"Kita ke musala, aja, yuk!" ucap Dewi sambil membalikkan badan menuju ke arah pintu. Endang ikut-ikutan membalikkan badan. Sementara aku masih memperhatikan mempelai wanita yang tengah berdiri memandang ke luar lewat jendela kaca yang gordennya sedikit tersingkap.
"Tidak perlu ke musala. Kita pulang bersama sekarang!"
Suara itu aku kenal betul. Kedua adikku spontan membalikkan badan lagi. Tanpa aba-aba keduanya setengah berlari mendekati wanita dengan pakain pengantin itu. Aku pun berjalan ke arah itu.
Sebelum kedua adikku sampai ke tempat berdiri wanita itu. Ia sudah membalikkan badan dan membuka cadar penutup wajahnya.
"Mbak ...!" teriak kami bertiga hampir bersamaan.
Aku tidak menyangka Mbak Antik, kakak tertuaku adalah wanita yang memakai pakain pengantin itu.
"Mengapa mbak Antik lakukan semua ini?" Â tanyaku terbata-bata.
Aku benar-benar dibuat bingung. Mbak Antik duduk di pelaminan sementara kami tidak diberi tahu sebelumnya. Proses lamaran, proses persiapan. Tahu-tahu mbak Antik sudah duduk di pelaminan.
Terus siapa lelaki pendampingnya itu. Kami tidak dikenalkan sebelumnya. Terus siapa wanita yang mendampinginya di atas pelaminan yang diduga banyak orang sebagai orang tuanya.
Dengan wajah serius ia dekatkan telunjuk jari kanan ke mulutnya. Itu pertanda kami diminta diam. Dewi dan Endang mengagumi gaun pengantin yang dikenakan mbak Antik.
Tok.Tok.Tok. Pintu kamar diketuk dari luar. Wanita yang tadi mengantar mempelai wanita masuk bersama wanita yang tadi mendampingi di pelaminan. Keduanya tersenyum setengah dipaksakan.