Kedua adikku yang duduk tak jauh dari tempatku bertugas terlihat sangat menikmati hidangan yang disajikan. Sesekali mereka mempersilakan tamu yang baru datang untuk menempati kursi yang masih kosong.
Pada pukul 12.00 aku menyampaikan informasi bahwa kedua mempelai akan meninggalkan pelaminan untuk melaksanakan ibadah dan istirahat.
"Untuk mempelai pria akan beristirahat di kamar nomor 213 dan mempelai wanita beristirahat di kamar nomor 215," begitu aku baca dari teks.
Usai membaca kata terakhir, aku kaget. Kamar nomor 215 adalah kamar yang tadi kami gunakan untuk singgah sebelum acara dimulai. Buru-buru aku beri tahu kedua adikku untuk menuju ke kamar itu pula. Kunci kamar tadi dipegang oleh Dewi.
"Mengapa mempelai wanita diminta menuju ke kamar 215? Mengapa tidak satu kamar dengan mempelai pria?"
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam kepalaku. Dengan langkah agak cepat, aku menyusul kedua adikku yang mengikuti mempelai wanita menuju kamar 215. Mempelai wanita berjalan tidak didampingi orang tuanya. Ada seorang wanita seumuranku yang menuntunnya ke kamar 215.
Setelah Dewi membuka pintu kamar, mempelai itu masuk dengan cepat-cepat. Kedua adikku menyusul dengan ragu tetapi wanita yang menuntunnya tadi mempersilakan dengan ramah. Aku pun tidak ketinggalan untuk masuk karena aku merasa akan buang air kecil.
Pintu kamar segera kami tutup. Aku buru-buru ke kamar kecil. Kedua adikku masih berdiri dekat lemari kamar. Mempelai itu berdiri menghadap kaca jendela. Dengan begitu, posisinya membelakangi kedua adikku.
"Silakan kalau mau beristirahat!"
Kudengar suara Dewi sebelum aku menutup pintu kamar kecil. Tidak ada jawaban. Sebentar saja aku di kamar kecil. Kedua adikku masih berdiri di dekat lemari. Ada sesuatu yang kurasakan kaku.
"Kalian tidak salat?" tanyaku memecah kesunyian.