Kau pikir siapa yang paling beruntung di dunia ini jika bukan makhluk yang dianugerahi oleh sepasang sayap dan kaki. Mengapa harus dianugerahi sayap jika sudah mempunyai kaki. Bukankah itu tak adil? Sementara aku tak mempunyai keduanya.
"Kau pikir, apa tujuan mereka melakukan itu?"
"Mengubah tempat ini menjadi seperti yang mereka inginkan tentu saja."
"Jadi, di mana kita akan tinggal jika mereka menebang semua pohon yang ada di hutan ini?"
Hening sejenak, lalu tanpa jawaban dua makhluk dengan sepasang sayap dan kaki itu pun pergi, meninggalkan aku yang kini sibuk menerka kemungkinan-kemungkinan berdasar apa yang baru saja mereka cakap.
  ***
Kekuatan fisik Merbau semakin melemah. Kuanggap itu hal yang wajar. Karena seperti makhluk-makhluk pada umumnya, kami pun mengalami kerentaan seiring dengan bertambahnya usia. Akibatnya, risau kerap menghampiri dan menghantuinya di setiap detik terpaan angin, memaksanya untuk terus berpegang erat pada dasar tanah yang dia tempati itu.
Ya, mungkin tak masalah jika angin yang datang hanya berembus pelan atau sekadar membawanya menari-nari ringan bersama. Tetapi bagaimana jika angin yang datang di kemudian lagi mampu menumbangkannya?
Tentu dia akan kehilangan tubuhnya.
Dan apa kau tahu? Aku belum cukup tua, tapi aku pernah nyaris mengalami itu.
***
Hal yang langka kujumpai pagi ini. Segerombolan hewan berkaki empat melintas tergesa di hadapanku. Dan Harimau adalah salah satunya. Kau tahu Harimau bukan? Dia adalah jenis kucing terbesar dari spesiesnya, bahkan lebih besar daripada Singa. Tetapi tentu bukan itu, yang kumaksud langka di sini adalah: segerombolan Harimau itu melintas dengan dua ekor Rusa yang berjarak tak jauh dari mereka, dan jangan pula lupakan beberapa ekor Singa yang ada di antaranya.
"Apa dunia akan kiamat?" tanya Merbau. Â Â Â Â
"Kenapa berpikir begitu?" Meranti balik bertanya.
"Apa tak kau lihat yang barusan itu?"
"Lalu apa yang salah dengan itu?"
Lagi-lagi berupa tanya.
"Sudahlah. Mungkin kau tak sepemikiran denganku."
Hal yang kemudian membuat Meranti tertawa-tawa. "Jangan karena usia yang sudah menggerogoti lalu kau jadi berpikir dunia akan segera kiamat, Wit Tua!"
***
Kali ini Rusa, Kancil, Beruang, Kera, Harimau dan hewan-hewan berkaki lainnya kulihat melintas lebih tergesa dibanding hari yang lalu. Mereka tak melintas secara bersamaan. Awalnya segerombolan Rusa dan Kancil, lalu Kera, lalu Beruang, lalu Harimau, lalu Singa, bergantian. Kulihat wajah-wajah itu tampak ketakutan. Beberapa kali mereka menoleh ke belakang, entah apa yang dilihat. Dan itu terus berlangsung, karena pemandangan yang sama kujumpai esoknya lagi, esoknya lagi, esoknya lagi, hingga kurasa hampir seluruh hewan penghuni sepertinya sudah pergi meninggalkan hutan ini. Meski begitu, aku hanya menerka, tak ribut bertanya-tanya seperti yang dilakukan Mahoni, Keruing, Waru, Meranti, Akasia dan sederet kawan lainnya.
"Seberapa keras pun kau berteriak, tak akan bisa hewan-hewan itu mendengar suaramu, Bodoh."
Dan rupanya hanya Merbau yang berpikir jika itu sia-sia.
***
Mula-mula hanya suara. Suara bising yang terkesan aneh itu sudah kudengar sejak dua hari lalu setelah perginya hewan-hewan penghuni dari hutan ini. Seolah bergerak, suara itu datang bersama hembusan angin. Semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat, tetapi kemudian menghilang.
"Suara itu terdengar lagi."
Jika kau berpikir begitu, maka kau benar. Karena suara itu kembali datang beberapa saat setelahnya, semakin dekat dan keras. Memasang indraku tajam-tajam, aku ingin mendengarnya lebih jelas. Namun, lagi-lagi suara itu menghilang, muncul lagi lalu menghilang, muncul, hilang, muncul, hilang, muncul, hilang. Lalu, karena terus saja seperti itu, pada akhirnya aku enggan untuk memikirkannya.
***
Ada dua hal yang ingin kuberitahu padamu. Pertama, ini tentang suara itu. Kau mungkin bosan saat lagi-lagi aku menyebut suara itu, di saat yang sama padahal aku sendiri tidak tahu tentang suara itu, suara apa itu atau suara siapa itu. Tetapi, pagi ini tidak lagi seperti itu. Akan kuberitahu padamu, jika merekalah pemilik suara itu. Ah, lagi-lagi kau pasti tak tahu siapa itu mereka yang kumaksud. Kau tahu? Mereka hanya sebuah alat yang menjulur panjang dan bergerigi tajam.
Kedua, ini memang bukan kiamat, tapi hampir sama halnya dengan kiamat aku---ah, kami pasti akan mati sebentar lagi.
***
Suara bising yang berasal dari beberapa alat itu tak lagi membuat kami sibuk menerka-nerka. Semenyeramkannya suara itu tak sebanding dengan apa yang ditimbulkan karenanya. Mereka---para pelaku---menggunakan alat itu untuk menumbangkan satu per satu tubuh kami. Â Merbau, atau yang kerap Meranti ejek 'Wit Tua' adalah yang paling menderita karena mendapat giliran pertama. Tubuh menjulang yang awalnya memang berdiri renta itu kini sudah tergeletak tak berdaya. Meski begitu, tak kudapati dia menjerit atau sekadar mendesis tanda kesakitan. Barangkali, di tengah kerentaannya itu ia merasa senang karena tak harus mati seorang diri.
Oleh kerenanya, aku pun mencoba untuk tak takut. Saat giliranku tiba, suara bising yang sungguh memekakkan telinga itu tak lagi mengusikku, terlebih saat para pelaku itu mulai menjulurkan alatnya mendekatiku, menempatkannya pada bagian dasar tubuhku dan nyaris menyentuh tanah sejengkal lagi.
Di tengah nasib menyusul Merbau, aku menggumam. "Mengapa aku harus kehilangan dunia secepat ini?"
***
Walau tak berharap mati, tapi kupikir aku akan mati. Namun, saat ternyata masih diberi hidup, kini aku benar-benar berharap mati.
Suara itu masih ada, bukan lagi berasal dari alat yang menjulur panjang dan bergerigi tajam, melainkan berasal dari alat yang jauh lebih mengerikan. Aku tak bisa berbuat apa-apa saat alat itu terus mendorong tumpukan tanah lurus ke depan dan ke samping. Aku masih menatap hingga ketika alat itu bergerak ke arahku. Seketika rasa panik menyerang, dan kini aku tidak lagi dapat melihat semua itu, sepenuhnya tubuhku telah tertimbun tumpukan tanah. Lalu aku merasa beban yang amat berat menimpa tubuhku, memaksa tubuh yang amat kerdil ini untuk melesak semakin dalam.
 "Hei! Hei!" Aku berseru-seru. "Ada yang bisa mendengarku?"
"Aku mendengarmu, Jati."
"Aku mendengarmu, Jati."
"Aku mendengarmu, Jati."
Namun, hanya ada kekosongan, dan semua kekosongan ini sangat gelap. Aku tidak lagi bisa menatap meski hanya sekadar hamparan luas yang panas dan gersang. Aku tidak lagi bisa melihat semburat jingga saat terbit dan terbenamnya matahari di timur dan barat. Aku tak lagi bisa melihat gemerlap malam yang timbul karena banyaknya titik cahaya yang berhamburan. Semua terenggut secara paksa.
"Apa aku akan hidup seperti ini sampai waktu yang tidak ditentukan?"
***
Setelah berhari-hari aku masih di sini, tetap di sini, tertimbun di balik tumpukan tanah yang menyembunyikan sisa tubuhku di dalamnya. Dan tepat saat ini, entah itu siang atau malam, aku kembali mendengar suara itu lagi. Suara itu melintas, melewatiku dengan beban berat yang mereka bawa tanpa peduli sedikitpun pada banyaknya tubuh yang tertimpa di bawahnya.
"Apa mereka akan pergi?"
***
Setelah berminggu-minggu pun aku masih di sini, tetap di sini, tertimbun di balik tumpukan tanah yang menyembunyikan sisa tubuhku di dalamnya. Dan tepat saat ini, entah itu siang atau malam, aku kembali mendengar suara lagi, suara ini datang dan menetap hingga beberapa waktu yang tak bisa aku perkirakan. Namun, kali ini bersama getar-getar aneh yang tak pernah kurasa sebelumnya.
"Apa para pelaku itu yang melakukannya?"
***
Setelah berbulan-bulan pun aku masih di sini, tetap di sini, tertimbun di balik tumpukan tanah yang menyembunyikan sisa tubuhku di dalamnya. Dan tepat saat ini, entah itu siang atau malam, aku tak lagi mendengar suara-suara itu. Sebagai gantinya, ada beban berat yang entah apa, yang suara-suara itu tinggalkan.
"Apa yang sedang kusunggi saat ini?"
***
Setelah bertahun-tahun pun aku masih di sini, tetap di sini, tertimbun di balik beban berat, yang teramat berat, yang dulunya suara-suara itu tinggalkan, beban yang menindas sisa tubuhku di dalamnya. Dan sudah beberapa tahun ini pula, entah itu siang atau malam, suara-suara bising kembali datang. Berat dan menggetarkan, melintas tanpa jeda.
"Apa masih berupa alat?"
***
Nyaris berpuluh tahun pun aku masih di sini, tetap di sini, tertimbun di balik beban berat, yang teramat berat, yang masih setia menyembunyikan sisa tubuhku di dalamnya. Dan sudah beberapa saat ini, entah itu siang atau malam, aku mengalami sesuatu yang janggal. Tubuhku tidak lagi mampu menyerap banyaknya air yang ada di bawah sana. Hingga pada akhirnya air itu melimpah ruah, menyelimuti keseluruhan sisa tubuhku. Samar-samar bisa kudengar suara deburan air itu di luar sana, bercampur dengan suara-suara lain yang melintas.
Di saat tubuhku tidak lagi mampu menyerap banyaknya air yang melimpah ruah, aku malah sibuk bertanya-tanya. "Apa yang sedang terjadi di luar sana?"
***
Hingga sudah berpuluh tahun pun aku masih di sini, tetap di sini, hidup dalam kerentaan yang teramat sangat. Sisa tubuhku tidak lagi sekuat dulu. Bahkan aku bisa merasakan ada beberapa bagian kosong di dalam tubuhku sendiri. Untuk beberapa alasan membuatku menerka-nerka. Â "Apa aku akan mati?"
Dan tepat beberapa tahun terakhir dari berpuluh-puluh tahun ini, entah itu siang atau malam, limpahan ruah air yang menyelimuti sisa tubuhku bukan lagi sesuatu yang janggal untuk kurasakan. Kerap kali hal itu terjadi, dan aku hanya bisa berpasrah saat tubuh ini selalu tidak mampu menyerap banyaknya air yang ada. Meski begitu, aku tidak lagi sibuk menerka-nerka tentang apa yang terjadi di luar sana. Aku mulai merasa inilah akibat yang timbul dari aktivitas yang pernah mereka lakukan berpuluh tahun dulunya.
"Untuk duniaku yang dulunya pernah aku anggap menghilang, bersama tubuh yang teramat renta ini, aku rasa duniaku akan benar-benar menghilang sekarang."
***
SELESAI
Baca juga cerpen lainnya di blog Gufron Aksara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H