"Tapi apa, Mith?", sergah Retha yang langsung saja ekor matanya menuju pada barisan pengumuman yang di tunjuk Mitha, "ya Allah...", lirih suara Retha yang kemudian di susul oleh isak tangis yang merintik.
       "Sabar ya, Tha", sergah Mitha yang langsung menarik keluar Retha dari kerumunan siswa, "aku akan membantumu"
       "Apa lagi ini, Mith?, mengapa seperti ini terus jalan hidupku?, aku belum bias masuk Perguruan Tinggi karna syarat yang kurang, hanya karena beberapa lembar sertifikat yang tidak bias aku penuhi menjadikan aku terganjal, Mith", lirih suara Retha di antara sesenggukan tangisnya.
       "kamu masih punya waktu, Tha, aku akan........", terhenti ucapan Mitha saat ekor matanya menemukan sesosok orang yang sangat di bencinya sedang duduk bersandar di dinding ujung kelas, "Ritha....", bisiknya, yang kemudian kakinya melangkah mendekat di ikuti oleh Retha.
 "kamu puas!", bentak Retha tepat di hadapan muka Ritha, "puas melihatku tidak masuk Perguruan Tinggi?hah!", terisak Retha, "aku memang tidak sehebat kamu, aku memang tidak bias bersaing denganmu, kamu memang hebat, hebat!", isak Retha berubah menjadi hujan deras di kedua pipinya, langkahnya gontai meninggalkan sosok yang sebelumnya begitu dekat denganya, yang sekarang berubah menjadi sosok yang paling dia benci.
Di sudut kelas, bahu Ritha terguncang menahan sesenggukan, air matanya tiada henti menetes dari kedua sudut matanya, hatinya perih saat mendengar tutur kata Retha, sang sahabat, yang begitu tajam menusuk relung hatinya, "apa salahku?", desis Ritha di antara isak tangisnya. Dunia seakan menjadi gelap, kabut menyelimuti kalbu yang selama ini telah temaran oleh pijar fatamorgana dinasti persahabatan.
...................................................................................
3 Bulan kemudian..
       "Hari ini sangat melelahkan!"
       "Kakak tingkat terlalu bengis, sampai aku harus merangkak di antara semak-semak"
       "Hahahahaha, enak dong", seloroh Retha saat keduanya bercengkerama setelah pulang dari kegiatan kampus.