---
Arya dan Yudi dilepaskan malam itu. Di perjalanan pulang, Yudi menangis. “Bagaimana kita melawan jika yang terlibat adalah orang-orang seperti dia? Orang kecil yang terjebak dalam sistem besar yang tak adil?”
Arya tidak menjawab. Ia memegang amplop itu erat, merasa bebannya semakin berat.
—
Beberapa minggu kemudian, laporan investigasi Arya diterbitkan di media nasional. Artikel itu menjadi viral, mengungkap jaringan tambang ilegal yang melibatkan pejabat tinggi dan pengusaha besar. Namun, nama Pak Syahban tidak disebutkan. Arya tahu, nelayan tua itu adalah korban, bukan pelaku utama.
Di Bangka, Yudi memulai gerakan rehabilitasi lingkungan. Bersama masyarakat, ia menanam kembali mangrove di pesisir dan memulihkan lahan bekas tambang.
—
Pagi itu, langit Bangka mendung, seakan alam merasakan kesedihan yang belum sempat terucap. Kabar itu datang seperti angin yang membawa dingin menusuk—Pak Syahban ditemukan tak lagi bernyawa di rumah panggung sederhananya. Wajahnya tenang, seperti seseorang yang akhirnya melepaskan beban yang terlalu lama ia pikul. Mereka berkata, serangan jantung adalah penyebabnya. Namun, siapa yang tahu berapa banyak luka yang disimpan di dadanya sebelum napas terakhir itu terhenti?
Di samping tubuhnya yang kaku, ada secarik kertas, tulisannya sederhana namun penuh beratnya penyesalan dan harapan. Kata-kata itu ditujukan untuk Arya:
"Laut dan tanah ini lebih tua dari kita semua. Aku telah membuat kesalahan, tetapi aku percaya anak-anak muda sepertimu akan menjaga warisan ini. Jangan biarkan keserakahan menghancurkannya lagi."
Arya membaca kata-kata itu dengan tangan bergetar, sementara air matanya jatuh satu per satu, membasahi kertas yang sudah agak kusut. Dalam hati, ia merasa Pak Syahban tidak sepenuhnya pergi; warisannya tertinggal, bukan pada tambang yang meninggalkan luka di tanah, tetapi pada semangat untuk memperbaiki kesalahan.