Mohon tunggu...
Sri Lestari
Sri Lestari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Reader & Blogger

Never give up and always learrn to be better

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kehilangan Dunia

1 April 2022   19:15 Diperbarui: 16 April 2022   11:30 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dan rupanya hanya Merbau yang berpikir jika itu sia-sia.

***

Mula-mula hanya suara. Suara bising yang terkesan aneh itu sudah kudengar sejak dua hari lalu setelah perginya hewan-hewan penghuni dari hutan ini. Seolah bergerak, suara itu datang bersama hembusan angin. Semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat, tetapi kemudian menghilang.

"Suara itu terdengar lagi."

Jika kau berpikir begitu, maka kau benar. Karena suara itu kembali datang beberapa saat setelahnya, semakin dekat dan keras. Memasang indraku tajam-tajam, aku ingin mendengarnya lebih jelas. Namun, lagi-lagi suara itu menghilang, muncul lagi lalu menghilang, muncul, hilang, muncul, hilang, muncul, hilang. Lalu, karena terus saja seperti itu, pada akhirnya aku enggan untuk memikirkannya.

***

Ada dua hal yang ingin kuberitahu padamu. Pertama, ini tentang suara itu. Kau mungkin bosan saat lagi-lagi aku menyebut suara itu, di saat yang sama padahal aku sendiri tidak tahu tentang suara itu, suara apa itu atau suara siapa itu. Tetapi, pagi ini tidak lagi seperti itu. Akan kuberitahu padamu, jika merekalah pemilik suara itu. Ah, lagi-lagi kau pasti tak tahu siapa itu mereka yang kumaksud. Kau tahu? Mereka hanya sebuah alat yang menjulur panjang dan bergerigi tajam.

Kedua, ini memang bukan kiamat, tapi hampir sama halnya dengan kiamat aku---ah, kami pasti akan mati sebentar lagi.

***

Suara bising yang berasal dari beberapa alat itu tak lagi membuat kami sibuk menerka-nerka. Semenyeramkannya suara itu tak sebanding dengan apa yang ditimbulkan karenanya. Mereka---para pelaku---menggunakan alat itu untuk menumbangkan satu per satu tubuh kami.  Merbau, atau yang kerap Meranti ejek 'Wit Tua' adalah yang paling menderita karena mendapat giliran pertama. Tubuh menjulang yang awalnya memang berdiri renta itu kini sudah tergeletak tak berdaya. Meski begitu, tak kudapati dia menjerit atau sekadar mendesis tanda kesakitan. Barangkali, di tengah kerentaannya itu ia merasa senang karena tak harus mati seorang diri.

Oleh kerenanya, aku pun mencoba untuk tak takut. Saat giliranku tiba, suara bising yang sungguh memekakkan telinga itu tak lagi mengusikku, terlebih saat para pelaku itu mulai menjulurkan alatnya mendekatiku, menempatkannya pada bagian dasar tubuhku dan nyaris menyentuh tanah sejengkal lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun