“Baiklah putrinya Raka, aku akan mengabulkannya. Jangan katakan ini sebagai harapan terakhir, aku masih mau mengabulkan harapanmu yang lain.”
“Benarkah!.”
“Iya, tapi jangan yang aneh- aneh ya.”
Setelah hari itu, Cheonsaku yang manis tidak terlihat lagi. Tunggu.... ‘Cheonsaku yang manis’ bukan maksudku Cheonsa Raka yang manis.
Tiga bulan telah berlalu, dimana Cheonsa sekarang? Puisinya telah habis aku bacakan untuk sang pangeran. Raka selalu menanyakan puisi cinta itu padaku, Rasanya ingin aku bunuh dia dengan tanganku sendiri. Kenapa dia menagih surat yang membuat perasaanku hancur itu kepadaku harusnya ia tanyakan langsung pada Cheonsa.
“Aku merindukannya Arya.” Kata- kata Raka membuatku merasa terbebani. Sungguh, aku juga sangat merindukan Cheonsa.
Hari ini aku mencari sosok Cheonsa. Tiga bulan aku kehilangan tawanya, senyumnya, dan suaranya. Mungkin aku telah terbiasa kehilangan semua itu. Namun, akhir- akhir ini aku sangat mengkhawatirkannya. Entahlah, rasanya seluruh pikiranku hanya tertujuh pada dirinya.
Dua hari yang lalu, aku mendapatkan sebuah alamat yang terlihat begitu bercahaya. Sungguh, mungkinkah aku akan melihat Cheonsa lagi? Mungkinkah aku akan disambut hangat oleh sang putri?.
Harapan singkatku membuat diriku jatuh ke dalam jurang tanpa udara. Nafasku begitu sesak untuk diriku bertahan hidup. Samar- samar aku baca tulisan yang mulai kusam di tengah karangan bunga itu. Air mataku rasanya tidak pantas untuk menggambarkan perasaanku saat ini. Aku laki- laki terbodoh di dunia.