Pemeran Pengganti yang Baper
Berada di tengah-tengah memiliki kesempatan yang menyenangkan. Bukan hanya pada saat mengobrol, saat berjalan bersama, atau pada saat berada di ruang pertemuan pun sangat menyenangkan. Menjadi anak yang berada pada posisi tengah, membuat aku sangat terlindungi.
Ada dua kakak dan ada dua adik. Kedua kakakku perempuan. Demikian pula kedua adikku juga perempuan. Jadilah kami berlima perempuan semua. Jarak usia sangat dekat. Rata-rata usia kami terpaut satu setengah hingga dua tahun.
Berhubung saudara kami semua wanita, pakaian kami pun sering tertukar atau ditukar. Jika kakakku membeli pakain agak sempit, akulah yang beruntung. Tubuhku lebih kecil daripada mereka. Pakain itu pun diberikan padaku.
Apabila adikku membeli pakaian agak longgar, aku juga beruntung. Tubuhku lebih gemuk daripada adikku. Meskipun harus mengganti atau menukar dengan benda lain, aku tidak keberatan. Asal sama-sama ikhlas.
" Citra, kamu di mana?"
Sebuah pertanyaan dari ujung telepon kakakku tertua. Dari nada suaranya, aku dapat menilai, Mbak Antik dalam keadaan khawatir. Suaranya bergetar.
"Ada apa, mbak?" tanyaku datar.
"Kamu tidak ada acara pentingkah, besok?"
Pertanyaan mbak Antik masih terdengar dengan nada khawatir. Aku berpikir sejenak. Aku coba mengingat-ingat agendaku hari Sabtu besok. Tidak ada muncul gambaran catatan. Itu berarti hari Sabtu besok aku belum mempunyai agenda.
"Tidak ada, Mbak! Adakah perlu bantuan dariku?" tanyaku mencoba memberi ketenangan.
"Besok kamu gantikan tugasku sebagai Pembawa Acara, ya! Pukul sembilan pagi acaranya dimulai. Ada sopir yang akan jemput kamu. Sore ini akan dikirim pakaian yang harus kamu kenakan untuk acara besok itu. Bisa, khan?"
Sudah beberapa kali mbak Antik memintaku seperti itu. Jika ada job bersamaan pasti salah satunya diberikan kepadaku. Di antara saudara-saudara yang lain, akulah yang sering diminta untuk menggantikan tugas mbak Antik sebagai Pembawa Acara suatu event seperti acara peresmian gedung, acara rapat tingkat kabupaten, acara pernikahan, atau acara keluarga seperti acara ulang tahun dan khitanan.
"Acaranya apa, mbak?"
Terdengar bunyi tut ... tut ... tut ... Itu berarti sudah putus. Mbak Antik sudah memutus teleponnya. Buru-buru aku menulis pesan WA. Aku harus segera mengetahui acara apa yang besok harus aku pandu urut-urutannya.
Tidak berapa lama, mbak Antik mengirimkan foto daftar susunan acara. Aku pelototi baris demi baris rangkaian acara yang besok harus aku baca dengan nada yang sesuai dengan situasi.
Setelah memahami rangkaian acara yang harus aku baca besok, aku diam sesaat untuk membayangkan suasana yang akan kuhadapi esok. Bermacam-macam tamu dengan pakain bagus-bagus akan aku saksikan. Ketika mereka melintas di depanku, akan tercium aroma parfum yang semerbak mewangi. Ada tamu pasangan suami istri dengan batik yang sama. Ada rombongan karyawan dengan seragam kerja. Ada tamu remaja-remaja tanggung dengan dandanan kekinian.
Tanda pesan masuk menyala di HP-ku. Sesaat aku biarkan. Aku masih menikmati bayangan menjadi MC. Berdiri di depan para tamu yang mengagumi pasangan pengantin. Mereka duduk mengitari beberapa meja bundar. Sebagain masih asyik makan. Sebagian lain duduk santai menikmati alunan live musik.
Tanda pesan masuk menyala lagi di HP-ku. Dengan ogah-ogahan kuraih dan kubuka. Adikku Dewi kirim pesan singkat.
"Sabtu siang besok makan siang ke acara pengantin, yuk! Saya dapat undangan di Gedung Graha Pemuda."
Pesan kedua aku baca. Isi kalimatnya hampir sama dengan pesan pertama. Pesan kedua tersebut berasal dari adik bungsu, Endang.
Untuk beberapa saat aku terdiam. Tiga saudaraku menunjuk tempat yang sama untuk kegiatan hari Sabtu. Mbak Antik memintaku untuk menggantikan menjadi MC pada acara resepsi pernikahan di Gedung Graha Pemuda. Adikku Dewi dan Endang mengajak datang sebagai tamu. Buru-buru aku buka lagi pesan WA dari Mbak Antik. Aku belum membaca dengan cermat nama pasangan pengantin yang akan melaksanakan resepsi esok. Baru saja kubaca sekilas nama pengantin itu.
 Tok.Tok.Tok. Pintu kamarku diketuk dari luar. Perlahan-lahan aku melangkah menuju pintu. Daun pintu kubuka perlahan. Wajah adikku, Dewi, pertama-tama yang aku lihat. Di belakangnya, adik bungsu, Endang.
"Bagaimana kalau kita berangkat bertiga?" tutur Endang menyeruak masuk ke kamarku.
"Tapi saya jam dua piket. Kita berangkat agak pagi, ya!" ucap Dewi mengikuti kakaknya masuk ke kamarku.
"Jam dua aku baru pulang kerja. Sampai rumah ini jam setengah tiga," ucap Endang sambil berjalan menuju kasurku.
"E ... jangan duduk di kasur. Barusan aku rapikan!" ucapku melarang Endang.
"Uh, " keluh Endang sambil membalikkan badan. Ia beralih haluan menuju kursi dekat meja rias.
"Terus, Mbak Citra, bisa ke pengantin jam berapa?" tanya Dewi sambil melirik ke arahku.
Endang  menatapku yang sedang duduk santai di sudut ruangan dekat jendela. Tempat itu adalah tempat favoritku. Aku sering berlama-lama duduk di situ sambil memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di jalan samping rumahku.
"Kalau aku mulai pagi sudah siap di TKP!" ucapku sambil memandang kedua adikku bergantian.
Kulihat keduanya agak bingung. Belum memahami apa yang baru saja aku ucapkan. Setelah tersenyum sebentar, aku berdiri kemudian melangkah menuju cermin.
"Besok aku akan menjadi salah satu pusat perhatian para tamu, selain kedua mempelai."
"Maksudnya?" tanya Endang penasaran.
"Aku akan menggantikan tugas Mbak Antik!" tuturku dengan bangga.
"O ... !" seru kedua adikku hampir bersamaan.
===
Hari Sabtu yang ceria kusambut dengan senyum. Sebelum pukul delapan pagi, aku sudah berpakaian rapi. Kiriman gaun dan sepatu kemarin sore tidak mengecewakan. Ukurannya sangat pas. Warna gaun, sepatu dan tas mungil sangat serasi. Aku menyukainya meskipun semuanya hanya barang pinjaman. Aku harus mengembalikan setelah acara pesta usai.
Pukul 08.30 sopir datang menjemputku. Bergegas aku panggil Dewi dan Endang untuk pergi bersama. Endang sudah izin tidak pergi ke tempat kerjanya sedangkan Dewi baru pukul dua siang masuk kerja.
Sebelum aku memutuskan mengajak kedua adikku pergi bersama, aku sudah meminta izin kepada nyonya yang punya hajatan. Ia sangat senang karena akan lebih menyemarakkan suasana. Bahkan ia mengizinkan jika ada lebih banyak wanita yang ingin ikut hadir. Resepsi pernikahan ini merupakan resepsi pernikahan anak perempuan pertama bagi keluarga itu. Â
Tiba di gedung Graha Pemuda, aku disambut langsung oleh ibu mempelai wanita. Aku beserta kedua adikku diminta beristirahat sebentar di sebuah kamar yang sudah disiapkan untuk kami. Kamarnya nomor 215, satu lantai dengan ruangan tempat resepsi.
Oleh ibu mempelai, aku diberi tahu bahwa acara baru akan dimulai pukul 10.00. Dengan begitu, aku dapat beristirahat sebentar dan  mempersiapkan segala sesuatunya. Dewi dan Endang begitu gembira karena dapat nonton TV di kamar sambil menunggu acara dimulai.
Ketika aku sedang membetulkan riasan di wajahku, ada pesan masuk di Hp-ku. Dewi aku minta untuk membaca pesan itu.
"Cit, kamu ke gedung Graha Pemuda sama siapa? Kalau belum ada tumpangan ikut mobilku saja. Suamiku sendiri yang nyetir."
Pesan itu datang dari kakakku nomor dua, Mbak Bety. Dialah satu-satunya di antara kami berlima yang sudah bersuami. Kakak pertamaku, Mbak Antik belum menikah. Demkian pula aku dan kedua adikku. Masih single.
"Dijawab apa, mbak?" tanya Dewi sambil berjalan mendekatiku.
"Biar saya saja yang jawab," tutur Endang sambil meminta HP yang dipegang Dewi.
"Tulis saja apa adanya," ucapku sambil membetulkan bulu mata palsu.
Tidak sampai tiga menit, Endang sudah selesai menuliskan jawabannya. Sebelum dikirim, ia memintaku untuk membaca terlebih dahulu. Aku tersenyum setelah membaca tulisan itu. Dewi penasaran ingin tahu. Ia baca perlahan tulisan di HP-ku.
Kami bertiga sudah di kamar 215 Gedung Graha Pemuda. Tamu istimewa harus datang lebih awal.
Pukul 09.45 aku sudah dijemput oleh seorang panitia resepsi untuk menuju ruang acara. Kedua adikku segera aku ajak mendampingi. Mereka sangat gembira. Senyumnya selalu tersungging.
Beberapa tamu undangan kulihat sudah berdatangan. Umumnya, mereka suami istri yang aku dapat pastikan adalah rekan-rekan dari orang tua mempelai. Biasanya seperti itu. Rasa ikut berbahagia ditunjukkan dengan kehadiran saat resepsi diadakan.
Satu demi satu rangkaian acara dapat aku pandu dengan lancar. Dalam resepsi itu aku melihat ada dua keanehan atau kejanggalan yang belum pernah aku lihat pada acara-acara resepsi sebelumnya.
Kejanggalan pertama, aku perhatikan ibu dari mempelai wanita sering melamun. Pandangannya hampa. Beberapa kali ia disenggol suaminya karena ada tamu yang mendekat untuk memberikan ucapan selamat.
Kejanggalan kedua, mempelai wanita duduknya agak menjauh dari mempelai pria. Dandanan mempelai wanita juga sangat tertutup. Ia memakai cadar. Hidung, mulut, dan pipinya tidak terlihat. Kedua matanya saja yang tampak.
Kedua adikku yang duduk tak jauh dari tempatku bertugas terlihat sangat menikmati hidangan yang disajikan. Sesekali mereka mempersilakan tamu yang baru datang untuk menempati kursi yang masih kosong.
Pada pukul 12.00 aku menyampaikan informasi bahwa kedua mempelai akan meninggalkan pelaminan untuk melaksanakan ibadah dan istirahat.
"Untuk mempelai pria akan beristirahat di kamar nomor 213 dan mempelai wanita beristirahat di kamar nomor 215," begitu aku baca dari teks.
Usai membaca kata terakhir, aku kaget. Kamar nomor 215 adalah kamar yang tadi kami gunakan untuk singgah sebelum acara dimulai. Buru-buru aku beri tahu kedua adikku untuk menuju ke kamar itu pula. Kunci kamar tadi dipegang oleh Dewi.
"Mengapa mempelai wanita diminta menuju ke kamar 215? Mengapa tidak satu kamar dengan mempelai pria?"
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam kepalaku. Dengan langkah agak cepat, aku menyusul kedua adikku yang mengikuti mempelai wanita menuju kamar 215. Mempelai wanita berjalan tidak didampingi orang tuanya. Ada seorang wanita seumuranku yang menuntunnya ke kamar 215.
Setelah Dewi membuka pintu kamar, mempelai itu masuk dengan cepat-cepat. Kedua adikku menyusul dengan ragu tetapi wanita yang menuntunnya tadi mempersilakan dengan ramah. Aku pun tidak ketinggalan untuk masuk karena aku merasa akan buang air kecil.
Pintu kamar segera kami tutup. Aku buru-buru ke kamar kecil. Kedua adikku masih berdiri dekat lemari kamar. Mempelai itu berdiri menghadap kaca jendela. Dengan begitu, posisinya membelakangi kedua adikku.
"Silakan kalau mau beristirahat!"
Kudengar suara Dewi sebelum aku menutup pintu kamar kecil. Tidak ada jawaban. Sebentar saja aku di kamar kecil. Kedua adikku masih berdiri di dekat lemari. Ada sesuatu yang kurasakan kaku.
"Kalian tidak salat?" tanyaku memecah kesunyian.
"Kita ke musala, aja, yuk!" ucap Dewi sambil membalikkan badan menuju ke arah pintu. Endang ikut-ikutan membalikkan badan. Sementara aku masih memperhatikan mempelai wanita yang tengah berdiri memandang ke luar lewat jendela kaca yang gordennya sedikit tersingkap.
"Tidak perlu ke musala. Kita pulang bersama sekarang!"
Suara itu aku kenal betul. Kedua adikku spontan membalikkan badan lagi. Tanpa aba-aba keduanya setengah berlari mendekati wanita dengan pakain pengantin itu. Aku pun berjalan ke arah itu.
Sebelum kedua adikku sampai ke tempat berdiri wanita itu. Ia sudah membalikkan badan dan membuka cadar penutup wajahnya.
"Mbak ...!" teriak kami bertiga hampir bersamaan.
Aku tidak menyangka Mbak Antik, kakak tertuaku adalah wanita yang memakai pakain pengantin itu.
"Mengapa mbak Antik lakukan semua ini?" Â tanyaku terbata-bata.
Aku benar-benar dibuat bingung. Mbak Antik duduk di pelaminan sementara kami tidak diberi tahu sebelumnya. Proses lamaran, proses persiapan. Tahu-tahu mbak Antik sudah duduk di pelaminan.
Terus siapa lelaki pendampingnya itu. Kami tidak dikenalkan sebelumnya. Terus siapa wanita yang mendampinginya di atas pelaminan yang diduga banyak orang sebagai orang tuanya.
Dengan wajah serius ia dekatkan telunjuk jari kanan ke mulutnya. Itu pertanda kami diminta diam. Dewi dan Endang mengagumi gaun pengantin yang dikenakan mbak Antik.
Tok.Tok.Tok. Pintu kamar diketuk dari luar. Wanita yang tadi mengantar mempelai wanita masuk bersama wanita yang tadi mendampingi di pelaminan. Keduanya tersenyum setengah dipaksakan.
"MBak Antik, kami mengucapkan terima kasih. Acara sudah selesai dan anak perempuan saya sudah agak baik kondisinya. Ia sudah dapat tersenyum bersama pengantin prianya," tutur ibu itu dengan tenang.
"Bagaimana ini ceritanya?" tanya Endang dalam kebingungan.
"Begini," sahut wanita yang usianya sebaya denganku, "tiga hari menjelang acara resepsi tadi, calon mempelai wanita, putri dari ibu ini jatuh sakit. Padahal rencana resepsi sudah matang. Kami harus tetap melaksanakan acara resepsi. Maka dicarilah wanita pengganti untuk acara resepsi sebagai mempelai wanita. Kebetulan dari postur tubuh Mbak Antik sangat persis dengan mempelai yang asli, maka diputuskan untuk meminjam mbak Antik sebagai pengganti mempelai wanita dalam resepsi saja."
Aku terduduk kaget sekaligus bersyukur. Kaget karena belum ada pemberitahuan sebelumnya. Bersyukur karena hal yang dilakukan Mbak Antik adalah membantu menyelamatkan acara resepsi.
Pelan-pelan kulihat Mbak Antik melepas satu per satu hiasan di tubuhnya. Kulihat ada air bening menggenang di pelupuk matanya. Aku mendekatinya kemudian memeluknya dengan penuh kasih sayang.
"Suatu saat Mbak Antik akan jadi pengantin yang sesungguhnya!"
Penajam, 20 Maret 2018
(Diedit 24 April 2024)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H