Media sosial telah berkembang pesat sejak awal kehadirannya dan terus mengubah cara bisnis berinteraksi dengan konsumen. Sejak munculnya platform seperti Facebook dan Twitter pada pertengahan 2000-an, diikuti dengan Instagram, LinkedIn, dan kemudian TikTok, media sosial berhasil menarik perhatian miliaran pengguna di seluruh dunia.
Dengan jumlah pengguna aktif global yang mencapai 4,26 miliar pada tahun 2021 (Statista, 2022), platform ini menciptakan ekosistem digital yang dinamis dan penuh peluang bagi bisnis untuk menjangkau audiens yang luas, membangun merek, serta mendorong keterlibatan yang langsung dan interaktif.
Kebangkitan media sosial sebagai saluran pemasaran membawa berbagai manfaat bagi bisnis. Pemasaran melalui media sosial memungkinkan perusahaan untuk mempromosikan produk dan layanan secara real-time, membangun hubungan personal dengan konsumen, serta mengukur efektivitas kampanye secara langsung melalui berbagai metrik yang tersedia. Platform seperti Instagram dan TikTok bahkan mendorong inovasi dalam pemasaran visual dan video pendek, menjadikan konten lebih menarik dan mampu mengekspresikan pesan merek secara kreatif.
Namun, kemajuan pesat ini juga disertai dengan tantangan yang tidak dapat diabaikan. Perubahan algoritma, misalnya, menjadi tantangan besar bagi bisnis yang mengandalkan jangkauan organik untuk menjangkau konsumen.
Pada awalnya, algoritma media sosial dirancang untuk menampilkan konten secara kronologis, tetapi seiring waktu, platform seperti Facebook dan Instagram mulai memprioritaskan konten berbayar dan interaksi dengan konten yang dinilai lebih "relevan" (Facebook, 2021).
Hal ini membuat jangkauan organik semakin berkurang, menuntut bisnis untuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar agar konten mereka terlihat.
Selain itu, lanskap pemasaran digital yang semakin kompetitif memicu kenaikan biaya iklan. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang beriklan di media sosial, harga untuk menjangkau audiens target pun naik secara signifikan, membuat bisnis kecil dan menengah kesulitan bersaing.
Menurut laporan Statista, rata-rata biaya per klik (CPC) untuk iklan di platform seperti Facebook meningkat hingga 30% antara 2020 dan 2023 (Statista, 2023). Kondisi ini mengakibatkan banyak bisnis mencari cara alternatif untuk mempertahankan relevansi mereka di dunia digital.
Di tengah tantangan tersebut, muncul perubahan preferensi konsumen yang kian menggeser arah pemasaran digital. Konsumen masa kini, terutama Generasi Z dan Milenial, lebih menghargai transparansi, keaslian, dan hubungan yang bermakna dengan merek.
Mereka tidak lagi mudah terpengaruh oleh iklan tradisional, yang dianggap sebagai bagian dari gangguan dalam pengalaman berselancar online mereka.
Sebaliknya, mereka cenderung lebih mempercayai konten yang diproduksi oleh pengguna atau influencer yang dianggap memiliki keterikatan otentik dengan merek.
Semua faktor ini menciptakan sebuah tantangan yang memaksa bisnis untuk mengevaluasi kembali pendekatan mereka terhadap pemasaran di media sosial.
Mengandalkan strategi pemasaran media sosial seperti yang dilakukan lima atau bahkan dua tahun yang lalu mungkin tidak lagi efektif dalam lingkungan digital yang terus berkembang ini.
Pandangan bahwa era pemasaran media sosial telah "mati" sebenarnya mengindikasikan kebutuhan yang mendesak bagi bisnis untuk beradaptasi dan berevolusi dalam menggunakan media sosial secara lebih strategis dan efisien.
Tantangan dalam Pemasaran Media Sosial Saat Ini
Salah satu alasan utama yang membuat banyak pihak meragukan keberlanjutan pemasaran media sosial adalah perubahan algoritma secara signifikan pada platform-platform utama seperti Facebook, Instagram, dan Twitter (sekarang dikenal sebagai X).
Algoritma baru ini memprioritaskan konten berbayar, mengurangi jangkauan organik bagi merek, terutama bagi bisnis kecil yang memiliki anggaran iklan terbatas.
Sebagai contoh, data dari Hootsuite menunjukkan bahwa jangkauan organik rata-rata konten di Facebook hanya mencapai 5,2% dari total pengikut (Hootsuite, 2022). Artinya, kurang dari 10% pengikut suatu akun bisnis dapat melihat konten yang dipublikasikan secara organik tanpa dukungan iklan.
Pada platform seperti Instagram, situasinya tidak jauh berbeda, di mana algoritma juga mendorong konten yang mendapat interaksi tinggi atau yang didukung iklan untuk mendapatkan visibilitas lebih baik. Bagi bisnis kecil yang tidak memiliki dana untuk iklan, kondisi ini menjadi penghambat besar dalam menjangkau audiens yang lebih luas.
Perubahan algoritma ini memiliki dampak yang cukup drastis bagi merek yang mengandalkan pemasaran media sosial sebagai strategi utama.
Sebelum perubahan ini terjadi, merek dapat mengandalkan konten berkualitas untuk menjangkau audiens secara alami.
Namun, dengan jangkauan organik yang terus menurun, bisnis sekarang harus berinvestasi lebih besar untuk sekadar mempertahankan visibilitas konten.
Menurut Sprout Social, perubahan algoritma ini juga mengubah cara audiens berinteraksi dengan konten; konten dari akun pribadi atau yang memiliki interaksi tinggi lebih diprioritaskan ketimbang konten dari akun bisnis (Sprout Social, 2022). Ini menyebabkan banyak bisnis kecil berjuang untuk mempertahankan relevansi mereka dalam ekosistem digital yang semakin padat.
Selain tantangan dalam jangkauan organik, biaya iklan di media sosial juga mengalami lonjakan signifikan.
Berdasarkan data dari Statista, pengeluaran untuk iklan media sosial global diperkirakan akan mencapai lebih dari $229 miliar pada tahun 2024, meningkat tajam dari $104 miliar pada tahun 2020 (Statista, 2023).
Kenaikan biaya ini sebagian besar didorong oleh tingginya permintaan iklan di platform populer seperti Facebook, Instagram, dan TikTok, yang masing-masing memiliki basis pengguna besar yang menjadi sasaran para pengiklan.
Data dari eMarketer menunjukkan bahwa biaya rata-rata per klik (CPC) pada iklan Facebook mengalami kenaikan hingga 25% dari tahun sebelumnya, menunjukkan betapa kompetitifnya ruang iklan di media sosial (eMarketer, 2022).
Kondisi ini menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk menjangkau audiens target menjadi jauh lebih tinggi, terutama bagi bisnis kecil yang memiliki keterbatasan anggaran.
Lonjakan biaya iklan ini memaksa bisnis kecil dan menengah untuk mencari alternatif pemasaran yang lebih efektif dan hemat biaya.
Beberapa bisnis mulai beralih ke saluran pemasaran lainnya, seperti pemasaran melalui email, pemasaran berbasis komunitas, atau bahkan memanfaatkan kolaborasi dengan micro-influencer yang dianggap lebih efektif dalam membangun hubungan dengan audiens secara lebih personal.
Menurut Influencer Marketing Hub, kolaborasi dengan micro-influencer dapat memberikan ROI yang lebih tinggi bagi bisnis kecil, karena mereka memiliki keterikatan kuat dengan pengikutnya dan cenderung lebih autentik dalam merekomendasikan produk atau layanan (Influencer Marketing Hub, 2023).
Dengan kata lain, perubahan algoritma dan peningkatan biaya iklan di media sosial telah menciptakan tantangan signifikan bagi keberlanjutan strategi pemasaran di platform ini, terutama bagi merek kecil yang kesulitan bersaing dengan anggaran iklan besar dari perusahaan besar.
Hal ini memicu kebutuhan mendesak bagi bisnis kecil dan menengah untuk menemukan cara baru dalam menjangkau audiens dan mempertahankan relevansi mereka dalam dunia digital yang terus berubah.
Pergeseran Perilaku Konsumen
Selain tantangan dalam algoritma dan kenaikan biaya iklan, perubahan signifikan dalam perilaku konsumen juga mendorong pergeseran lanskap pemasaran media sosial.
Generasi Z dan Milenial, yang menjadi kelompok demografis utama pengguna media sosial, semakin kritis terhadap merek dan lebih memilih konten yang autentik, jujur, dan relevan dibandingkan iklan tradisional yang bersifat promosi.
Menurut survei yang dilakukan oleh Sprout Social pada 2022, sebanyak 86% konsumen lebih tertarik pada merek yang menawarkan konten yang jujur dan transparan daripada sekadar menyajikan promosi produk (Sprout Social, 2022).
Data ini menunjukkan bahwa transparansi dan kejujuran menjadi prioritas baru dalam pemasaran, terutama di kalangan konsumen muda yang mendambakan interaksi yang lebih bermakna dengan merek.
Fenomena ini telah memaksa merek untuk mengalihkan fokus mereka dari pemasaran langsung yang agresif ke pendekatan yang lebih mendalam dan berbasis komunitas. Generasi Z, yang lahir dan tumbuh di era digital, menunjukkan preferensi yang lebih tinggi terhadap konten dari micro-influencer atau nano-influencer dibandingkan dengan selebritas besar.
Hal ini didukung oleh laporan dari Influencer Marketing Hub, yang menyatakan bahwa 82% konsumen cenderung mengikuti rekomendasi dari micro-influencer yang dianggap lebih autentik dan terhubung secara personal dengan pengikutnya (Influencer Marketing Hub, 2023).
Kolaborasi dengan influencer kecil yang memiliki basis pengikut yang lebih terfokus memungkinkan merek untuk membangun keterikatan emosional yang lebih kuat dengan konsumen, terutama di segmen muda yang lebih skeptis terhadap iklan berbayar.
Selain itu, platform seperti TikTok telah mengubah cara konsumen mengonsumsi konten, terutama di kalangan Generasi Z. TikTok dengan cepat menjadi platform yang digemari karena memungkinkan pengguna untuk menemukan konten yang bersifat “organik,” ringan, dan menghibur, daripada berfokus pada iklan yang secara eksplisit mempromosikan produk.
Sebuah studi dari GlobalWebIndex menunjukkan bahwa 68% pengguna TikTok lebih menyukai konten buatan pengguna (user-generated content) dibandingkan dengan iklan yang langsung memasarkan produk (GlobalWebIndex, 2022).
Dengan pola konsumsi konten yang lebih berorientasi pada hiburan dan keaslian, platform ini telah menarik perhatian merek yang ingin menjangkau konsumen muda dengan cara yang tidak mengganggu pengalaman pengguna mereka.
Tren ini juga tercermin dalam pertumbuhan content marketing dan pemasaran berbasis komunitas yang semakin diminati. Laporan dari Edelman Trust Barometer menunjukkan bahwa 81% konsumen mengharapkan merek untuk memainkan peran dalam menyelesaikan isu-isu sosial, menunjukkan bahwa konsumen tidak hanya mencari produk tetapi juga nilai dan identitas yang mereka bisa asosiasikan dengan diri mereka (Edelman, 2023).
Untuk menjawab kebutuhan ini, banyak merek telah mengembangkan konten yang lebih fokus pada nilai-nilai dan misi perusahaan mereka, menciptakan komunitas yang mengedepankan identitas bersama antara merek dan konsumen.
Secara keseluruhan, perubahan dalam preferensi konsumen ini memaksa merek untuk mengadopsi pendekatan yang lebih subtil dan autentik.
Di era di mana konsumen semakin skeptis terhadap promosi langsung, merek yang dapat menampilkan transparansi, nilai bersama, dan hubungan autentik melalui kolaborasi dengan influencer kecil atau konten komunitas memiliki peluang lebih besar untuk membangun hubungan yang berkelanjutan dengan audiens.
Pergeseran ini mengindikasikan bahwa pemasaran media sosial tidak sepenuhnya “mati,” tetapi sedang berubah secara mendasar untuk menyesuaikan diri dengan harapan konsumen yang terus berevolusi.
Kebangkitan Platform Alternatif
Di luar media sosial tradisional, tren pemasaran digital kini bergerak menuju platform alternatif yang menawarkan keunggulan dalam membangun hubungan yang lebih dalam dan berkelanjutan dengan audiens. Platform seperti podcast, newsletter, dan komunitas di aplikasi seperti Discord atau Telegram menjadi semakin populer di kalangan merek yang ingin menghindari ketergantungan pada algoritma media sosial yang sering kali tidak dapat diprediksi. Data dari Edison Research menunjukkan lonjakan signifikan dalam jumlah pendengar podcast di Amerika Serikat, dari 32% pada 2019 menjadi 41% pada 2023, menunjukkan pertumbuhan yang konsisten dan minat yang semakin tinggi terhadap format audio yang lebih intim dan informatif (Edison Research, 2023). Podcast memungkinkan merek untuk menyampaikan pesan mereka dalam bentuk percakapan panjang, menciptakan pengalaman yang lebih personal dan mendalam yang sulit dicapai di media sosial tradisional.
Selain podcast, email marketing dan newsletter juga semakin digemari sebagai cara yang lebih langsung dan personal dalam berkomunikasi dengan konsumen. Dengan mengirimkan konten yang terkurasi langsung ke kotak masuk audiens, merek dapat membangun hubungan yang lebih eksklusif dan personal.
Laporan dari Campaign Monitor mengungkapkan bahwa email marketing memiliki return on investment (ROI) yang sangat tinggi, yakni mencapai 36 kali lipat dibandingkan dengan iklan di media sosial (Campaign Monitor, 2023).
Angka ini menunjukkan bahwa pemasaran melalui email tidak hanya efektif dalam hal keterlibatan, tetapi juga sangat efisien dalam hal biaya, terutama bagi bisnis yang ingin menjangkau konsumen tanpa harus berhadapan dengan biaya iklan media sosial yang terus meningkat.
Selain efektivitas ROI yang lebih tinggi, email marketing dan newsletter juga menawarkan keuntungan dalam hal kontrol dan kepemilikan data. Dengan algoritma media sosial yang kerap berubah, merek kehilangan kendali atas siapa yang akan melihat konten mereka.
Sebaliknya, daftar email adalah aset milik perusahaan, di mana merek dapat mengontrol frekuensi, segmentasi, dan personalisasi pesan yang dikirimkan ke konsumen.
Menurut HubSpot, 78% pemasar melaporkan bahwa email marketing membantu meningkatkan keterlibatan audiens lebih baik dibandingkan dengan platform media sosial, karena komunikasi melalui email cenderung lebih fokus dan tidak mudah diabaikan oleh penerima (HubSpot, 2022).
Platform berbasis komunitas seperti Discord dan Telegram juga memberikan peluang unik bagi merek untuk membangun ikatan yang lebih kuat dengan audiens mereka. Di sini, merek dapat menciptakan ruang komunitas eksklusif di mana pengguna dapat berdiskusi, berbagi pengalaman, atau mendapatkan informasi langsung dari brand ambassador atau perwakilan merek.
Menurut survei yang dilakukan oleh GlobalWebIndex, 71% konsumen berpendapat bahwa mereka lebih terhubung dengan merek yang menawarkan pengalaman komunitas yang berkelanjutan dan interaktif (GlobalWebIndex, 2023).
Dalam platform seperti Discord, misalnya, komunitas dapat berkembang secara organik melalui percakapan dua arah, yang memungkinkan merek tidak hanya membangun loyalitas tetapi juga mendapatkan masukan langsung dari konsumen mereka.
Dengan kehadiran platform alternatif yang semakin berkembang, merek kini memiliki berbagai pilihan untuk tetap relevan di dunia digital tanpa harus sepenuhnya bergantung pada media sosial. Kebangkitan platform-platform ini menawarkan fleksibilitas yang lebih besar bagi merek untuk menyesuaikan pendekatan mereka, membangun hubungan yang lebih dalam dengan konsumen, dan pada akhirnya mencapai tujuan pemasaran yang lebih efektif dan efisien.
Apakah Pemasaran Media Sosial Benar-Benar Sudah Mati?
Meski menghadapi berbagai tantangan, pemasaran media sosial belum benar-benar mati. Faktanya, media sosial masih menjadi saluran yang sangat penting bagi banyak bisnis, terutama bagi perusahaan besar yang memiliki anggaran signifikan untuk berinvestasi dalam iklan berbayar dan mampu bergerak cepat untuk memanfaatkan tren terbaru. Platform-platform seperti Instagram dan TikTok menunjukkan angka pertumbuhan pengguna yang terus meningkat. Menurut DataReportal, TikTok mencatatkan lebih dari 1 miliar pengguna aktif bulanan pada tahun 2022, menjadikannya salah satu platform media sosial dengan pertumbuhan tercepat di dunia (DataReportal, 2022). Ini menunjukkan bahwa media sosial tetap memiliki daya tarik yang kuat sebagai alat pemasaran untuk mencapai audiens dalam jumlah besar di seluruh dunia.
Namun, dinamika baru di media sosial mengharuskan merek untuk mengadaptasi strategi mereka agar tetap relevan dan efektif. Dalam menghadapi algoritma yang sering berubah, merek kini perlu lebih kreatif dalam menggunakan media sosial, misalnya melalui konten video pendek yang menarik dan meningkatkan interaksi yang lebih bermakna dengan audiens. Tren konten video pendek yang dipelopori oleh TikTok dan diikuti oleh Instagram Reels dan YouTube Shorts telah menciptakan format baru yang digemari oleh konsumen, terutama di kalangan Generasi Z dan Milenial. Data dari HubSpot menunjukkan bahwa 54% konsumen lebih menyukai konten video pendek sebagai format konten yang paling menarik, menjadikannya alat yang efektif bagi merek untuk tetap terhubung dengan audiens (HubSpot, 2023).
Selain itu, kolaborasi dengan nano dan micro-influencer menjadi strategi yang semakin populer di kalangan merek yang ingin membangun keterlibatan yang lebih autentik. Berbeda dengan macro-influencer atau selebriti besar, nano dan micro-influencer memiliki audiens yang lebih kecil tetapi loyal dan lebih terlibat, yang menjadikan mereka mitra ideal untuk kampanye yang berfokus pada keaslian dan keterikatan. Menurut Influencer Marketing Hub, kampanye dengan micro-influencer dapat menghasilkan tingkat keterlibatan hingga 60% lebih tinggi dibandingkan dengan macro-influencer, karena audiens cenderung lebih mempercayai rekomendasi mereka (Influencer Marketing Hub, 2023). Hal ini membuktikan bahwa meskipun algoritma media sosial lebih memprioritaskan konten berbayar, merek masih dapat mencapai keterlibatan tinggi dengan mengadopsi strategi kolaboratif yang lebih autentik.
Selain konten video pendek dan kolaborasi dengan micro-influencer, interaksi berbasis komunitas juga menjadi aspek penting dalam strategi pemasaran media sosial modern. Merek semakin menyadari bahwa konsumen tidak hanya ingin membeli produk tetapi juga ingin merasa terhubung dengan komunitas yang mendukung merek tersebut. Menurut Sprout Social, sebanyak 78% konsumen mengatakan bahwa mereka lebih cenderung mendukung merek yang memiliki nilai atau komunitas yang sejalan dengan mereka (Sprout Social, 2022). Oleh karena itu, banyak merek yang mulai membangun komunitas online melalui grup Facebook, Discord, atau bahkan fitur live stream, yang memungkinkan mereka berinteraksi langsung dengan audiens dan membangun loyalitas yang lebih kuat.
Secara keseluruhan, tantangan yang ada tidak berarti akhir bagi pemasaran media sosial; sebaliknya, tantangan ini mengharuskan merek untuk semakin adaptif, kreatif, dan terlibat dengan audiens mereka dengan cara yang lebih autentik dan personal. Pemasaran media sosial masih memiliki tempat yang kuat dalam lanskap pemasaran digital saat ini, terutama bagi merek yang siap untuk berinovasi dan mengikuti tren konsumen.
Kesimpulan
Dari hasil kajian mendalam ini, dapat disimpulkan bahwa pemasaran media sosial belum benar-benar "mati," melainkan sedang mengalami transformasi yang signifikan. Artikel ini menyoroti bahwa sejumlah tantangan, peluang, dan pergeseran dalam perilaku konsumen telah mengubah lanskap pemasaran media sosial secara mendalam. Beberapa faktor utama yang menjadi penggerak perubahan ini mencakup perkembangan algoritma, kenaikan biaya iklan, pergeseran preferensi konsumen, dan kebangkitan platform alternatif di luar media sosial tradisional.
Pemasaran media sosial tidak berada di ujung kematiannya, melainkan berada dalam fase transisi yang memaksa merek untuk mengubah pendekatan mereka. Dengan adanya perubahan algoritma, pergeseran perilaku konsumen, dan munculnya platform alternatif, pemasaran media sosial membutuhkan strategi baru yang lebih autentik, personal, dan berbasis komunitas. Merek yang mampu mengintegrasikan inovasi dan adaptasi dengan tuntutan konsumen modern akan menemukan bahwa media sosial masih merupakan saluran yang kuat dan relevan dalam lanskap pemasaran digital saat ini. Dengan kata lain, pemasaran media sosial tetap hidup dan berkembang, tetapi kesuksesannya kini bergantung pada kemampuan merek untuk mengadopsi pendekatan yang lebih kreatif, terlibat, dan autentik.
Sumber rujukan
Campaign Monitor. (2023). The Ultimate Guide to Email Marketing Benchmarks. Retrieved from Campaign Monitor.
DataReportal. (2022). Global Social Media Statistics. Retrieved from DataReportal.
Edison Research. (2023). Podcast Consumer Research. Retrieved from Edison Research.
eMarketer. (2022). Facebook CPC Increase Report. Retrieved from eMarketer.
GlobalWebIndex. (2022). User Preferences for TikTok Content. Retrieved from GlobalWebIndex.
HubSpot. (2023). Video Content Trends: Why Consumers Prefer Short-Form Videos. Retrieved from HubSpot.
Hootsuite. (2022). 2022 Social Media Trends. Retrieved from Hootsuite.
Influencer Marketing Hub. (2023). The Power of Micro-Influencers in Digital Marketing. Retrieved from Influencer Marketing Hub.
Sprout Social. (2022). Social Media and Consumer Behavior Study. Retrieved from Sprout Social.
Statista. (2023). Global Social Media Advertising Revenue. Retrieved from Statista.
Edelman Trust Barometer. (2023). Trust and Consumer Expectations Study. Retrieved from Edelman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H