Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka di Tanah Surga

14 Desember 2024   17:23 Diperbarui: 14 Desember 2024   18:23 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tambang timah. Sumber foto: jurnalpost.com

Masih pagi, mentari merayap perlahan di langit, menabur cahaya jingga di atas pasir putih dan laut yang dahulu gemerlap biru. Kini, airnya keruh, bercampur endapan lumpur dan jejak-jejak keserakahan. Arya berdiri di tepian, kakinya menancap di pasir yang basah, menatap horizon yang membujur jauh. Di tangannya, kamera menggantung, seperti mata ketiga yang siap merekam kisah luka alam.  

Ia mengembuskan napas panjang. Tiga hari di Bangka, Arya sudah mendengar terlalu banyak cerita: tambang timah yang melubangi tubuh pulau, nelayan yang pulang dengan jala kosong, dan tanah yang perlahan kehilangan napasnya. Tapi di balik itu semua, ia belum menemukan bukti yang cukup kuat.  

“Pagi, Nak Arya,” suara serak menyapa dari belakang.  

Pak Syahban, seorang nelayan tua, berdiri dengan tubuh yang bungkuk, membawa keranjang kosong. Wajahnya dipahat oleh usia, tetapi matanya masih menyimpan kilau kehidupan.  

“Bagaimana tangkapan tadi malam, Pak?” tanya Arya, meski ia tahu jawabannya.  

Pak Syahban hanya menggeleng, meletakkan keranjang di atas pasir. “Laut tak lagi murah hati. Tapi begitulah, Nak, barangkali ia lelah pada manusia.”  

Arya terdiam. Di antara kata-kata sederhana Pak Syahban, ia menemukan kebenaran yang menyakitkan.  

---

Sore itu, Arya bertemu dengan Yudi , seorang aktivis muda yang lantang menolak tambang ilegal. Yudi mengajaknya ke tengah hutan, tempat bekas tambang menganga seperti luka yang tak bisa disembuhkan.  

“Hutan ini dulunya rumah bagi burung-burung, rusa, dan kijang,” ujar Yudi , menunjuk tanah yang terbelah dengan genangan air berwarna kehitaman. “Sekarang, yang tersisa hanya lubang-lubang kosong. Mereka meraup tanah ini, meninggalkannya seperti kulit mati.”  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun