Mohon tunggu...
Wira Sumantri
Wira Sumantri Mohon Tunggu... Lainnya - Random

.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kalung

27 Januari 2016   06:17 Diperbarui: 27 Januari 2016   09:11 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepuluh hari telah berlalu sejak kejadian tersebut. Lola hanya bisa menyesalkan semua yang sudah terjadi. Lamunan lesu di depan jendela membuatnya enggan untuk berangkat bekerja pagi ini. Matahari sudah meninggi, namun Lola masih tertegun. Ia menyesali keadaannya yang membuatnya seperti sekarang ini.

Haris, suaminya, yang bersiap-siap untuk berangkat ke kantor terusik dengan pemandangan yang tidak biasa pagi itu.

“Sayang, kenapa belum berangkat bekerja? Ini sudah waktu.” Tanya Haris.

“Iya, sebentar, aku ganti pakaian dulu.” Jawab Lola singkat.

“Ada apa denganmu, yang, kau begitu lesu.”

“Tidak kenapa, Haris, hanya kurang gairah saja hari ini.”

“Tumben kau seperti ini. Hmmm… Tidak! Beberapa hari belakangan ini kau tampak begitu muram. Dan kau tidak cerita denganku.”

“Mungkin hanya perlu istirahat saja, Haris.”

“Kau sakit Lola?”

“Tidak Haris, cukup! Berangkat saja ke kantor, nanti kau terlambat”

“Baiklah, jaga kondisimu, aku berangkat.”

Haris berangkat ke kantornya, sementara Lola berangkat ke restoran makanan khas tradisional dekat rumahnya. Suaminya bekerja di salah satu perusahaan perbankan, namun jabatannya masih rendah. Dia hanya dua kali naik jabatan dalam 10 tahun belakangan ini. Sedangkan Lola hanya pelayan restoran yang penghasilannya tidak seberapa.

Saat Lola melewati teras restoran, perasaan itu muncul. Lola merasakan berat dalam hatinya. Emosinya berguncang dan ingat kembali dengan kejadian sepuluh hari lalu. Lola bekerja tidak seperti biasanya seharian itu.

“Belakangan ini kau tampak beda, Lola?” Kata Marta, salah satu rekan kerja Lola.

“Entahlah, suasana ini begitu saja menghinggapiku.” Jawab Lola lesu.

“Lihatlah wajahmu, semakin jauh dari ceria. Kau juga jarang mengurus diri, terutama penampilanmu.”

“Ah… Bagaimanapun aku tetap cantik. Ini hanya sementara saja, kok.”

“Kau yakin?”

“Iya, aku yakin.”

“Bolehkah aku tahu itu?”

“Tahu apa?”

“Tentu saja suasana yang menghinggapimu Lola. Aku ke rumahmu nanti malam, oke?” Marta menawari.

“Tidak usah!” tolak Lola.

“Aku sahabatmu, Loi. Ceritakanlah padaku. Itu kebiasaanmu jika ada masalah, bukan? Kenapa sekarang kau tidak mau menceritakannya padaku?” Rayu Marta pelan.

“Baiklah, kalau itu maumu.” Lola mengiyakan tawaran Marta.

Mereka berdua menutup percakapan dengan usapan terakhir di atas meja. Restoran akan segera tutup.

***

Malam itu Lola duduk di sofa dengan tatapan kosong, sembari menunggu Haris datang dari kantor. Secangkir teh diharapkan mempu mengurangi rasa sesal Lola. Ia masih termenung akan sesuatu yang kerap membuatnya kadang-kadang gelisah. Waktu menunjukkan pukul tujuh, suaminya baru pulang.

“Kau tidak apa-apa sayang?” Tanya Haris sembari melepas simpulan dasi.

“Menurutmu? Aku tak tahu bagaimana memulainya.” Balas Lola sambil meneguk teh.

“Jadi, ada sesuatu yang kau tak bicarakan kepadaku?”

“Bukan tidak, bukan, tapi yang belum aku bicarakan.”

“Sekarang, bicarakan saja, apa itu. Belakangan ini kau tampak menyembunyikan sesuatu dariku.”

“Apa kau tidak lelah dengan kondisi kita saat ini?”

“Maksudmu?” tanggap Haris kebingungan.

“Harusnya kita sudah meninggalkan kondisi ini jauh-jauh hari. Aku lelah dengan kecukupan kita.”

“Kecukupan dari segi materi?”

“Nah, kau tahu.”

“Iya, aku tahu. Harusnya jauh sebelumnya kita sudah menaikan kelas kehidupan kita. Terutama materi, seperti yang kau idam-idamkan.”

Lola terdiam sejenak sambil mengusap wajahnya dan menarik nafas panjang.

“Kau tahu, aku bekerja siang malam untuk melunasi hutang itu. Selama sepuluh tahun ini aku lupa bagaimana caranya bersenang-senang. Menikmati hasil jerih payah sendiri!” Haris sedikit geram.

“Aku turut membayar hutang itu juga!” Lola membalas.

“Apakah sebanding!? Aku malas berdebat denganmu. Aku mau istirahat.

Haris meninggalkan Lola sendiri di sofa. Lola khawatir jika ia mengatakan sejujurnya. Lola takut.

Tidak lama kemudian Marta datang dengan wajah yang sedikit kalem, karena tidak tahu apakah Lola mau menceritakan ini. Marta duduk di samping Lola sembari memegang pundaknya. Lola melihat Marta dengan tatapan kosong.

“Kenapa Lola? Mana suamimu?” Tanya Marta.

“Dia sudah tidur. Aku takut Marta…”

“Ceritakan saja, Loi…”

***

Aku ingat saat diberi undangan pesta dari kantornya Haris. Dia mengajakku ikut saat itu, karena tidak semua undangan diberi di kantornya. Hanya orang-orang yang jabatannya tinggi saja. Sementara Haris saat itu jabatannya masih rendah, dan beruntungnya ia mendapat undangan tersebut karena ia memang dikenal dengan kinerjanya yang bagus. Beberapa rekannya yang jabatannya rendah juga dapat, namun itu hanya segelintir.

Aku awalnya menolak pergi ke pesta tersebut, terlebih saat itu aku tidak punya sesuatu yang mewah. Aku hanya punya gaun putih dan beberapa perhiasan biasa. Aku tidak percaya diri kalau hadir di pesta itu. Tetapi Haris tetap kukuh mengajakku kesana, ia tidak ingin menyiakan undangan tersebut.

Gaun putih itu saja sudah cukup baginya, namun bagiku itu belum. Tanpa perhiasan yang memadai aku benar-benar kurang percaya diri. Saat itu aku ada seorang teman yang memang kekayaan harta yang lebih. Perhiasaannya yang mahal tidak pernah lepas memeluk bagian lekuk bagian tubuhnya. Nina teman sejawatku sejak bangku sekolah. Dari segi kondisi materi dia jauh lebih kaya daripada aku.

Terbesit dalam pikiranku kenapa tidak meminjam salah satu perhiasan yang dia punya? Aku pun mendatanginya dan berniat meminjam salah satu perhiasannya. Dia dengan senang hati memperbolehkanku memilih perhiasannya. Segala macam kalung, gelang, anting dan cincin dengan harga yang mahal terpampang di dalam lacinya. Dia membuka semua kotak perhiasannya dan menunjukkannya padaku. Aku bingung harus memilih perhiasan yang mana. Mataku tertuju pada kalung berlian yang berkilau. Harganya pasti mahal dan jarang dimiliki banyak orang. Dengan mulut tergagap-gagap aku menujuk kalung tersebut. Nina memperbolehkanku meminjam kalung itu hanya untuk pesta besar tersebut.

Dengan kalung berlian yang melekat di leher, aku sangat percaya diri. Semua orang di pesta tersebut menoleh ke arahku. Aku bersanding dengan orang-orang kaya yang di sana. Aku berkenalan dan berdansa dengan banyak orang. Aku menikmati suasana pesta tersebut. Itu mungkin hiburan besar yang pernah kualami seumur hidupku. Hingga pesta selesai, aku dan Haris pulang dengan senang hati. Tidak rugi Haris mengajakku untuk bersenang-senang malam itu.

Sampai di rumah aku melepas mantel dan menyadari ada sesuatu yang janggal. Kalung berlian di leherku itu tidak ada! Aku memeriksa tas dan di sekitarku, mungkin saja kalung itu jatuh. Aku memberi tahu Haris dan dengan rasa tidak percaya, ia meyakinkanku untuk memeriksanya lagi. Kalung itu kemungkinan saja jatuh di pesta atau saat berjalan pulang. Haris lalu menyusuri jalan yang kami lewati saat pulang. Aku tidak percaya kalung berlian yang harganya mahal itu hilang. Apa yang harus aku katakan kepada Nina?

Haris kembali dengan tangan kosong ia tidak menemukan kalung itu sepanjang jalan pulang. Aku sangat takut bila harus mengatakan ke Nina kalau kalungnya hilang. Aku masih dibekap rasa takut yang luar biasa. Sementara Haris merundingkan denganku untuk mengganti kalung tersebut. Tidak ada acara lain selain mengganti kalung itu dengan yang sama persis.

Aku minta ke Nina untuk meminjam kalungnya sedikit lebih lama. Jelas itu bukan untuk kupinjam lagi, melainkan untuk memperpanjang waktu mencari cara untuk mengganti kalung berliannya. Aku dan Haris mencari toko perhiasan yang menjual kalung yang sama persis. Beberapa toko sudah kami kunjungi, namun jarang yang menjual kalung berlian itu, karena memang kalung itu harganya mahal.

Di salah satu toko perhiasan besar, aku akhirnya menemukan kalung berlian yang sama persis dengan kalung yang aku hilangkan. Mau tidak mau, kalung itu harus kubeli, berapapun harganya. Aku menyuruh penjual itu membuat motif kalung yang sama persis dengan miliknya Nina. Tentu saja aku dan Haris harus merogoh kocek yang sangat dalam untuk harga kalung itu. Kalung berlian itu dibanderol dengan harga 200 juta rupiah! Aku sempat tidak yakin akan mampu membayar harga itu. Namun dengan sangat terpaksa, kami membayar hanya untuk uang muka saja, sisanya kami tanggung sampai lunas.

Kalung itu aku kembalikan ke Nina, tapi ia tidak merasa ada yang aneh dengan gelagatku saat itu. Ia tidak memperhatikan kalung yang kuberi di dalam kotak tersebut. Kalung itu hanya diterimanya saja tanpa membuka kotak itu.

Setelah mengembalikannya, aku bekerja keras siang malam untuk melunasi hutang kalung itu. Begitu juga Haris yang tidak kenal lelah sampai harus lembur untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Bertahun-tahun kami habiskan hanya untuk membayar kalung itu. Tidak pernah kami sisakan uang itu untuk sekedar bersenang-senang. Karena penagih hutang terus mencari kami. Sepuluh tahun dengan penuh tekanan dan rasa lelah kami habiskan hanya untuk kalung itu.

“Kau melunasi hutang itu?” Tanya Marta ke Lola.

“Tentu saja, sebulan yang lalu aku melunasi semuanya, tuntas, tidak ada sisa lagi.” jawab Lola.

“Harusnya kau senang bisa melunasi kalung itu, bukan?”

“Iya, harusnya aku senang bisa melunasi hutang itu.” kata Lola yang mulai meneteskan air mata.

“Kenapa menangis Loi?

“Apa yang harus aku lakukan, Marta?”

“Melakukan apa Lola? Kau mulai terus-menerus kecewa. Beberapa hari belakangan ini kau nampak berubah.”

“Iya, Mar… Sepuluh hari yang lalu aku bertemu Nina!” Lola menangis terisak-isak.

“Lalu, ada apa dengan Nina? Bukannya kau sudah mengembalikkan kalung itu sama persis?’

“Aku bertemu dengannya di teras restoran, aku melihatnya menggunakan kalung berlian itu di lehernya. Aku mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku menangis di depannya, aku geram andaikan saja aku tidak menghilangkan kalung itu, tentu saja kondisiku tidak akan menjadi seperti saat ini.”

“Lalu?”

“Kalung yang Nina pinjamkan kepadaku untuk undangan pesta delapan tahun lalu itu hanya kalung imitasi, bukan kalung asli. Harganya tak sampai 500 ribu rupiah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun