Pemerintah Indonesia berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Langkah ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk memperkuat penerimaan negara, yang dianggap penting untuk mendanai kebutuhan pembangunan dan memastikan keberlanjutan ekonomi nasional.
Namun, kebijakan ini tidak lepas dari perdebatan, terutama karena diimplementasikan pada masa pemulihan ekonomi yang masih rentan setelah dampak pandemi COVID-19.
Kenaikan PPN ini menjadi isu strategis karena melibatkan berbagai pihak, mulai dari pelaku bisnis, masyarakat sebagai konsumen akhir, hingga pemerintah sendiri sebagai pengelola penerimaan negara.
Bagi sebagian pihak, kenaikan tarif pajak ini dipandang sebagai langkah yang tidak dapat dihindari mengingat rasio perpajakan Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Namun, ada pula kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat memperlambat pemulihan ekonomi, melemahkan daya beli masyarakat, dan menambah beban bagi sektor usaha, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia.
Dengan berbagai dinamika ini, pertanyaan utama yang muncul adalah apakah kenaikan PPN ini akan memberikan dampak positif dalam jangka panjang atau justru menambah beban bagi perekonomian nasional di masa kini.
Jadi, apakah kebijakan ini akan disambut dengan optimisme oleh dunia usaha, atau justru menjadi momok baru bagi mereka?
Mari kita telusuri lebih jauh untuk memahami implikasi kebijakan ini bagi berbagai sektor di Indonesia.
Tujuan dan Alasan di Balik Kenaikan PPN
Kenaikan PPN menjadi 12% bukanlah kebijakan yang muncul tanpa alasan. Pemerintah berargumen bahwa reformasi perpajakan diperlukan untuk memperkuat penerimaan negara, yang pada akhirnya akan digunakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan pengentasan kemiskinan.
Langkah ini juga dilihat sebagai strategi untuk mengatasi tantangan jangka panjang dalam meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa rasio perpajakan Indonesia saat ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara anggota ASEAN, G20, dan OECD. Ia menyatakan, "Rasio pajak Indonesia selama ini relatif stagnan dan belum mencerminkan optimalisasi sumber daya yang ada."
Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada tahun 2022, rasio pajak Indonesia hanya mencapai 10,38%, jauh di bawah rata-rata ASEAN yang berkisar 15-18%. (Sumber: Bisnis.com)
Sebagai pembanding, beberapa negara ASEAN memiliki rasio pajak yang jauh lebih tinggi. Thailand, misalnya, mencatatkan rasio pajak sebesar 17,18%, sementara Vietnam mencapai 16,21%, dan Singapura berada di angka 12,96%. Di lingkup global, Indonesia juga tertinggal dari rata-rata rasio pajak negara-negara OECD yang mencapai 34% pada tahun 2020)
Rendahnya rasio pajak ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Dengan rasio pajak yang kecil, kemampuan negara untuk mendanai kebutuhan dasar seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program perlindungan sosial menjadi terbatas. Kementerian Keuangan menyebut bahwa penerimaan pajak yang lebih besar diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada pembiayaan utang negara, terutama di tengah situasi global yang semakin tidak menentu akibat ancaman resesi dan ketegangan geopolitik.
Lebih jauh, harmonisasi peraturan perpajakan melalui kenaikan PPN diharapkan dapat menciptakan struktur pajak yang lebih adil. Dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan dari konsumsi, pemerintah memiliki peluang untuk mendistribusikan beban pajak secara lebih merata. Kebijakan ini juga dinilai strategis untuk mempercepat transformasi digital dan memastikan bahwa ekonomi berbasis konsumsi dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.
Meski begitu, kenaikan ini perlu diimbangi dengan pengelolaan yang transparan. Transparansi dalam alokasi dana hasil PPN akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa masyarakat dan dunia usaha dapat merasakan manfaat langsung dari peningkatan pajak ini.
Dampak bagi Dunia Usaha
Kenaikan PPN menjadi 12% tidak hanya menjadi isu makroekonomi, tetapi juga memengaruhi operasional dan keberlanjutan dunia usaha di Indonesia. Sektor bisnis, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang menyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB) dan mempekerjakan 97% tenaga kerja, menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kebijakan ini. Dalam konteks pemulihan ekonomi pasca-pandemi, kenaikan PPN dianggap sebagai tantangan tambahan yang dapat memperlambat laju pertumbuhan sektor usaha, terutama di pasar domestik yang masih mengalami tekanan inflasi dan penurunan daya beli konsumen.
Sementara beberapa kalangan memahami pentingnya kebijakan ini untuk meningkatkan penerimaan negara, dampaknya terhadap biaya operasional, daya beli masyarakat, dan kemampuan bersaing bisnis lokal menjadi perhatian utama. Berikut ini adalah beberapa dampak yang dirasakan dunia usaha terkait kebijakan ini.
Biaya Operasional yang Meningkat
Kenaikan PPN secara langsung akan berdampak pada biaya operasional perusahaan, terutama yang bergerak di sektor perdagangan dan jasa. Barang dan jasa yang dikenai PPN akan menjadi lebih mahal, sehingga dapat mengurangi daya beli konsumen. Perusahaan harus memilih antara menyerap kenaikan biaya ini atau menaikkan harga, yang keduanya berpotensi merugikan bisnis.
Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), kenaikan PPN menjadi 12% akan meningkatkan biaya produksi dan distribusi secara signifikan, terutama di sektor barang kebutuhan pokok dan barang setengah jadi. Hal ini dapat menekan margin keuntungan perusahaan, khususnya bagi UMKM yang memiliki struktur biaya lebih rapuh dibandingkan perusahaan besar.
Sebuah laporan oleh Bank Dunia juga mencatat bahwa sektor usaha di Indonesia, terutama UMKM yang menyumbang lebih dari 60% PDB nasional, lebih rentan terhadap kebijakan fiskal yang meningkatkan beban biaya operasional. Ketidakmampuan menyerap kenaikan pajak dapat memaksa pelaku usaha kecil untuk mengurangi jumlah produksi atau bahkan menutup usahanya.
Daya Beli Konsumen yang Melemah
Sebagai pajak konsumsi, PPN secara tidak langsung memengaruhi perilaku konsumen. Dengan kenaikan tarif, daya beli masyarakat bisa tergerus, terutama pada kelompok berpendapatan rendah. Hal ini berpotensi berdampak negatif pada sektor usaha yang sangat bergantung pada pasar domestik, seperti ritel, makanan, dan minuman.
Laporan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengungkapkan bahwa kenaikan PPN dapat menambah beban pengeluaran rumah tangga masyarakat miskin hingga 4% dari total pendapatan mereka. Dampak ini akan semakin terasa bagi kelompok rentan yang sudah terdampak oleh inflasi akibat kenaikan harga bahan pokok. (Sumber: Ekonomi Bisnis)
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia pada tahun 2022. Penurunan daya beli konsumen akibat kenaikan PPN dikhawatirkan akan menekan angka konsumsi domestik, yang menjadi salah satu penggerak utama perekonomian nasional. (Sumber: BPS)
Persaingan yang Semakin Ketat
Dalam era globalisasi, bisnis lokal juga bersaing dengan produk impor. Jika kenaikan PPN tidak diimbangi dengan insentif atau dukungan lain, produk lokal berisiko kalah bersaing dengan barang impor yang lebih murah, terutama jika negara asal barang tersebut memiliki kebijakan pajak yang lebih rendah.
Data menunjukkan bahwa tarif PPN di Indonesia akan menjadi salah satu yang tertinggi di ASEAN, bersama dengan Filipina yang juga menetapkan tarif 12%. Sebagai perbandingan, negara-negara lain di kawasan ASEAN memiliki tarif yang lebih rendah, seperti Singapura dengan 9% dan Thailand dengan 7%.
Perbedaan tarif ini dapat memengaruhi daya saing produk lokal di pasar internasional dan domestik. Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) menyebut bahwa tanpa dukungan insentif untuk sektor produksi dalam negeri, peningkatan tarif PPN akan menekan kemampuan pelaku usaha lokal untuk berkompetisi, terutama dalam menghadapi banjir produk impor yang lebih terjangkau.
Kenaikan PPN menjadi 12% akan memberikan tantangan yang cukup berat bagi dunia usaha di Indonesia, baik dari segi operasional, daya beli konsumen, maupun persaingan dengan produk impor. Tanpa kebijakan pendukung yang efektif, seperti insentif bagi UMKM atau pengurangan beban pajak lainnya, kebijakan ini berpotensi menghambat pemulihan ekonomi nasional.
Meskipun tantangan dari kenaikan PPN menjadi 12% cukup signifikan, terdapat potensi manfaat jangka panjang bagi dunia usaha jika kebijakan ini diimplementasikan dengan efektif.
Peningkatan Penerimaan Negara untuk Pembangunan Infrastruktur
Kenaikan PPN diharapkan meningkatkan penerimaan negara, yang dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. Menurut Kementerian Keuangan, peningkatan tarif PPN sebesar 1% diproyeksikan menambah penerimaan negara sekitar Rp73,76 triliun.
Dana ini dapat digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan bandara, yang akan meningkatkan konektivitas dan efisiensi logistik bagi pelaku usaha.
Penciptaan Ekosistem Perpajakan yang Lebih Adil
Reformasi perpajakan melalui kenaikan PPN juga bertujuan menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih adil. Dengan basis pajak yang lebih luas, beban pajak dapat didistribusikan secara merata, mengurangi praktik penghindaran pajak, dan menciptakan persaingan yang lebih sehat antara pelaku usaha besar dan kecil. Hal ini sejalan dengan tujuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk meningkatkan kepatuhan dan keadilan perpajakan.
Apakah Ada Keuntungan bagi Bisnis?
Meskipun tantangan dari kenaikan PPN menjadi 12% cukup signifikan, terdapat potensi manfaat jangka panjang bagi dunia usaha jika kebijakan ini diimplementasikan dengan efektif.
Peningkatan Penerimaan Negara untuk Pembangunan Infrastruktur
Kenaikan PPN diharapkan meningkatkan penerimaan negara, yang dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. Menurut Kementerian Keuangan, peningkatan tarif PPN sebesar 1% diproyeksikan menambah penerimaan negara sekitar Rp73,76 triliun. Dana ini dapat digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan bandara, yang akan meningkatkan konektivitas dan efisiensi logistik bagi pelaku usaha.
Penciptaan Ekosistem Perpajakan yang Lebih Adil
Reformasi perpajakan melalui kenaikan PPN juga bertujuan menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih adil. Dengan basis pajak yang lebih luas, beban pajak dapat didistribusikan secara merata, mengurangi praktik penghindaran pajak, dan menciptakan persaingan yang lebih sehat antara pelaku usaha besar dan kecil. Hal ini sejalan dengan tujuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk meningkatkan kepatuhan dan keadilan perpajakan.
Dukungan terhadap Program Pemerintah dan Stabilitas Ekonomi
Peningkatan penerimaan negara melalui PPN juga mendukung program pemerintah dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Dengan alokasi anggaran yang memadai, kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan, yang pada gilirannya akan menciptakan tenaga kerja yang lebih produktif dan kompeten bagi dunia usaha. Selain itu, stabilitas ekonomi yang tercipta dari pengelolaan fiskal yang baik akan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi investasi dan pertumbuhan bisnis.
Dengan demikian, meskipun kenaikan PPN menimbulkan tantangan, implementasi yang tepat dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi dunia usaha melalui peningkatan infrastruktur, keadilan perpajakan, dan dukungan terhadap program pemerintah yang mendukung pertumbuhan ekonomi.
Bagaimana Sebaiknya Kebijakan Ini Diimplementasikan?
Agar kenaikan PPN menjadi 12% tidak memberatkan dunia usaha dan masyarakat secara berlebihan, pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk memastikan transisi yang lancar dan manfaat jangka panjang bagi perekonomian. Berikut adalah penguatan mendalam terkait langkah-langkah mitigasi yang dapat dilakukan:
1. Memberikan Insentif Pajak untuk Sektor Tertentu
 Sektor yang paling terdampak, seperti UMKM, membutuhkan perlindungan agar tetap kompetitif di pasar. UMKM menyumbang lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan mempekerjakan sekitar 97% tenaga kerja. (Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM) Oleh karena itu, insentif pajak seperti pengurangan tarif PPN untuk barang tertentu atau pembebasan pajak sementara bagi UMKM dapat membantu mereka menyesuaikan diri dengan kebijakan baru.
Beberapa negara telah menerapkan kebijakan serupa. Misalnya, di Malaysia, pemerintah memberikan tarif PPN nol persen untuk barang kebutuhan pokok sebagai bentuk dukungan terhadap masyarakat berpendapatan rendah dan sektor usaha kecil. Indonesia dapat mengadopsi pendekatan serupa untuk mengurangi dampak kenaikan tarif PPN pada sektor yang rentan.
2. Transparansi Penggunaan Pajak
Salah satu kritik utama terhadap kebijakan fiskal adalah kurangnya transparansi dalam alokasi dan penggunaan penerimaan pajak. Peningkatan PPN menjadi 12% harus diiringi dengan akuntabilitas yang lebih baik dari pemerintah dalam menunjukkan bagaimana dana tambahan digunakan.
Misalnya, penerimaan tambahan dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur yang mendukung sektor usaha, seperti pengembangan kawasan industri, perbaikan sistem logistik, atau penyediaan akses internet bagi UMKM di daerah terpencil. Data dari World Economic Forum menunjukkan bahwa infrastruktur yang baik dapat meningkatkan produktivitas hingga 30% di negara berkembang. Dengan memastikan bahwa hasil kenaikan PPN dimanfaatkan secara produktif, pelaku usaha akan lebih percaya pada dampak positif kebijakan ini.
3. Sosialisasi yang Komprehensif
Pelaku usaha memerlukan waktu dan informasi yang cukup untuk beradaptasi dengan perubahan kebijakan pajak. Sosialisasi yang komprehensif, melibatkan kementerian terkait, asosiasi bisnis, dan komunitas UMKM, menjadi langkah penting untuk meminimalkan kebingungan.
Pemerintah dapat menyelenggarakan pelatihan, seminar, dan lokakarya yang menjelaskan teknis implementasi kenaikan PPN, termasuk cara mengelola dampaknya terhadap harga jual, pembukuan, dan strategi bisnis. Selain itu, penggunaan teknologi digital seperti portal daring dan aplikasi perpajakan dapat mempermudah pelaku usaha dalam memahami dan mematuhi peraturan baru. (Sumber: Kementerian Keuangan RI)
4. Mengembangkan Kebijakan Penyangga untuk Konsumen
Selain mitigasi bagi dunia usaha, kebijakan yang mendukung daya beli masyarakat juga diperlukan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah melalui program perlindungan sosial, seperti subsidi langsung untuk kelompok miskin atau insentif belanja domestik. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa perlindungan sosial yang tepat sasaran dapat meningkatkan konsumsi domestik hingga 20%.
Kenaikan PPN menjadi 12% memerlukan strategi implementasi yang matang untuk memastikan dampaknya dapat dikelola dengan baik. Dengan memberikan insentif kepada sektor tertentu, meningkatkan transparansi penggunaan pajak, dan menyelenggarakan sosialisasi yang komprehensif, pemerintah dapat menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih kondusif. Selain itu, perlindungan terhadap daya beli konsumen dan investasi pada sektor yang mendukung dunia usaha akan memastikan bahwa kebijakan ini memberikan manfaat jangka panjang bagi seluruh perekonomian.
Happy atau Tidak?
Kenaikan PPN menjadi 12% memang membawa tantangan besar bagi dunia usaha di Indonesia. Dalam jangka pendek, pelaku bisnis, terutama dari kalangan UMKM, akan menghadapi kenaikan biaya operasional dan potensi penurunan daya beli konsumen. Tantangan ini semakin kompleks karena diterapkan dalam situasi ekonomi yang masih rapuh pasca-pandemi. Namun, potensi manfaat jangka panjang dari kebijakan ini tetap layak untuk dipertimbangkan, terutama jika didukung oleh langkah mitigasi yang tepat dan eksekusi yang efektif.
Tantangan Jangka Pendek
Kondisi ekonomi saat ini masih berada dalam fase pemulihan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada kuartal II tahun 2023, tingkat konsumsi domestik, yang menjadi penyumbang terbesar bagi PDB, baru mulai kembali stabil setelah menurun akibat inflasi dan pandemi. Dengan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih, kenaikan PPN dapat memengaruhi pola konsumsi dan menghambat pertumbuhan sektor ritel serta usaha berbasis konsumsi. (Sumber: BPS)
UMKM, yang menyumbang lebih dari 60% PDB nasional, akan menjadi pihak yang paling terdampak karena kapasitas mereka untuk menyerap kenaikan biaya terbatas. Penelitian dari Asian Development Bank (ADB) mencatat bahwa 42% UMKM di Indonesia masih berada dalam kondisi keuangan yang sulit akibat pandemi.
Manfaat Jangka Panjang
Di sisi lain, jika kebijakan ini berhasil diimplementasikan dengan baik, kenaikan PPN dapat memberikan manfaat jangka panjang yang signifikan. Peningkatan penerimaan negara dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik, yang akan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih kondusif. Sebagai contoh, peningkatan konektivitas melalui proyek infrastruktur dapat menurunkan biaya logistik hingga 20%, yang akan menguntungkan pelaku usaha dalam jangka panjang.
Reformasi perpajakan ini juga bertujuan untuk menciptakan sistem yang lebih adil, di mana basis pajak yang lebih luas memungkinkan pembagian beban yang lebih merata antara pelaku usaha besar dan kecil. Dengan adanya ekosistem yang lebih adil, dunia usaha diharapkan dapat bersaing secara lebih sehat dan berkontribusi secara proporsional terhadap pembangunan ekonomi.
Kunci Keberhasilan
Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada respons pemerintah terhadap kebutuhan pelaku usaha dan masyarakat. Transparansi dalam penggunaan dana pajak tambahan, insentif bagi sektor terdampak, serta kebijakan pendukung seperti subsidi untuk masyarakat berpendapatan rendah akan menjadi faktor penentu utama. Selain itu, pendekatan kolaboratif antara pemerintah dan pelaku bisnis dapat membantu menciptakan sinergi yang mendukung pemulihan ekonomi secara berkelanjutan.
Bagi dunia usaha, kenaikan PPN menjadi 12% mungkin tidak membawa kebahagiaan dalam waktu dekat. Namun, dengan implementasi yang baik dan dukungan kebijakan yang komprehensif, tantangan ini dapat berubah menjadi peluang yang membawa manfaat besar di masa depan. Dengan sinergi antara pemerintah dan dunia usaha, bukan tidak mungkin kebijakan ini akan menjadi fondasi yang kokoh untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Pelaku bisnis mungkin belum "happy" hari ini, tetapi dengan langkah yang tepat, kebahagiaan itu bisa tercapai dalam jangka panjang.
Kesimpulan
Kenaikan PPN menjadi 12% adalah kebijakan yang menimbulkan beragam reaksi di kalangan pelaku usaha, ekonom, dan masyarakat. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan pengentasan kemiskinan. Di sisi lain, tantangan bagi dunia usaha tidak bisa diabaikan, terutama bagi UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Dalam jangka pendek, kenaikan PPN ini berpotensi meningkatkan biaya operasional bisnis, melemahkan daya beli masyarakat, dan menekan daya saing produk lokal. Namun, jika diiringi dengan mitigasi yang tepat seperti pemberian insentif pajak untuk sektor terdampak, transparansi penggunaan dana, dan sosialisasi kebijakan yang komprehensif, kebijakan ini dapat membawa manfaat signifikan dalam jangka panjang.
Keberhasilan kebijakan ini bergantung pada eksekusi dan kemampuan pemerintah untuk merespons kebutuhan dunia usaha dan masyarakat. Dengan langkah mitigasi yang efektif, kenaikan PPN dapat menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih adil, mendukung pertumbuhan infrastruktur, dan mendorong perekonomian yang lebih inklusif.
Meski tantangannya besar, peluang untuk menciptakan manfaat jangka panjang bagi bisnis dan ekonomi nasional tetap ada. Pelaku usaha mungkin belum "happy" hari ini, tetapi dengan pendekatan yang sinergis dan dukungan kebijakan yang tepat, kebijakan ini memiliki potensi untuk membawa kebahagiaan di masa depan, baik bagi dunia usaha maupun masyarakat secara luas.
Sumber Rujukan
Asian Development Bank. (2023). Southeast Asia SMEs: Challenges and Opportunities. Retrieved from https://www.adb.org/
Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Statistik Ekonomi Indonesia. Retrieved from https://www.bps.go.id/
Bisnis.com. (2023). Sri Mulyani: Tax Ratio Indonesia Masih Rendah Dibanding Negara ASEAN dan G20. Retrieved from https://ekonomi.bisnis.com/
Kementerian Koperasi dan UKM. (2023). Kontribusi UMKM terhadap PDB Nasional. Retrieved from https://www.kemenkopukm.go.id/
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Implikasinya. Retrieved from https://www.kemenkeu.go.id/
Kumparan. (2023). Perbandingan Tarif PPN di Indonesia dan Negara ASEAN. Retrieved from https://kumparan.com/
OECD. (2023). Tax Policy Reviews. Retrieved from https://www.oecd.org/
Suara.com. (2023). 5 Dampak PPN Naik 12 Persen: Siap-siap Inflasi hingga Bisnis Kecil Kesulitan. Retrieved from https://www.suara.com/
Tempo.co. (2023). Peningkatan Penerimaan Negara dan Tantangan Kenaikan PPN 12%. Retrieved from https://www.tempo.co/
World Economic Forum. (2023). The Global Competitiveness Report. Retrieved from https://www.weforum.org/
World Bank. (2023). Indonesia Economic Outlook: Challenges in the Recovery Phase. Retrieved from https://www.worldbank.org/
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H