Mohon tunggu...
Suhardi Somomoeljono
Suhardi Somomoeljono Mohon Tunggu... Advokat -

Suhardi Somomoeljono Channel

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Keterangan Ahli Tentang Frasa Organisasi Advokat dalam Perspektif UU Advokat No.18.Tahun.2003

4 Desember 2018   15:24 Diperbarui: 4 Desember 2018   15:38 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dr. Suhardi Somomoeljono,S.H., M.H.

Praktisi Hukum dan Akademisi Dosen Pascasarjana Universitas Matla'ul Anwar Banten

Pakar Otonomi Khusus Tanah Papua Kemenkopolhukam RI 2018

Narasumber/Tim Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

Assalamualaikum Wr.Wb.

Kepada Yth,

Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI Pemeriksa Perkara Permohonan Nomor 35/PPU-XIV/2018 Perihal Pengujian UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Hadirin pengunjung sidang yang saya hormati.

Prolog (1)

Terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih kepada Majelis Hakim yang telah memberikan kesempatan kepada Ahli untuk menyampaikan pendapat terkait dengan Perkara Permohonan Nomor 35/PPU-XIV/2018 Perihal Pengujian UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kehadiran saya selaku Ahli atas permintaan dari Pihak Terkait langsung yaitu Organisasi Advokat Federasi Advokat Republik Indonesia ("FERARI") yang disampaikan kepada Ahli khususnya terkait persoalan mengenai Frasa Organisasi Advokat dalam Perspektif UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas pertanyaan tersebut Ahli akan menguraikan secara tertulis setidak-tidaknya dalam 3 (tiga) perspektif yaitu sejarah (historika) sebelum lahirnya UU Advokat, dinamika setelah lahirnya UU Advokat serta implimentasi idealita UU Advokat dalam cita-cita catur wangsa. Dengan pendekatan tersebut Ahli berharap Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI dapat mengambil keputusan dalam rangka memperkuat argumentasi hukum, sehingga dalam pertimbangan hukum yang akan digunakan untuk menjatuhkan suatu putusan benar-benar didasarkan kepada bukti-bukti yang akurat dan memiliki derajat pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademik serta baik secara moral maupun hukum.

Keterangan Ahli ini bermaksud untuk memberikan pendapat berdasarkan keahlian dalam dunia profesi advokat sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi meluruskan sejarah organisasi profesi advokat dalam perspektif UU Advokat No. 18 Tahun 2003 secara konstitusional disampaikan sebagai Ahli yang dimohonkan oleh Pihak Terkait Tim Advokasi FERARI dalam perkara dengan register nomor 35/PPU-XIV/2018 perihal Pengujian UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Keterangan Ahli disampaikan berdasarkan pendekatan historis, sosiologis dan juridis. Dengan pendekatan tersebut diharapkan dapat meluruskan sejarah sesuai dengan dinamika perkembangan organisasi profesi advokat yang terjadi di Indonesia. Generasi muda advokat berhak untuk mengetauhi secara jujur apa adanya tanpa rekayasa sehingga nantinya dapat digunakan sebagai bahan analisa secara mendalam yang bersifat akademis. Jangan sampai terulang kembali terjadinya kesalahpahaman (misperception), khususnya terhadap kegagalan pembentukan wadah nasional organisasi profesi advokat Indonesia. Jika di Jepang, Amerika, Inggris dan India semua sudah memiliki wadah organisasi profesi advokat nasional, mengapa Indonesia dengan berbagai dalih masih selalu gagal dalam mewujudkannya, apa sesungguhnya secara rasional yang menyebabkan kegagalan tersebut. Keterangan Ahli ini diharapkan dapat menjembatani secara nalar akal sehat (common sense), dengan demikian diharapkan dapat digunakan oleh Yang Mulia Majelis Hakim Makamah Konstitusi ("MK") sebagai bahan pertimbangan hukum dalam menjatuhkan suatu putusan. Suatu Putusan Pengadilan semakin rasional tentu akan semakin masuk akal dan dapat diterima oleh masyarakat secara luas, hal yang demikian akan lebih dekat dengan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi para advokat dalam kedudukannya selaku penegak hukum dalam peran dan fungsinya selaku kuasa hukum.

Historis-Sosiologis-Juridis (2)

Perlu diketahui bersama bahwa, sebelum UU Advokat lahir pada tahun 2003, terlebih dahulu sebelumnya telah diawali dengan adanya peristiwa bersejarah (historical) dengan bergabungnya 7 (tujuh) organisasi profesi Advokat Indonesia yaitu: IKADIN; AAI; IPIHI; HAPI; SPI; AKHI; HKHPM dalam satu wadah Komite Kerja Advokat Indonesia ("KKAI"). Peristiwa sejarah bergabungnya ketujuh organisasi profesi advokat tersebut sebagai bukti fakta sejarah yang mengagumkan, mengingat sejak Indonesia merdeka tahun 1945 sangat sulit mempersatukan organisasi profesi advokat. Perlu diketahui bahwa, sebelum ketujuh organisasi profesi tersebut bersepakat mendirikan KKAI, sebelumnya telah terbentuk forum advokat Indonesia yang disingkat ("FAI") yang anggotanya terdiri dari 3 (tiga) organisasi profesi advokat yaitu Ikatan Advokat Indonesia ("IKADIN"), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia ("IPHI") dan Asosiasi Advokat Indonesia ("AAI").

Secara historis FAI tersebut terbentuk disebabkan Mahkamah Agung RI sebagai institusi negara tidak dapat secara bebas dapat berhubungan dengan langsung dengan organisasi-organisasi profesi advokat secara sendiri-sendiri sehingga kehadiran FAI sangat membantu dalam rangka memberikan kontribusi pemikiran dalam kaitannya dengan fungsi dan tugas masing-masing dalam sistem peradilan di Indonesia. Tidak lama kemudian karena dalam dinamika perkembangannya telah lahir beberapa organisasi profesi advokat antara lain Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia ("HAPI"), Serikat Pengacara Indonesia ("SPI"), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia ("AKHI"), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal ("HKHPM"). Dengan pertimbangan perlunya mengakomodasi atas lahirnya organisasi profesi advokat yang cukup banyak tersebut, atas prakarsa Ketua Umum IKADIN atas nama (Alm) Sudjono akhirnya FAI dibubarkan dan berubah nama menjadi Forum Komunikasi Advokat Indonesia ("FKAI") yang beranggotakan tujuh organisasi profesi advokat antara lain IKADIN, IPHI, AAI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM.

IKADIN sebagai organisasi profesi advokat tertua dimasa kepemimpinan (Alm) Sudjono benar-benar responsif dan demokratis, sehingga semua organisasi profesi advokat yang lahir diakomodir, diakui serta dirangkul secara bersama-sama sehingga terbentuk rasa kebersamaan yang kuat. Peran IKADIN sangat menentukan pada masa itu, mengingat perannya selaku organisasi profesi advokat tertua sehingga mayoritas advokat senior banyak yang bergabung di IKADIN, satu diantaranya (Alm) Adnan Buyung Nasution. FKAI pada akhirnya dalam rentan waktu yang relatif cepat berubah menjadi KKAI. Ketika KKAI terbentuk, Ahli berkedudukan sebagai Sekretaris Jenderal HAPI, organisasi profesi advokat yang lahir ke-4 setelah IKADIN, IPHI, AAI, kemudian lahirlah HAPI. Kebetulah Ahli juga bertindak selaku penandatangan atas kelahiran KKAI tersebut. Pada saat itu seluruh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal semuanya menandatanganinya. IKADIN saat itu diwakili oleh Ketua Umumnya (Alm) SUDJONO dan OTTO HASIBUAN selaku Sekretaris Jenderal. Dengan demikian aktual-faktual, secara historis-sosiologis-juridis KKAI adalah satu-satunya forum organisasi profesi Advokat Indonesia yang ditanda tangani bersama oleh tujuh organisasi profesi Advokat tersebut pada tanggal ll Februari 2002.

KKAI Setelah Mendapat Pengakuan Dari Mahkamah Agung RI (3) 

Tanggal 11 Februari Tahun 2002 KKAI lahir, pengurusnya secara ex-officio terdiri dari ketua umum dan sekjen dari organisasi profesi advokat. Atas kelahiran KKAI tersebut para pengurus langsung melaporkan kepada Ketua Mahkamah Agung RI. Pada saat itu seluruh organisasi profesi advokat secara bersama-sama (secara aklamasi) menunjuk ketua Umum IKADIN (Alm) Sudjono selaku Ketua/Koordinator KKAI dengan pertimbangan IKADIN adalah organisasi profesi advokat tertua serta disegani oleh organisasi profesi advokat lainnya. Penunjukan ketua umum IKADIN sebagai koordinator (Chairman) KKAI tidak ada halangan apapun dari ketujuh pimpinan organisasi profesi advokat semuanya menyetujui bahkan IKADIN justru diminta untuk bersedia demi kebersamaan. Dalam operasionalisasi selanjutnya otomatis secara ex-officio seluruh ketua umum dan sekretaris jenderal adalah pengurus/mewakili KKAI. Begitulah aktual-faktual kultur hukum yang mengedepankan asas gotong royong dan kekeluargaan terbentuk, seluruh keputusan apapun selalu bersifat kebersamaan ("Kolektif Kolegial"). Pada tahun 2002, sepengetahuan saya saat KKAI terbentuk, ketujuh organisasi profesi advokat untuk modal awal operasional telah menyerahkan uang sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta Rupiah) itulah modal awal KKAI dalam mengawal dinamikanya.

Mengingat Mahkamah Agung RI telah mengakui keberadaan KKAI bahkan sebelum lahirnya UU advokat, maka dalam waktu yang sangat singkat Mahkamah Agung RI dibawah kepemimpinan Prof. Dr. Bagir manan, S.H., M.H. pada bulan maret 2002 mengeluarkan surat edaran mengenai kerjasama antara Mahkamah Agung RI dengan KKAI dalam rangka pelaksanaan ujian advokat nasional. Pada saat itu Mahkamah Agung mengeluarkan surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor: KMA/44/III/2002 tentang Pembentukan Panitia Bersama Ujian Pengacara Praktek tahun 2002. Berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung RI tersebut, menurut Ahli disitulah pertama kali kekuasaan penyelenggaraan ujian advokat oleh Mahkamah Agung RI diserahkan kepada KKAI.

Dalam implimentasinya dalam rangka melaksanakan pengakuan atas keberadaan KKAI sebagai badan dan/atau lembaga induk organisasi profesi advokat Mahkamah Agung RI bersama-sama KKAI telah mengeluarkan "Sertifikat Tanda Lulus Ujian Pengacara Praktek Tahun 2002" berdasarkan Surat Keputusan Panitia Ujian Pengacara Praktek Nomor :TD.TUN.MA/1/SK/V/2002 tanggal 21 Mei 2002 yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI bersama dengan KKAI pada tanggal 17 April 2002. Sertifikat Tanda Lulus ditandatangani oleh Mahkamah Agung RI pada tanggal 21 Mei 2002 yang diwakili oleh Prof. Dr.Paulus E. Lotulung, S.H. dan Abdul Kadir Mappong, S.H. serta KKAI yang diwakili oleh Otto Hasibuan, S.H., M.M. sebagai Ketua KKAI menggantikan (Alm) Sudjono, S.H. Menurut pendapat Ahli, Mahkamah Agung RI bukan hanya mengakui keberadaan KKAI sebagai Induk dari Organisasi Profesi Advokat sebatas formalitas (formil) namun lebih dari itu telah mengakui keberadaan KKAI secara operasional dalam menjalankan fungsinya sebagai regulasi untuk dunia keadvokatan di Indonesia (materiil).

Dalam acara rapat koordinasi tahun 2002 antara Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.H. bersama KKAI yang bertempat di gedung Mahkamah Agung RI, disepakati bahwa proses penyerahan (levering) kekuasaan secara ketatanegaraan tidak dapat dilakukan secara mutlak/keseluruhan, namun harus dengan cara bertahap. Maksudnya mengenai pelaksanaan ujian advokat awalnya dilakukan dalam bentuk kerjasama antara antara Mahkamah Agung RI dan KKAI, baru untuk selanjutnya kekuasaan tersebut secara keseluruhan diserahkan kepada KKAI.

Setelah KKAI oleh Mahkamah Agung RI diakui keberadaannya secara hukum (recognition) baik secara hukum maupun secara politik, akhirnya KKAI melakukan langkah bersejarah yang sangat menentukan dan strategis yaitu melakukan penyatuan kode etik advokat. Dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong saling hormat menghormati, dengan semangat ideologi Negara Pancasila akhirnya gabungan dari ketujuh organisasi profesi Advokat tersebut, merumuskan dan menyepakati bersama kesatuan Kode Etik Advokat Indonesia ditetapkan tanggal 23 Mei 2002 untuk dimasukan ke dalam Rancangan Undang-Undang Advokat yang diusulkan oleh organisasi profesi Advokat. Perlu diketahui bahwa nama KKAI awalnya merupakan usul (Alm) Adnan Buyung Nasution, pada saat itu termasuk Ahli sendiri dalam kapasitas dan kualitasnya selaku Sekretaris Jenderal dari HAPI, bersama-sama dengan seluruh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari 7 (tujuh) organisasi profesi advokat berkonsultasi dikantor (Alm) Adnan Buyung Nasution, pada saat itu berkantor di gedung yang saat ini menjadi gedung Sampoerna Strategic Tower. Saat itu (Alm) Adnan Buyung Nasution dalam rapat bersama mengatakan "sebelum kalian menemui ketua Mahkamah Agung RI minimal kalian bertujuh (baca, 7 (tujuh) organisasi profesi advokat) itu memiliki wadah bersama, setidak-tidaknya dalam bentuk komite kerjalah". Demikianlah kira-kira kalimat (Alm) Adnan Buyung Nasution saat itu yang disetujui oleh semua peserta rapat yang hadir. Atas dasar saran dari (Alm) Adnan Buyung Nasution itulah kemudian ketujuh Organisasi Profesi Advokat sepakat membentuk wadah bersama yang diberi nama KKAI. Menurut Ahli, sungguh kelahiran KKAI itu benar-benar murni gagasan dari para advokat senior/advokat pejuang, yang tidak terdapat kepentingan politik apapun, kecuali hanya untuk cita-cita terwujudnya profesi advokat yang terhormat (officium nobile) serta cita-cita catur wangsa yaitu terjadinya kesederajatan antara hakim, polisi, jaksa dan pengacara.

KKAI setelah berhasil menorehkan karyanya yang gemilang antara lain telah mendapatkan pengakuan dari Mahkamah Agung RI serta memiliki Kode Etik Bersama Advokat Indonesia akhirnya memperjuangkan lahirnya UU Advokat. Pertimbangan utamanya pada saat itu mengingat profesi Hakim, Jaksa, Polisi semuanya sudah memiliki payung hukum berupa undang-undang, mengapa advokat tidak juga berjuang agar supaya memiliki payung hukum berupa undang-undang advokat. Akhirnya lahirlah UU Advokat No.18 Tahun 2003 dan cita-cita advokat sebagai Penegak Hukum yang sederajat dengan catur wangsa lainnya terwujud. Peranan KKAI sebagai inisiasi lahirnya UU Advokat pada saat itu sangat intens, dengan menempatkan (Alm) Adnan Buyung Nasution sebagai wakil atau yang mewakili pemerintah. Pada akhirnya secara prinsipil pembahasan-pembahasan atas materi/norma UU Advokat secara substansi perumusan UU Advokat tidak mengalami kesulitan. Bahkan dalam pasal 32 UU Advokat tersebut ketujuh Organisasi Profesi Advokat ditambah satu lagi anggota organisasi profesi advokat menjelang diundangkannya UU Advokat yaitu Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia ("APSI") atas usulan Menteri Kehakiman RI Prof. Yusril Ihza Mahendra sehingga berubah menjadi 8 (delapan) Organisasi Profesi Advokat sebagai anggota secara ex-officio dari KKAI seluruhnya telah diakui oleh para pembentuk undang-undang. Dengan demikian secara juridis formal keberadaan Organisasi Profesi Advokat di Indonesia telah diakui oleh Undang-Undang Advokat No.18 Tahun 2003 yang secara limitative telah menyebut kedalapan Organisasi Profesi Advokat antara lain: IKADIN; AAI; IPHI; HAPI; SPI; AKHI; HKHPM; dan APSI.

 

KKAI Setelah lahirnya UU Advokat No.18 Tahun 2003 (4)

 

Setelah UU Advokat lahir, Mahkamah Agung RI kembali melakukan kerjasama dengan KKAI, sehingga Mahkamah Agung RI dalam waktu yang sangat cepat mengeluarkan Surat Keputusan sebagai perwujudan dari kemauan politik pemerintah (politicall will), telah memutuskan setelah lahirnya UU Advokat maka kekuasaan atas keberadaan advokat di Indonesia diserahkan kepada KKAI. Bukti secara juridis formil Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan surat edaran nomor : KMA/445/VI/2003 Perihal pelaksanaan Undang-Undang Nomor : I8 tahun 2003 tentang Advokat. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI tersebut ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara se- Indonesia tanggal 25 Juni 2003, isi surat Mahkamah Agung tersebut, secara tekstual menyatakan : "Mahkamah Agung menyerahkan kewenangannya (levering) meliputi penerbitan Kartu Advokat oleh Organisasi Advokat, perpindahan atau mutasi Advokat, wajib diberitahukan kepada Badan yang disebut organisasi profesi Advokat (dalam hal ini KKAI), Untuk mengawasi dan mengangkat para Advokat sesuai Undang-Undang Advokat.

 

Jadi jelaslah bahwa Badan yang disebut Organisasi Profesi Advokat dalam hal ini adalah KKAI yang memiliki wewenang untuk mengawasi dan mengangkat para advokat hal tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang Advokat. Menurut pendapat Ahli, sikap dan tindakan Mahkamah Agung RI yang telah dituangkan secara formil dalam bentuk surat edaran nomor: KMA/445/VI/2003 Perihal pelaksanaan Undang-Undang Nomor: 18 tahun 2003 tentang Advokat merupakan pengakuan (recognition) mengenai legal standing KKAI sebagai organisasi profesi advokat di Indonesia dalam bentuk Konfederasi dan/atau Federasi yang beranggotakan secara ex-officio perwakilan dari organisasi-organisasi profesi advokat dengan model kepemimpinan kolektif kolegial. Kewenangan Mahkamah Agung RI mengeluarkan surat edaran tersebut, secara hukum menegaskan bahwa Mahkamah Agung RI mengakui (recognition) keberadaan KKAI merupakan badan yang memiliki kewenangan sebagai organ negara pelaksana Undang-Undang Advokat.

Menurut Ahli dalam perspektif hukum ketatanegaraan, KKAI secara Konstitusi telah diberikan kewenangan oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, memiliki hak dan kewenangan untuk berhubungan dengan lembaga --lembaga Negara dan Pemerintah, diatur dalam pasal 22 ayat (3) ketentuan Kode Etik Advokat Indonesia. Oleh karena itu KKAI sangat berperan dalam menjalankan roda organisasi profesi Advokat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas Advokat dimasa-masa mendatang. Peran KKAI yang telah mendapat pengakuan dari Mahkamah Agung RI dan/atau Pemerintah, dalam fakta historika-sosiologis pengakuan tersebut telah terjadi baik sebelum UU Advokat diundangkan maupun setelah lahirnya UU Advokat. Mengapa KKAI yang telah menjalankan perannya baik sebelum UU Advokat lahir maupun setelah UU Advokat lahir kemudian peran tersebut seolah-olah hilang? Setelah UU Advokat diundangkan terjadilah pergantian pimpinan di tubuh KKAI, dari sebelumnya dijabat oleh (Alm) Sudjono, S.H. digantikan oleh saudara Otto Hasibuan, mengingat setelah terjadinya Musyawarah Nasional (Munas) IKADIN saudara Otto Hasibuan terpilih menjadi Ketua Umum IKADIN, untuk serlanjutnya melanjutkan secara ex-officio selaku Koordinator KKAI.

Setelah saudara Otto Hasibuan menjadi koordinator KKAI tanpa penjelasan secara juridis yang memadai, akhirnya KKAI secara diam-diam (silent) tidak diaktifkan lagi. Peran KKAI sebagai wadah dari seluruh Organisasi Profesi Advokat yang didirikan berdasarkan hukum publik, kemudian digantikan perannya dengan cara mendirikan PERADI Organisasi Profesi Advokat yang didirikan berdasarkan hukum privat tanpa adanya penjelasan yang memadai bahkan tidak dapat lagi diketahui oleh publik bagaimana pertanggungjawaban KKAI dimasa kepemimpinan saudara Otto Hasibuan. Dengan terjadinya pengambilalihan peranan KKAI ke PERADI maka upaya-upaya implementatif dalam bentuk sosialisasi ke masyarakat dan juga sosialisasi ke lembaga-lembaga tinggi negara terkait dengan keberadaan KKAI sebagai Badan dan/atau lembaga negara juga terabaikan, sementara Mahkamah Agung RI sudah memberikan penguatan kepada KKAI yang dapat dipandang sebagai bentuk pengakuan sebagai lembaga negara.

Menurut Ahli dalam hal ini Mahkamah Agung RI sudah bertindak sangat konstitusional dan bermasa depan yang baik untuk organisasi profesi advokat, sayangnya pengurus KKAI periode saudara Otto Hasibuan tidak responsif terkesan tidak paham. Tentunya yang lebih membingungkan dan sulit diterima oleh akal sehat (common sense), ternyata peran KKAI secara diam-diam digantikan PERADI dengan tanpa adanya penjelasan secara akademik apakah mungkin PERADI dilahirkan oleh kehendak dari 8 (delapan) pimpinan Organisasi Profesi Advokat, dengan cara membuat akta notaris, apa dasar hukumnya? apakah pembentuk UU Advokat memerintahkan? dan/atau apakah 8 (delapan) organisasi profesi advokat tersebut sebelumnya telah diperintahkan oleh hasil munasnya masing-masing? atau hal tersebut merupakan tafsir dari para pimpinan organisasi profesi advokat? atas pertanyaan-pertanyaan tersebut belum ada jawaban yang memiliki kepastian.

                                                                                                     

Idealnya sebelum PERADI dibentuk perlu dilakukan research yang mendalam secara akademis sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai acuan perlu atau tidaknya PERADI didirikan mengingat dilihat dari sejarah kelahirannya KKAI adalah masuk ranah hukum publik sementara PERADI masuk ranah genus hukum privat. Kejanggalan-kejanggalan yang sangat mencolok misalnya PERADI dalam anggaran dasarnya mengatur yang menjadi anggota PERADI adalah orang/para advokat di Indonesia. Sementara yang menjadi anggota KKAI itu bukan orang/para advokat, tetapi organisasi profesi advokat seperti halnya organisasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa ("PBB"), yang menjadi anggota PBB itu bukan orang/Warga Negara dari suatu negara, tetapi Negara-Negara. Ketika PERADI mengatur bahwa yang menjadi anggotanya adalah orang para advokat, maka secara otomatis PERADI baik disengaja maupun tidak disengaja telah mematikan dan/atau melumpuhkan kedaulatan dari kedelapan Organisasi profesi advokat. Kira-kira dua tahun setelah PERADI lahir, menyadari akan kesalahan yang diperbuat akhirnya keempat Organisasi Profesi Advokat pendiri PERADI ( IKADIN-IPHI-HAPI-APSI) menarik diri dari PERADI dan membubarkan PERADI, yang diumumkan melalui media nasional harian KOMPAS. Dengan demikian jelas, bahwa PERADI tidak lagi memiliki legal standing (tidak sah dan tidak memiliki legitimate), sebagai organisasi profesi advokat Indonesia (Indonesian Bar Association).

Indonesia beruntung memiliki Mahkamah Agung RI yang sangat responsif dengan melihat kenyataan dilapangan keberadaan KKAI belum difungsikan kembali akhirnya Ketua Mahkamah Agung RI menyadari bahwa kedelapan organisasi profesi advokat kedaulatannya perlu dihidupkan kembali melalui Surat Edaran nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 sehingga secara hukum dapat bertindak melaksanakan perintah UU Advokat No.18 Tahun 2003 dengan menyelenggarakan antara lain:

  • Menyelenggarakan Ujian Advokat.
  • Menyelenggarakan Pendidikan khusus Advokat.
  • Mengangkat Advokat.
  • Mengajukan sumpah Advokat melalui Pengadilan Tinggi setempat/melalui Menteri Kehakiman RI.
  • Menerbitkan Kartu Advokat.
  • Menetapkan Kantot Advokat sebagai pelaksana magang calon Advokat.

 

Dengan demikian jelas bahwa saat ini di Indonesia kedelapan Organisasi Profesi Advokat IKADIN; AAI; IPHI; HAPI; SPI; AKHI; HKHPM; dan APSI secara hukum memiliki legal standing untuk menjalankan perintah UU Advokat No.18 Tahun 2003. 

Dalam kenyataannya baik PERADI maupun KAI dan juga FERARI sebagai Organisasi Profesi Advokat yang lahir setelah diundangkannya UU Advokat telah melaksanakan perintah UU Advokat No.18 Tahun 2003. Kenyataan tersebut secara hukum tidak dapat dihindarkan demi kepentingan umum atas terselenggaranya secara umum sistem peradilan di Indonesia yang telah menempatkan Advokat sebagai Penegak Hukum mengingat kedaulatan atas kedelapan Organisasi Profesi Advokat Indonesia untuk melaksanakan perintah UU Advokat tidak dapat dilaksanakan secara otomatis disebabkan kedaulatannya untuk sementara waktu lumpuh setelah fungsi KKAI diambil alih tanpa dasar hukum yang memadahi oleh PERADI.

KKAI Mendapat Pengakuan Dari American Bar Association (ABA) dan Japan Federation Bar Association (5)

Pada bulan November tahun 2014, satu tahun setelah UU Advokat di undangkan KKAI melakukan kerjasama dengan American Bar Association ("ABA") di Jakarta dalam bentuk kerjasama menyelenggarakan workshop dengan mengambil tema Kode Etik Advokat. Bahkan dalam kerjasama penyelenggaraan workshop tersebut seluruh biaya telah dibayar (dibiayai) oleh ABA. Dalam acara workshop tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari Japan Federation Bar Association ("JFBA") yang diwakili oleh pengurusnya yaitu Prof. Shigeji Ishiguro, perwakilan dari ABA dan Georgetown University School of Law Centre yaitu Jennifer Lee Renne, serta Peter A. Joy dari Washington University School of Law. Ahli dalam acara tersebut hadir dalam kapasitas dan kualitas mewakili secara ex-officio sebagai Sekretaris Jenderal dari Organisasi Profesi Advokat HAPI. Demikian juga seluruh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari kedelapan organisasi profesi advokat semuanya telah hadir dalam acara workshop internasional tersebut.

Menurut pendapat Ahli, keberadaan KKAI sebagai Badan yang disebut Organisasi Profesi Advokat, memiliki kewenangan untuk mengawasi dan mengangkat para Advokat sesuai dengan Undang-Undang Advokat selain telah diakui oleh Mahkamah Agung RI, dunia Internasional juga telah memberikan pengakuan secara nyata (de facto) dengan hadirnya ABA dan JFBA.

KKAI Kedepan ( for the future ) (7)

Mengingat Mahkamah Agung RI pada saat ini telah mengakui kembali keberadaan kedelapan organisasi profesi advokat dan dalam kenyataannya sampai saat ini KKAI belum dibubarkan oleh pendirinya untuk itu secara hukum KKAI masih eksis sebagai wadah dari kedelapan organisasi profesi advokat tersebut. Tentu saja selain kedelapan organisasi profesi advokat tersebut demi kepentingan umum PERADI, KAI, FERARI tidak dilarang/ditolak untuk menjalankan perannya selaku Organisasi Profesi Advokat. Apakah Organisasi Profesi Advokat yang dilahirkan setelah lahirnya UU Advokat 2003 antara lain PERADI, KAI, FERARI, dll yang masuk dalam nomenklatur hukum privat memiliki legal standing untuk menjalankan kedaulatannya untuk melaksanakan perintah dari pembentuk UU Advokat? idealnya yang berhak adalah KKAI sebagai Organisasi/Badan Profesi Advokat yang memiliki nomenklatur hukum publik. Menurut Ahli, sehubungan dengan terjadinya (aktual dan faktual) kelahiran PERADI dari semula oleh publik dipandang sebagai Organisasi Profesi Advokat yang didirikan berdasarkan UU Advokat demikian juga terhadap Organisasi Profesi Advokat lainnya sehingga menimbulkan keyakinan sebagai suatu kebenaran untuk itu demi hukum (baca, kepentingan umum) serta asas kemanfaatan dapat menjalankan perintah UU Advokat.

Kedepan, mengingat secara akademis KKAI telah memiliki landasan historis, sosiologis, yuridis yang terang, jelas dan terukur. KKAI ditetapkan/didirikan pada tanggal 23 Mei tahun 2002. KKAI didirikan oleh 7 (tujuh) Organisasi Advokat antara lain: IKADIN; AAI; IPHI; HAPI; SPI; AKHI; HKHPM. Ketujuh Organisasi Profesi Advokat tersebut telah diakui/disahkan oleh Undang-undang Advokat No.18 Tahun 2003 tepatnya pada pasal 33. Sehingga secara Juridis, KKAI itu sah dan berlaku sebagai Induk dari ketujuh organisasi profesi advokat. KKAI berdasarkan Pasal 22 ayat (3) Kode Etik Advokat Indonesia memiliki kewenangan dalam hubungan kepentingan profesi advokat dengan lembaga-lembaga negara dan Pemerintah yang telah dikuatkan/disahkan dimuat pada pasal 33 Undang-undang Advokat No.18 Tahun 2003. KKAI sebagai wujud nyata persatuan dan kesatuan dari semua Advokat/Pengacara/Konsultan hukum/Penasihat hukum warga negara Indonesia yang menjalankan profesi Advokat Indonesia dalam menyongsong satu organisasi profesi Advokat Indonesia (Indonesian Bar Association ).

Menurut Ahli, Idealnya setelah seluruh Organisasi Profesi Advokat, selesai membenahi legal aspeknya secara internal mengingat secara ex-officio seluruh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal adalah anggota KKAI maka dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, KKAI segera diberdayakan. Jika KKAI tidak segera diberdayakan, maka risikonya akan sangat berbahaya bagi para advokat di Indonesia. Bayangkan advokat itu secara hukum bertindak sebagai penegak hukum, seperti halnya Hakim, Jaksa, Polisi jika tidak memiliki rumah komando akan sangat berbahaya. Advokat selaku penegak hukum maka KKAI dapat berperan sebagai Markas Besarnya Advokat, seperti halnya Polisi dengan Mabes Polrinya. Hakim dengan Mahkamah Agungnya dan Jaksa dengan Kejaksaan Agungnya.

Advokat di Indonesia sudah memiliki modal yang sangat berharga yaitu adanya penyatuan dalam bentuk Kodifikasi atas Kode Etik Advokat Indonesia bersama, yang secara mutatis mutandis sudah diakui sebagai undang-undang oleh para pembentuk UU Advokat. Seorang advokat yang melanggar kode etik dimanapun naungan organisasinya tetap dapat diadili oleh Kode Etik Advokat Indonesia. Disinilah satu diantaranya peran KKAI kita perlukan guna merumuskan hal-hal teknis sebagaimana ketentuan Kode Etik Advokat Indonesia pasal 22 ayat (2) berbunyi : " Setiap Advokat wajib menjadi anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut. Belum lagi terhadap hal-hal penting lain nya misalnya : pembentukan Kepengurusan KKAI tingkat nasional dan tingkat Daerah/wilayah. Merumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KKAI. Mempersiapkan Dewan Kehormatan bersama, diluar struktur organisasi KKAI. Membentuk Komisi Pengawasan, di dalam struktur organisasi KKAI. Idealnya KKAI segera menyelenggaran Kongres bersama untuk mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Perlu diketahui bersama bahwa KKAI sampai saat ini belum dapat menyelesaikan tugas utamanya antara lain: (a). membentuk Dewan Kehormatan Bersama; dan (b). membentuk Komisi Pengawasan Advokat. Pentingnya memberdayakan kembali KKAI itu antara lain ketentuan pasal 34 Undang-Undang Advokat berbunyi: "Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksana Undang-Undang ini". Ketentuan tersebut diatas, menunjukan bahwa sebelum kepengurusan, tugas dan fungsi KKAI dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Advokat belum terbentuk, maka untuk sementara pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat dilaksanakan oleh masing-masing kedelapan organisasi profesi Advokat sebagai pelaksana Undang-Undang Advokat.

KKAI Sebagai Subordinate Sistem Peradilan Indonesia (6)

KKAI merupakan subordinasi dari sistem peradilan Indonesia, hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari campur tangan dan pengaruh dari luar, maka diperlukan kehadiran Organisasi Profesi Advokat KKAI. KKAI adalah Organisasi Profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakan hukum kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia, perlu dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum.

Dalam kerangka mewujudkan keberadaan KKAI sebagai subordinasi dari sistem peradilan maka UU Advokat menetapkan keberadaan Organisasi Profesi Advokat secara limitatif (pembatasan secara limitatif) dengan menetapkan 8 (delapan) Organisasi Profesi Advokat sebagai Organisasi Profesi Advokat yang bernaung dalam satu wadah KKAI. Pembatasan secara limitatif oleh pembentuk UU adalah dalam rangka perlindungan terhadap Profesi Advokat sebagai Penegak Hukum. Sebagai penegak hukum advokat sangatlah tidak rasional (irrational) jika bernaung dibawah organisasi profesi advokat yang jumlahnya tanpa batas (unlimited). Pembatasan jumlah organisasi profesi advokat yang ditetapkan oleh pembentuk UU tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pembatasan tersebut telah dilindungi oleh konstitusi yang diatur di dalam pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang secara tekstual berbunyi sebagai berikut: " Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan keteriban umum dalam suatu masyarakat demokratis ".

Ketentuan secara Konstitusi sebagaimana tersebut diatas, merupakan bentuk dari perintah UUD 1945 sebagai aturan hukum tertinggi yang wajib ditaati untuk dilaksanakan baik perorangan, kelompok, hukum privat, badan hukum, lembaga-lembaga Negara dan Pemerintah. Dengan demikian adanya pengakuan dari pembentuk UU (legislatif) dan pengakuan dari Mahkamah Agung RI (Yudikatif) terhadap KKAI Sebagai Subordinasi Sistem Peradilan Indonesia merupakan fakta historis-sosiologis-juridis yang tidak terbantahkan.

KKAI Mewakili Organisasi-Organisasi Profesi Advokat (7)

Menurut Ahli, 8 (delapan) Organisasi Profesi Advokat pembentuk KKAI adalah anggota tetap KKAI (permanent member) idealnya memiliki hak istimewa (hak prerogatif) dalam rangka menentukan langkah-langkah kebijakan (regulator) di KKAI dalam rangka menjalankan perintah pembentuk UU Advokat yang memiliki kapasitas dan kualitas selaku regulator untuk para advokat di Indonesia adalah KKAI. Anggota tetap KKAI dan anggota tidak tetap (non permanent member) dapat menjalankan kebijakan KKAI sebagai Markas Besar Advokat RI. Anggota tidak tetap KKAI adalah OA yang dilahirkan setelah lahirnya UU Advokat seperti misalnya Organisasi Profesi Advokat lainnya PERADI, KAI, FERARI dan yang lain-lainnya dapat ditetapkan sebagai anggota KKAI dalam rapat musyawarah yang diselenggarakan oleh KKAI. Jika dalam kenyataan dilapangan terdapat Organisasi Profesi Advokat yang bermasalah atau terpecah solusinya dapat ditempuh dengan cara misalnya: Jika Organisasi Profesi Advokat yang bermasalah tersebut nomenklatur nama Organisasi Profesi Advokat masih satu maka hak suaranya (vote) tetap memiliki 1 (satu) suara dengan cara pembagian (hak suaranya dibagi), misalnya Organisasi Profesi Advokat yang sama pecah menjadi 2 (dua) maka hak suaranya dibagi 2 (1:2=1/2) dan seterusnya. Organisasi Profesi Advokat anggota KKAI selaku Organisasi Profesi Advokat wajib memiliki perangkat organisasi mulai dari tingkat Pusat yang bersifat nasional dan tingkat daerah yang meliputi wilayah propinsi diseluruh Indonesia, tingkat pusat dikenal dengan pimpinan pusat, sedangkan tingkat daerah dikenal dengan pimpinan daerah/perwakilan daerah. Demikian juga KKAI sebagai Organisasi Profesi Advokat yang dapat mewakili Organisasi-Organisasi Profesi Advokat disebut wajib memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang mengatur : "Ketentuan mengenai susunan organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga".

Ketentuan tersebut diatas diatur dalam pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 18 tahun 2003 tentang Advokat, hal ini menunjukan para Advokat setelah disumpah baik yang baru maupun yang lama oleh Pengadilan Tinggi setempat, berdasarkan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, kemudian diangkat oleh KKAI sesuai Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Advokat, setelah pengangkatan setiap Advokat diwajibkan memilih sebagai anggota dari salah satu dari organisasi profesi Advokat masing-masing, berdasarkan pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Advokat jo Pasal 22 ayat (2) Ketentuan Kode Etik Advokat Indonesia. KKAI mewakili organisasi-organisasi profesi Advokat yang merupakan Induk dari Organisasi Profesi Advokat baik tingkat Pusat maupun tingkat Daerah dengan kewenangan membentuk:

  • Kepengurusan KKAI tingkat Nasional dan tingkat Daerah/wilayah.
  • Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KKAI.
  • Dewan Kehormatan bersama, diluar struktur organisasi KKAI.
  • Komisi Pengawasan, di dalam struktur organisasi KKAI.

KKAI menyelenggaran musyawarah bersama untuk mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, mengangkat kepengurusan KKAI tingkat Pusat, membentuk Badan disebut Dewan Kehormatan Bersama bersama kepengurusan tingkat Pusat dan Daerah diatur dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Advokat jo Padal 22 ayat (4) ketentuan kode etik Advokat, membentuk Komisi Pengawasan bersama kepengurusan tingkat Pusat dan Daerah diatur dalam pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Advokat. Kedua badan yaitu Dewan Kehormatan bersama dan Komisi Pengawasan, merupakan wadah tunggal yang dapat menjalankan fungsinya diatur dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Advokat berbunyi: "Organisasi Advokat menetapkan dan menjalankan Kode Etik Advokat bagi para anggotanya". KKAI sampai saat ini belum dapat menyelesaikan tugas utamanya antara lain :

  • Membentuk Dewan Kehormatan Bersama.
  • Membentuk Komisi Pengawasan Advokat.

Kewenangan KKAI tersebut secara akrobatik hingga saat ini dalam rangka menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya telah dilaksanakan oleh Organisasi-Organisasi Profesi Advokat diluar sistem UU Advokat kenyataan tersebut dapat terjadi disebabkan kegagalan dalam memahami maksud dan tujuan dari pembentuk UU Advokat. Secara normatif-juridis telah diatur dengan jelas sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (3) Kode Etik Advokat. Dengan demikian jelas tidak ada tafsir hukum lainnya cukup tegas bahwa KKAI mewakili Organisasi Profesi Advokat dalam hubungan kepentingan Profesi Advokat dengan lembaga-lembaga Negara dan Pemerintah. Pembentuk UU Advokat Nomor 18 tahun 2003 secara cerdas dan akademis-intelektual telah menempatkan ketentuan muatan pasal dan ayat di dalam Kode Etik Advokat yang ditetapkan tanggal 23 Mei 2002 dimana ketentuan Kode Etik Advokat tersebut dimuat/diindos ke dalam pasal 33 Undang-Undang Nomor : 18 tahun 2003 tentang Advokat.

Dengan demikian secara hukum keberadaan KKAI merupakan Organisasi Profesi Advokat yang memiliki Fungsi Regulator sebagai wadah dari Organisasi Profesi Advokat sah berdasarkan ketentuan UU Advokat. Oleh karena itu menurut ketentuan pasal 34 Undang-Undang Advokat berbunyi : " Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksana Undang-Undang ini ". Ketentuan tersebut telah menegaskan sebelum kepengurusan, tugas dan fungsi KKAI dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Advokat belum dapat diwujudkan, maka untuk sementara waktu pelaksanaan yang mengatur Advokat dilaksanakan oleh Organisasi Profesi Advokat anggota tetap KKAI 8 (delapan) organisasi profesi Advokat dan Organisasi Profesi Advokat anggota tidak tetap KKAI antara lain PERADI, KAI, FERARI dan Organisasi Profesi Advokat yang lainnya.OA sebagai pelaksana Undang-Undang Advokat memiliki kewenangan antara lain menetapkan:

  • Menyelenggarakan Ujian Advokat.
  • Menyelenggarakan Pendidikan khusus Advokat.
  • Mengangkat Advokat.
  • Mengajukan sumpah Aglvokat melalui Pengadilan Tinggi setempat.
  • Menerbitkan Kartu Advokat.
  • Menetapkan Kantot Advokat sebagai pelaksana magang calon Advokat.

 

Kode Etik Advokat Indonesia Lumpuh (8)

 

Dengan adanya kenyataan dimana KKAI hingga saat ini belum pernah membentuk Dewan Kehormatan Bersama, akibat hukumnya Kodifikasi yang mengatur tentang Kode Etik Advokat Indonesia tidak dapat dilaksanakan sehingga sampai saat ini pelanggaran-pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh para advokat yang diadili oleh Dewan Kehormatan Advokat yang diselenggarakan oleh Organisasi Profesi Advokat (Baca, PERADI, KAI, FERARI, HAPI, IKADIN, dll) tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Seorang advokat yang dijatuhi hukuman oleh Dewan Kehormatan Advokat dalam proses sidang peradilan kode etik tidak memiliki dampak hukum apapun ( Penegak hukum lainnya seperti Hakim-Jaksa-Polisi ) tidak mengakui secara hukum bahwa atas putusan kode etik yang dijatuhkan oleh peradilan kode etik mengikat dan memiliki kekuatan hukum. Seorang advokat yang dipecat sebagai advokat oleh peradilan kode etik tidak berlaku, artinya seorang advokat yang dipecat tetap saja dapat menjalankan profesinya sebagai advokat.

Jika KKAI bersama seluruh Organisasi Profesi Advokat menjalankan perannya sebagai regulator dalam menjalankan perintah UU Advokat, satu diantaranya adalah fungsi KKAI dalam membentuk Dewan Kehormatan Bersama maka Kode Etik Advokat secara hukum dapat ditegakkan dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat karena akan diikuti oleh para penegak hukum lainnya (Jaksa-Hakim-Polisi). Bila Kode Etik Advokat dapat ditegakkan oleh KKAI melalui pembentukan Dewan Kehormatan Bersama maka masyarakat pada umumnya akan menerima efek positifnya, karena dengan demikian para advokat akan sangat berhati-hati dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya yang mencari keadilan melalui bantuan advokat. Jika Kode Etik Advokat Indonesia yang sudah terkodifikasi dan telah diberlakukan oleh pembentuk UU Advokat berlaku secara mutatis mutandis sebagai undang-undang ditegakkan maka jaminan perlindungan bagi para pencari keadilan yang menggunakan jasa advokat akan semakin berkualitas. Sebaliknya masyarakat pencari keadilan (justitiable) sulit mendapatkan jaminan perlindungan menggunakan jasa advokat jika Peradilan atas Kode Etik dimandulkan seperti pada saat ini.

Semoga melalui Peradilan Mahkamah Konstitusi RI dapat membantu mencerahkan bagaimana perlindungan para pencari keadilan dapat dipikirkan secara masak-masak dengan menata kembali keberadaan Organisasi Profesi Advokat ditegakkan kembali sebagaimana perintah pembentuk UU Advokat. Menurut pendapat Ahli, jika pekerjaan advokat dalam mendampingi kepentingan kliennya tidak diimbangi secara berimbang dengan memberlakukan secara ketat Kode Etik Advokat melalui Peradilan Kode Etik Advokat, maka potensi menyalahgunakan kekuasaan oleh seorang advokat dalam menjalankan profesinya sulit terbendung dan pada akhirnya para pencari keadilan akan sangat dirugikan. Dalam keadaan seperti itu di Indonesia sulit sekali bahkan nyaris tidak ada advokat yang bermental negarawan, kalaupun ada barangkali sangat langka di dapatkan.

KKAI Sebagai Institusi Organisasi Profesi Advokat (9)

KKAI merupakan Institusi Organisasi Profesi Advokat, dibentuk berdasarkan pasal 22 ayat (3) ketentuan Kode Etik Advokat dan didirikan berdasarkan pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor :18 tahun 2003, disahkan di dalam pasal 33 Undang-Undang Advokat dapat mewakili beberapa organisasi profesi Advokat seperti: IKADIN; AAI; IPHI; HAPI; SPI; AKHI; HKHPM; dan APSI; disebut sebagai lembaga negara atau badan negara. UUD 1945 telah mengatur adanya badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, hal tersebut secara tektual telah dirumuskan dalam rumusan pasal 24 ayat (3) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut :

"Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang".

KKAI merupakan badan lain berbentuk Konfederasi sebagai telah dibentuk berdasarkan Konstitusi yang dijabarkan di dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat sebagai peraturan pelaksana yang mengatur menganai Advokat diatur dalam pasal 34 Undang-Undang Advokat. Dengan demikian sekali terbentuk KKAI sebagai Lembaga Negara mewakili Organisasi Profesi Advokat bertindak sebagai Induk Organisasi Profesi Advokat Indonesia. KKAI sebagai Organ Negara diatur lebih lanjut di dalam pasal 38 ayat (1) berikut penjelasannya di dalam Undang- Undang No. 48 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi :

"Yang dimaksud Badan-badan lain antara lain meliputi Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Repulik Indonesia, Advokat dan lembaga pemasyarakatan ".

Pengertian Advokat adalah subyek hukum berupa manusia atau orang yang berprofesi memberi jasa bantuan hukum, tetapi Institusinya adalah KKAI selaku Organisasi Profesi Advokat yang mengangkat Advokat diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undng No. 18 tahun 2003. Dengan demikian secara hukum dapat dideskripsikan bahwa KKAI merupakan alat kelengkapan kekuasaan kehakiman yang sejajar dengan Mahkamah Agung RI. Terkait dengan keberadaan badan-badan negara/lembaga-lembaga negara menurut pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya berjudul "Sengketa kewenangan lembaga" pada halaman 55, 56 dan 59 menyebutkan bahwa: "Bahwa ketentuan pasal 24 ayat (3) UUD 1945, juga membuka peluang akan adanya badan-badan lain yan fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang dapat dikategorikan pula sebagai lembaga negara yang dapat memiliki constitusional importance. Seperti halnya keberadaan Kejaksaan Agung dan KKAI, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945 dan terdapat lebih dari 28 (dua puluh delapan) lembaga negara yang disebut baik secara langsung maupun tidak langsung, dimana lembaga tersebut dapat dibedakan dalam tiga lapis:

  • Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara;
  • Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja; dan
  • Organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah.

Ketiga Organ Negara tersebut, KKAI sebagai Organisasi Profesi Advokat termasuk dalam kategori organ lapis kedua yaitu lembaga Negara saja; namun keberadaannya dalam sistem hukum di Indonesia sebagai negara hukum sangatlah penting dalam rangka penegakan hukum; dimana Kepolisian sebagai pejabat penyidik, Kejaksaan sebagai pejabat penuntut umum dan Advokat (dalam hal ini adalah KKAI ) sebagai pemberi jasa bantuan hukum diatur dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat. Advokat selaku penegak hukum diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Advokat, karena Advokat dapat menerima permohonan bantuan hukum dari para pencari keadilan yang tidak mampu, merupakan kewajiban berdasarkan pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Advokat untuk dilaksanakan sesuai dengan ketentun Kode Etik Advokat pasal 9 huruf (a), sama-sama penting kedudukannya dalam Sistim Negara Hukum.

Kewenangan Konstitusi yang diberikan kepada Advokat dalam bentuk Undang-Undang Advokat, ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan surat edaran No. KMA/445/VI/2003 Perihal pelaksanaan Undang-Undang No. I8 tahun 2003 tentang Advokat. Surat tersebut ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan,Tata Usaha Negara se- Indonesia tanggal 25 Juni 2003, dimana isi surat Mahkamah Agung tersebut, berbunyi : "Mahkamah Agung menyerahkan kewenangannya (levering) meliputi penerbitan Kartu Advokat oleh organisasi Advokat, perpindahan atau mutasi Advokat, wajib diberitahukan kepada Badan yang disebut organisasi profesi Advokat (dalam hal ini KKAI), Untuk mengawasi dan mengangkat para Advokat sesuai Undang-Undang Advokat.

Penegasan dari Mahkamah Agung RI berdasarkan surat edaran nomor : KMA/445/VI/2003 Perihal pelaksanaan Undang-Undang No. I8 tahun 2003 tentang Advokat merupakan pengakuan yang sempurna dari negara dan/atau pemerintah melalui Mahkamah Agung RI sebagai penegasan hukum tanpa tafsir yang menegaskan "Setelah lahirnya UU Advokat tahun 2003 yang dimaksud dengan Organisasi Profesi Advokat adalah KKAI ". Kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran tersebut, secara nyata Mahkamah Agung mengakui (recognition) keberadaan KKAI merupakan badan yang memiliki kewenangan sebagai organ negara pelaksana Undang-Undang Advokat. KKAI secara konstitusi telah diberikan kewenangan oleh pasal 24 ayat (3) UUD 1945, meniliki hak dan kewenangan untuk berhubungan dengan lembaga-lembaga Negara dan Pemerintah, diatur dalam pasal 22 ayat (3) ketentuan Kode Etik Advokat Indonesia. Oleh karena itu KKAI sangat berperan dalam menjalankan roda Organisasi Profesi Advokat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas Advokat dimasa-masa kini dan mendatang.

Legalitas KKAI (10)

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa KKAI telah memiliki landasan hukum berdasarkan ketentuan:

  • Kode etik Advokat Indonesia Bab XI Aturan Peralihan Pasal 22 ayat (1) Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi advokat di Indonesia tanpa terkecuali.
  • Kode etik Advokat Indonesia Bab XI Aturan Peralihan Pasal 22 ayat (2) berbunyi: "Setiap Advokat wajib menjadi Anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut".
  • Kode etik Advokat Indonesia Bab XI Aturan Peralihan Pasal 22 ayat (3) berbunyi: "Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat (1) pasal ini sesuai dengan pernyataan bersama tertanggal 11 februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi advokat dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintah".
  • Pernyataan bersama 7 (tujuh) organisasi profesi advokat di Jakarta pada 11 Februari 2002 membentuk KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA ( disingkat KKAI ) sebagai wujud nyata persatuan dan kesatuan dari semua advokat/pengacara/konsultan hukum/penasehat hukum Warga Negara Indonesia yang menjalankan profesi Advokat Indonesia dalam menyongsong satu organisasi Profesi Advokat Indonesia (Indonesian Bar Association). Dengan bergabungnya 7 (tujuh) organisasi Profesi Advokat Indonesia tersebut diatas kedalam KKAI, maka FKAI telah meleburkan diri kedalam KKAI sehingga FKAI tidak ada lagi dan KKAI adalah satu-satunya forum organisasi Profesi Advokat Indonesia.
  • Ketentuan pasal 34 Undang-Undang Advokat Nomor 18 tahun 2003 berbunyi: "Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksana Undang-Undang ini". KKAI dalam hal ini bertindak sebagai pelaksana atas UU Advokat.
  • Surat Keputusan Mahkamah Agung No. KMA/44/III/2002 tentang Pembentukan Panitia Bersama Ujian Pengacara Praktek tahun 2002 berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung RI tersebut, disitulah pertama kali kekuasaan penyelenggaraan ujian dan pengangkatan advokat sebagian diserahkan kepada KKAI.
  • KKAI memiliki legal standing sebagai badan negara dengan adanya fakta hukum Mahkamah Agung RI mengeluarkan surat edaran nomor : KMA/445/VI/2003 Perihal pelaksanaan Undang-Undang No. I8 tahun 2003 tentang Advokat. Surat tersebut ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan,Tata Usaha Negara se- Indonesia tanggal 25 Juni 2003, dimana isi surat Mahkamah Agung tersebut, berbunyi: Mahkamah Agung menyerahkan kewenangannya (levering) meliputi penerbitan Kartu Advokat oleh organisasi Advokat, perpindahan atau mutasi Advokat, wajib diberitahukan kepada Badan yang disebut organisasi profesi Advokat (dalam hal ini KKAI ), Untuk mengawasi dan mengangkat para Advokat sesuai Undang-Undang Advokat.
  • KKAI sebagai organ Negara diatur lebih lanjut di dalam pasal 38 ayat (1) berikut penjelasannya di dalam Undang- Undang No. 48 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : "Yang dimaksud Badan-badan lain antara lain meliputi Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Repulik Indonesia, Advokat dan lembaga pemasyarakatan". Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa bantuan hukum, Institusinya adalah KKAI selaku organisasi profesi Advokat yang mengangkat Advokat diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undng No. 18 tahun 2003, sehingga KKAI merupakan alat kelengkapan kekuasaan kehakiman yang sejajar dengan Mahkamah Agung.
  • Pasal 33 UU Advokat Bab XII Ketentuan Peralihan berbunyi: "Kode Etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM pada tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut undang-undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.
  • Pasal 30 ayat (2) UU Advokat Bab X Organisasi Advokat berbunyi : "Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan undang-undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat".Yang dimaksutkan adalah Organisasi Advokat sebagai anggota (original member) dari KKAI adalah IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, serta APSI berdasarkan perintah pembentuk UU Advokat.
  • Mempertimbangkan dinamika perkembangan lahirnya organisasi profesi advokat baru yang tak terelakkan, maka Organisasi Profesi Advokat yang lahir setelah diundangkannya UU Advokat No. 18.Tahun 2003 dapat ditetapkan menjadi anggota (member) KKAI baik sebagai anggota sementara maupun anggota tetap atas persetujuan KKAI.

Kesimpulan (11)

  • UU Advokat No.18.Tahun 2003 tidak perlu dilakukan revisi;
  • UU Advokat No.18.Tahun 2003 telah mengesahkan keberadaan Kode Etik Advokat bersama Indonesia secara mutatis mutandis sah secara hukum.Kode Etik Advokat bersama Indonesia Pasal 22 sudah mengatur mengenai peran KKAI sebagai wadah organisasi profesi advokat;
  • Bentuk Organisasi Advokat menurut UU Advokat No. 18 Tahun 2003 adalah multy bar dalam bentuk konfederasi yang bersifat kolektif kolegial sebagai wadah bersama advokat Indonesia yaitu KKAI;
  • Setelah lahirnya UU Advokat tahun 2003, Mahkamah Agung RI berdasarkan Surat Edaran nomor : KMA/445/VI/2003 Perihal pelaksanaan Undang-Undang No. I8 tahun 2003 tentang Advokat telah mengakui (recognition) KKAI sebagai Organisasi Profesi Advokat;
  • Seluruh Ketua Umum dan/atau Sekretaris Jenderal dari organisasi profesi advokat yang sah berdasarkan UU Advokat No. 18 Tahun 2003 secara Ex-Officio adalah anggota dari KKAI yang memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan nasional untuk kepentingan advokat;
  • Kewenangan penyelenggaraan ujian advokat dan PKPA diserahkan kepada anggota KKAI yaitu organisasi profesi advokat dipertanggungjawabkan kepada KKAI;
  • Anggota Advokat dari organisasi profesi advokat setelah dilakukan penyumpahan di pengadilan tinggi di dilaporkan ke KKAI untuk diterbitkan Kartu Advokat Republik Indonesia;
  • KKAI melaporkan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung RI guna kepentingan pendataan anggota advokat secara nasional;
  • KKAI segera Membentuk Dewan Kehormatan Bersama dan Membentuk Komisi Pengawasan Advokat;
  • Perpecahan organisasi profesi advokat diselesaikan melalui forum KKAI tidak perlu menempuh jalur gugatan melalui Pengadilan Negeri maupun PTUN;
  • KKAI memiliki anggota tetap (the original member) yaitu Organisasi Profesi Advokat yang lahir sebelum lahirnya UU Advokat No. 18 Tahun 2003 yaitu IKADIN; AAI; IPHI; HAPI; SPI; AKHI; HKHPM ;
  • Pembatasan organisasi advokat secara limitatif, oleh pembentuk undang-undang adalah konsitusional, mengingat advokat adalah profesi penegak hukum, sehingga jika tidak dilakukan pembatasan secara limitatif dikawatirkan, akan terjadi keadaan yang sulit (impossible) melakukan controlling, atas keberadaan organisasi advokat, yang pada akhirnya akan merugikan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang ;
  • Organisasi Profesi Advokat yang lahir, setelah lahirnya UU Advokat No. 18 Tahun 2003 antara lain PERADI; KAI; FERARI; dll, dalam forum rapat KKAI dapat menjadi anggota tetap, atau anggota tidak tetap, sesuai dengan keputusan forum rapat KKAI, berdasarkan tujuan hukum yang mendasarkan pada asas kemanfaatan hukum sebagai perlawanan dari asas kepastian hukum.
  • Secara juridis formil Mahkamah Agung RI pada tanggal 25 Juni 2003 telah mengeluarkan kebijakan politik (legal policy) sebagai bentuk nyata dari adanya kemauan politik dari pemerintah (political will) dengan dikeluarkannya surat edaran nomor: KMA/445/VI/2003 Perihal pelaksanaan Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat telah menetapkan KKAI sebagai Organisasi Profesi Advokat;

Penutup (12)

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia,

Hadirin pengunjung sidang yang saya hormati,

Demikian keterangan Ahli saya berikan berdasarkan kemampuan yang saya miliki, sesuai dengan keadaan yang sebenar-benarnya, berdasarkan keilmuan yang saya yakini atas kebenarannya. Semoga berguna dan bermanfaat untuk kepentingan masa depan para advokat selaku penegak hukum khususnya demi kepentingan darma baktinya kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Kiranya demi menjaga harkat dan martabat profesi advokat di Indonesia, Majelis Hakim Konstitusi RI dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya dengan mengartikulasikan Frasa Organisasi Profesi Advokat Indonesia sebagaimana kehendak dari pembentuk UU Advokat adalah KKAI sebagaimana telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung RI secara formal dalam bentuk Surat Edaran Nomor : KMA/445/VI/2003 Perihal pelaksanaan Undang-Undang Nomor : I8 tahun 2003 tentang Advokat.

Keterangan Ahli yang saya beri judul "Konstitusionalitas Organisasi Profesi Advokat Sebagai Satu-Satunya Forum Organisasi Profesi Advokat Indonesia " tersebut semata-mata didorong, oleh rasa bertanggungjawab saya, selaku salah seorang saksi sejarah, yang terlibat langsung baik sebelum maupun sesudah lahirnya UU Advokat tahun 2003. Selain itu juga tercatat, sebagai salah satu anggota, penandatanganan selaku deklarator atas lahirnya KKAI pada tanggal 22 januari tahun 2002. Tentu saja perasaan saya selaku manusia biasa, sungguh terharu, sejak lebih kurang tahun 1995 sewaktu jumlah organisasi profesi advokat masih terdiri dari IKADIN, AAI, IPHI, Alhamndulilah Tuhan YME masih memberikan berkesempatan kepada saya untuk mengikuti dinamika, bersama-sama advokat senior lainnya dalam perjuangan meningkatkan kesetaraan antara Para Penegak Hukum Hakim, Advokat, Jaksa, Polisi dalam catur wangsa. Setelah 18 tahun UU Advokat lahir kita telah lalai meninggalkan KKAI sebagai wadah kita bernaung sebagai satu-satunya Forum Organisasi Profesi Advokat perlu kita kembali ke KKAI dalam rangka mengemban tugas profesi mulia sebagai advokat (officium Nobile). Masih ada kesempatan untuk berbuat lebih baik dengan jabatan profesi advokat dalam wadah bersama KKAI.Semoga advokat Indonesia mampu mendarmabaktikan profesinya untuk kepentingan bangsa dan negara serta dalam rangka mengangkat harkat dan derajat diri kita sebagai advokat yang senantiasa harus dan wajib berjuang untuk kepentingan keluarga.

Para Pengurus dari Organisasi-Organisasi Profesi Advokat tidak perlu saling menghardik dan menyalahkan antara yang satu dan lainnya, sebaiknya segera menyatu untuk bersatu untuk menyelamatkan keadaan profesi advokat yang semakin jauh dari cita-cita officium nobile. Negara dan Bangsa Indonesia yang berideologi Negara Pancasila sangat memerlukan kehadiran advokat yang negarawan dalam rangka memperjuangkan terwujudnya keadilan untuk rakyat Indonesia yang semakin lama akan semakin tersisihkan oleh arus global yang sulit terelakkan. Advokat sebagai the guardion of justice (penjaga keadilan) dalam forum KKAI akan mampu menyelamatkan Bangsa Indonesia dari rongrongan baik yang datang dari dalam/luar negeri dalam berbagai modus operandi-nya yang merugikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Cita-cita terbentuknya kesetaraan catur wangsa tersebut, dari awal berdasarkan pengalaman saya, secara pro aktif telah difasilitasi oleh Pemerintah, melalui Departemen Kehakiman RI. Bahkan Mahkamah Agung RI di era Prof. Bagir Manan, telah menegaskan secara hukum sebagai representasi dari kemauan politik pemerintah (political will) , setelah lahirnya UU Advokat tahun 2003 telah ditegaskan Organisasi Profesi Advokat yang dimaksud adalah KKAI. Sekarang tinggal berpulang dari para Advokat itu sendiri, akan dibawa kemana arah perjuangan advokat ini. Indonesia sebagai Negara Hukum (rechtstaad) dalam Perspektif Teori Trias Politika, telah melaksanakan kewenangannya secara proporsional, sehingga saat ini seorang advokat sudah diberi status secara hukum sebagai penegak hukum oleh undang-undang, sejajar dengan Hakim, Jaksa, Polisi.

Jika para pemegang kepentingan (stakeholder) para advokat, yang telah tergabung di organisasi-organisasi profesi advokat, tidak segera menyadari kesalahannya sendiri (introspeksi) yang selama ini terjadi, maka kemungkinan besar advokat Indonesia, dalam perannya selaku penegak hukum, dalam kaitannya dengan fungsi pembentukan negara hukum yang modern dan demokratis sulit terwujud. Bahkan yang mungkin akan terjadi secara tragis/menyedihkan, antar advokat sendiri sulit terhindar dari perilaku saling menghancurkan (destroyer) dalam menjalankan profesinya selaku advokat. Semoga Tuhan YME menolong Advokat Indonesia, dalam kiprahnya melaksanakan tugas pengabdiannya selaku penegak hukum, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian semoga Tuhan YME menolong kita semua dalam mewujudkan rasa keadilan yang tulus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jikalau dalam keterangan Ahli yang saya sampaikan terdapat tutur kata yang tidak berkenan.

Wassalamualaikum.Wr.Wb.

Jakarta 09/11/2018

Dr. Suhardi Somomoeljono, S.H., M.H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun