Sebaliknya, mereka cenderung lebih mempercayai konten yang diproduksi oleh pengguna atau influencer yang dianggap memiliki keterikatan otentik dengan merek.
Semua faktor ini menciptakan sebuah tantangan yang memaksa bisnis untuk mengevaluasi kembali pendekatan mereka terhadap pemasaran di media sosial.
Mengandalkan strategi pemasaran media sosial seperti yang dilakukan lima atau bahkan dua tahun yang lalu mungkin tidak lagi efektif dalam lingkungan digital yang terus berkembang ini.
Pandangan bahwa era pemasaran media sosial telah "mati" sebenarnya mengindikasikan kebutuhan yang mendesak bagi bisnis untuk beradaptasi dan berevolusi dalam menggunakan media sosial secara lebih strategis dan efisien.
Tantangan dalam Pemasaran Media Sosial Saat Ini
Salah satu alasan utama yang membuat banyak pihak meragukan keberlanjutan pemasaran media sosial adalah perubahan algoritma secara signifikan pada platform-platform utama seperti Facebook, Instagram, dan Twitter (sekarang dikenal sebagai X).
Algoritma baru ini memprioritaskan konten berbayar, mengurangi jangkauan organik bagi merek, terutama bagi bisnis kecil yang memiliki anggaran iklan terbatas.
Sebagai contoh, data dari Hootsuite menunjukkan bahwa jangkauan organik rata-rata konten di Facebook hanya mencapai 5,2% dari total pengikut (Hootsuite, 2022). Artinya, kurang dari 10% pengikut suatu akun bisnis dapat melihat konten yang dipublikasikan secara organik tanpa dukungan iklan.
Pada platform seperti Instagram, situasinya tidak jauh berbeda, di mana algoritma juga mendorong konten yang mendapat interaksi tinggi atau yang didukung iklan untuk mendapatkan visibilitas lebih baik. Bagi bisnis kecil yang tidak memiliki dana untuk iklan, kondisi ini menjadi penghambat besar dalam menjangkau audiens yang lebih luas.
Perubahan algoritma ini memiliki dampak yang cukup drastis bagi merek yang mengandalkan pemasaran media sosial sebagai strategi utama.
Sebelum perubahan ini terjadi, merek dapat mengandalkan konten berkualitas untuk menjangkau audiens secara alami.