengung mesin yang makin lama makin keras.