Haris kembali dengan tangan kosong ia tidak menemukan kalung itu sepanjang jalan pulang. Aku sangat takut bila harus mengatakan ke Nina kalau kalungnya hilang. Aku masih dibekap rasa takut yang luar biasa. Sementara Haris merundingkan denganku untuk mengganti kalung tersebut. Tidak ada acara lain selain mengganti kalung itu dengan yang sama persis.
Aku minta ke Nina untuk meminjam kalungnya sedikit lebih lama. Jelas itu bukan untuk kupinjam lagi, melainkan untuk memperpanjang waktu mencari cara untuk mengganti kalung berliannya. Aku dan Haris mencari toko perhiasan yang menjual kalung yang sama persis. Beberapa toko sudah kami kunjungi, namun jarang yang menjual kalung berlian itu, karena memang kalung itu harganya mahal.
Di salah satu toko perhiasan besar, aku akhirnya menemukan kalung berlian yang sama persis dengan kalung yang aku hilangkan. Mau tidak mau, kalung itu harus kubeli, berapapun harganya. Aku menyuruh penjual itu membuat motif kalung yang sama persis dengan miliknya Nina. Tentu saja aku dan Haris harus merogoh kocek yang sangat dalam untuk harga kalung itu. Kalung berlian itu dibanderol dengan harga 200 juta rupiah! Aku sempat tidak yakin akan mampu membayar harga itu. Namun dengan sangat terpaksa, kami membayar hanya untuk uang muka saja, sisanya kami tanggung sampai lunas.
Kalung itu aku kembalikan ke Nina, tapi ia tidak merasa ada yang aneh dengan gelagatku saat itu. Ia tidak memperhatikan kalung yang kuberi di dalam kotak tersebut. Kalung itu hanya diterimanya saja tanpa membuka kotak itu.
Setelah mengembalikannya, aku bekerja keras siang malam untuk melunasi hutang kalung itu. Begitu juga Haris yang tidak kenal lelah sampai harus lembur untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Bertahun-tahun kami habiskan hanya untuk membayar kalung itu. Tidak pernah kami sisakan uang itu untuk sekedar bersenang-senang. Karena penagih hutang terus mencari kami. Sepuluh tahun dengan penuh tekanan dan rasa lelah kami habiskan hanya untuk kalung itu.
“Kau melunasi hutang itu?” Tanya Marta ke Lola.
“Tentu saja, sebulan yang lalu aku melunasi semuanya, tuntas, tidak ada sisa lagi.” jawab Lola.
“Harusnya kau senang bisa melunasi kalung itu, bukan?”
“Iya, harusnya aku senang bisa melunasi hutang itu.” kata Lola yang mulai meneteskan air mata.
“Kenapa menangis Loi?
“Apa yang harus aku lakukan, Marta?”