SAYAP MALAIKAT.
Terkadang manusia hanya mampu untuk membuat dimensi-dimensi kehidupan menjadi buah syurga yang manis dan mewarnai riuhnya bahtera hati. Tetapi manusia lupa akan hakikat nya sendiri yang hanya sebatas hamba, mempunyai kekurangan yang berlebih.
Begitu juga Ritha, seorang remaja putri yang menimba ilmu di salah satu SMA di desanya, bersama sang sang sahabat karib Mitha, dan Retha. Selama hampir 6 tahun biduk persahabatan ketiganya terlihat kokok bak gugusan batu karang yang tak tergoyah meskipun badai melanda, bagaikan bangunan yang tahan dari gempa. Namun itu dulu, sebelum prahara datangmenyemain di sela persahabatan ketiganya.
"Bagaimana hasil TO kedua ini, Tha?" tanya Mhita pada Retha, sang karib, sambil membetulkan letak tas yang di pakainya
"Tidak lulus", setengah berbisik Retha sambil menjauh dari papan pengumuman.
"Aku juga tidak lulus", Mitha pun mendekati sosok Ritha yang sedari tadi mematung tepat di depan papan pengumuman, "Selamat ya, Ritha, kamu lulus di TO kedua ini!", ucap Mitha sinis kemudian menyusul Retha menjauh dari kerumunan siswa-siswi lainya
       Ritha hanya diam mematung, melihat kedua sahabatnya, tetapnya _mungkin mantan sahabat_berjalan gontai, dan Ritha pun tahu kalau kedua sahabatnya itu sangat benci padanya, tanpa Ritha tau sebab musababnya, "ah, mungkin ini hanya perasaanku saja", gumamnya sebagai penghibur diri yang sebenarnya tidak terlalu berpegaruh pada suasana hatinya kali ini.
       ..........................................................
       "Sudahlah, Retha, jangan keluarkan airmatamu untuk sesuatu yang belum sepenuhnya sempurna?".
       "Aku ingin kuliah, Mitha", rentetan air di mata Retha sukses menjadi gelombang airmata yang tiada terperi dalam dekapan dada sahabatnya, "mengapa semua ini terjadi padaku, aku tidak mungkin lulus seleksi karena persyaratan yang aku ajukan kurang", isak Retha semakin menjadi.
       "Setiap peristiwa tentu mempunyai pesan tersirat, Tha", lirih mitha berucap menahan sesak di dada, "yakinlah, Retha, kamu harus optimis"
       "Aku di sini ada untukmu, Retha, percayalah", Mitha yang sedari tadi sibuk mengusap lelehan air di pipinya mencoba menenangkan sahabatnya itu, "sampai kapanpun kita akan berjuang bersama-sama "
       "Iya, Mith, makasih"
       "Iya sudah, sekarang tidak boleh menangis lagi, harus tersenyum, kita berdua akan buktikan pada dunia kalau kita bias kuliah", tersenyum Mitha sambil memandang mata sahabatnya, walaupun senyum kegetirah masih bergelayut di jiwanya, "kita berdua pasti akan kuliah", bisik Mitha yang sukses menjadikan keduanya berdekapan dalam tangis yang menggelombang.
       Persahabatan seharusnya selalu terselip rasa empati, tetapi persahabatan ketiganya seakan terterjang badai yang datang silih berganti. Mitha, dengan segala tingkah polah yang unik dan mampu membuat suasana berubah menjadi ceria, Retha dengan aksen penurutnya, dan Ritha dengan sifat --ngeyel-nya yang kadang membuat suasana sedikit lebih tegang dari biasanya, membuat ketiganya dahulu kompak dari hari ke hari. Namun, beberapa hari ini, Mitha dan Retha terlihat tidak biasanya dari diri Ritha, sahabat mereka. Ritha mulai mengingat 2-5 bulan lalu ada perubahan yang cukup drastis pada Mitha dan Retha,setiap datang ke sekolah, mereka selalu berusaha menjauh, dan di dalam kelas seolah tidak kenal lagi denganya. Mereka berdua selalu tertawa, tetapi langsung pergi pabila Ritha datang. Kalau Ritha tanya oleh Mitha dan Retha di jawab, tidak ada apa-apa, hanya itu, entahlah. Kini Ritha tau, bahwa mereka berdua sangat membencinya.
............................................................................................
       "Kamu sudah gila!"
       "Tidak, Mbak, aku sudah berfikir sekian lama, aku sudah betekat", pekik Ritha di hadapan kakak semata wayangnya.
       "Tetapi itu semua akan membuatmu menderita, Dik"
       "Tidak, Mbak", lirih Ritha bergumam, "aku ikhlas untuk membuat mereka tersenyum"
       "Bukankan kebaikan itu akan menjadi kebaikan yang sesungguhnya jika tidak menjadi mudlorot bagi salah satunya, Dik", sang kakak mencoba memberi argumentasi untuk menggoyahkan pendirian adiknya itu, "akan lebih indah jika kebaikan di berikan melalui jalan yang baik pula"
       "Iya, Mbak", gumam Ritha, "tetapi suatu perbuatan itu akan ikhlas bila tangan kanan member sedang tangan kiri tidak mengetahui?"
       "Itu kalau cara berfikir manusia mengacu pada titik sempit, Dik", teduh mata sang kakak menyakinkan Ritha, "dari 10 kebaikan itu, jadikan satu di antaranya di lihat oleh orang lain, sebagai syi'ar, Dik"
        "biarkan aku berbuat sesuatu untuk sahabat-sahabat terbaikku".
....................................................................................................
       Hingar bingarnya dunia sudah tergantikan dengan berguguranya dedaunan nan kuning di ujung pekarangan sekolah, sengatan sinar matahari telah mampu melenyapkan titik-titik embun di ujung dedaunan. Angin sepoi yang teramat din anti sebagian mahluk sudah tidak terasa lagi menrayu kulit nan lembut, saat itulah seakan dunia bak beraroma pahit menyengat dan merasuk dalam kehidupan Ritha, yang sedari tadi hanya mampu duduk termenung melihat tingkah polah kedua sahabatnya, yah, dia hanya mampu menatap dalam senyap. Ingin rasanya kakiya bergerak mendekat, namun dia tidak akan sanggup untuk menerima cercaan yang akan keluardari kedua bibir sahabatnya itu, "Tuhan, aku ingin bercanda seperti dulu lagi", desah Ritha yang sudah tidak mampu lagi membendung rintik hujan di kedua matanya, "akankah aku tidak bisa menikmati kebersamaan dengan mereka walaupun sekejap?"
       "Woy...minggir dong, gantian!", teriak Mitha di antara riuh rendahnya suara siswa yang melihat pengumuman kelulusan masuk Perguruan Tinggi, "minggir, minggir, minggir!", tangan Mitha ikut menyibak kerumunan para siswa.
       "Hah, Sial!"
       "Ada apa, Mitha?", sergah Retha yang ekor matanya sedari tadi sibuk mencari namanya di papan pengumuman.
       "Aku lulus, tapi bukan di Perguruan Tinggi pilihan pertama", gerutunya, "kamu sendiri bagaimana, Tha?"
       "Belum ketemu juga namaku, Mith"inya
       "Sini, aku bantu mencarinya", Mitha yang tad menggerutu malah ikut-ikutan memelototi satu persatu barisab nama di papan pengumuman, "ketemu, ini!!", teriak Mitha bak suara petirdi telinga Retha, sambil ujung jarinya enunjuk pada barisan hampir terahir di papan pengumuman.
       "Tapi....", menggantung suara Mitha
       "Tapi apa, Mith?", sergah Retha yang langsung saja ekor matanya menuju pada barisan pengumuman yang di tunjuk Mitha, "ya Allah...", lirih suara Retha yang kemudian di susul oleh isak tangis yang merintik.
       "Sabar ya, Tha", sergah Mitha yang langsung menarik keluar Retha dari kerumunan siswa, "aku akan membantumu"
       "Apa lagi ini, Mith?, mengapa seperti ini terus jalan hidupku?, aku belum bias masuk Perguruan Tinggi karna syarat yang kurang, hanya karena beberapa lembar sertifikat yang tidak bias aku penuhi menjadikan aku terganjal, Mith", lirih suara Retha di antara sesenggukan tangisnya.
       "kamu masih punya waktu, Tha, aku akan........", terhenti ucapan Mitha saat ekor matanya menemukan sesosok orang yang sangat di bencinya sedang duduk bersandar di dinding ujung kelas, "Ritha....", bisiknya, yang kemudian kakinya melangkah mendekat di ikuti oleh Retha.
 "kamu puas!", bentak Retha tepat di hadapan muka Ritha, "puas melihatku tidak masuk Perguruan Tinggi?hah!", terisak Retha, "aku memang tidak sehebat kamu, aku memang tidak bias bersaing denganmu, kamu memang hebat, hebat!", isak Retha berubah menjadi hujan deras di kedua pipinya, langkahnya gontai meninggalkan sosok yang sebelumnya begitu dekat denganya, yang sekarang berubah menjadi sosok yang paling dia benci.
Di sudut kelas, bahu Ritha terguncang menahan sesenggukan, air matanya tiada henti menetes dari kedua sudut matanya, hatinya perih saat mendengar tutur kata Retha, sang sahabat, yang begitu tajam menusuk relung hatinya, "apa salahku?", desis Ritha di antara isak tangisnya. Dunia seakan menjadi gelap, kabut menyelimuti kalbu yang selama ini telah temaran oleh pijar fatamorgana dinasti persahabatan.
...................................................................................
3 Bulan kemudian..
       "Hari ini sangat melelahkan!"
       "Kakak tingkat terlalu bengis, sampai aku harus merangkak di antara semak-semak"
       "Hahahahaha, enak dong", seloroh Retha saat keduanya bercengkerama setelah pulang dari kegiatan kampus.
       "Enak bangetttttt, hahahahaha", berbisik Mitha, di telinga sahabatnya itu, yang sukses mengundang tawa di bibir keduanya.
       Yah, Retha dan Mitha sukses masuk Perguruan Tinggi favorit di kota tempat tinggalnya, lelah yangmereka rasakan seolah telah terbayarsaay badan mereka terselimuti oleh jas almamater yangdi bagian sakunya tertempel logo kampus. Tawa gembira, suka-cita, berderai airmata meraka berdua susuri dalam jangkauan kasih sahabat.
       Di saat Retha dan Mitha tengah asyik menikmati es campur di bawah pohon cemara di kampus itu, seseorang yangmereka kenali mendekat, "Fika?", desis mereka berbarengan.
       "Mbak, ada titipan nih", uangkap Fika-adik kelas sewaktu SMA- dengan mengeluarkan benda berbentuk buku dari dalam tasnya.
       "Apa ini, Fik?", Tanya Mitha dengan dahi mengernyit.
       "buka saja, Mbak"
       "Oh", jawab Retha dan Mitha kompak.
       "Aku pergi dulu, Mbak, masih ada kegiatan di rumah", ucap Fika seraya meninggalka keduanya yang masih terbengong.
       "Kita buka sekarang?", ungkap Retha sembari meirik mata Mitha meminta persetujuan, Mitha mengangguk.
       "UNTUK KEDUA SAHABAT SEJATIKU, by: RITHA"
       "Ritha!", terhenyak keduanya secara bersamaan.
       "Buka, Mith", sergah Retha seraya memberi isyarat untuk terus membuka halaman demi halaman dari buku diary itu.
       Tangan Mitha secara perlahan membuka lembar demi lembar buku yangsudah kelihatan menguning tersebut.
"Retha, Mitha, sahabatku....Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama
kali ke sekolah, akan membawaku pada persahabatan sejatiku. Aku begitu kagum pada kalian berdua yang yang supel dan pintar. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku sayang kalian berdua, dan begitu posesif ingin menjadi sahabat terbaik kalian. Aku
sering marah, ketika kalian tidak menghiraukanku, dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa di atas angin, ketika kalian hanya diam di hadapanku... Aku pikir, aku si putrid jutek yang diinginkan banyak orang
.....
Ternyata aku keliru.... aku menyadarinya tepat sehari sebelum persahabatan kita pecah. Ketika
aku membanting hadiah jam tangan dari kalian.
Aku melihat mata kalian begitu terluka, ketika kalian berkata, "kenapa, Ritha? Kenapa kamu
mesti marah? Kami membeli itu untukmu, dan aku kami memilihkan khusus untukmu?"
Aku tidak perduli,dan berlalu dari hadapan kalian dengan sombongnya.
Sekarang aku menyesal, meminta kalian memaafkanku. kalian tidak pernah bahagia
bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan kalian berdua. Aku bukanlah sahabat yang sempurna yang kalian inginkan.
"Mantan sahabatmu, Ritha"
Di lembar yang lain,
".........di saat aku tau Retha terganjal untuk kuliah hanya karena kurangnya salah satu syarat, sertifikat, hatiku perih, terluka, dan menangis......"
Di lembar yang kesekian,
".......Aku bersumpah, akan membentu kamu sahabatku, Retha. Aku telah berubah, Mitha, Retha. Kalian lihat kan, aku tidak lagi marah2 pada kalian, aku tidak lagi suka membanting2 barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar selalu tersenyum, dan selalu ingin membuat kalian tertawa. Aku tidak lagi cemberut, dan selalau belajar seperti yang selalu kalian bilang padaku. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan siswa lain. Aku selalu tersenyum menyambut kalian berdua di depan gerbang sekolah. Dan aku selalu sms kalian, untuk menanyakan sudahkah sahabatku ini belajar malam ini? Aku ingin sekali menengok kalian jika kalian sakit, aku tidak kesal saat kalian tidak mau aku berikan senyum, aku menunggui kalian sampai kalian datang di sekolah, Meskipun belum terbit juga, sinar persahabatan itu dari mata kalian berdua, aku akan tetap berusaha dan menantinya........"
Mitha menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya...
dipeluknya Retha yang tersedu-sedu disampingnya.
Di lembar terakhir,
"..............Hari ini adalah hari terahir seluruh siswa yang akan menyerahkan berkas susulan untuk masuk Perguruan Tinggi. Beberapa hari  lalu Retha menangis karena tidak cukup berkas, tapi aku akan membuatmu tersenyum wahai sahabatku, karena hari ini aku akan serahkan berkas-berkasku atas namamu, supaya engkau bias masuk perguruan tinggi yang engkau idam-idamkan. Aku sudah berjanji akan membantumu, Retha Aku ikhlas untuk kuliah di luar kota demi melihat dirimu tersenyum, Retha. Aku serahkan semua berkas yang aku pnya pada panitia penerimaan mahasiswa baru, atas namau, bukan atas namaku, karena aku sayang kamu, sahabatku.
Saat aku tiba di sekolah pagi-pagi, aku melihat sinar keceriaan di matamu. Engkau memeluk Mitha, dan tertawa lepas. Tahukah engkau sahabatku, selama hampir 3 tahun aku mengenalmu, baru kali ini aku melihat sinar keceriaan itu dari matamu, aku tersenyum, ikut merasakan kebahagiaanmu, walaupun diri ini tau kalau di hatimu sudah tidak ada lagi nama sahabat seperti diriku........."
Retha, Mitha...maafkan semua kelakuanku. Retha....hanya ini yang bisa aku lakukan untukmu wahai sahabatku, selamat bergembira di kampus barumu ya Retha, aku di sini akan ikut tersenyum untukmu. Jagalah titipanku untukmu, aku sayang kalian berdua...
"Yang akan selalu tersenyum untuk kalian, RITHA"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H