Tidak lama kemudian Marta datang dengan wajah yang sedikit kalem, karena tidak tahu apakah Lola mau menceritakan ini. Marta duduk di samping Lola sembari memegang pundaknya. Lola melihat Marta dengan tatapan kosong.
“Kenapa Lola? Mana suamimu?” Tanya Marta.
“Dia sudah tidur. Aku takut Marta…”
“Ceritakan saja, Loi…”
***
Aku ingat saat diberi undangan pesta dari kantornya Haris. Dia mengajakku ikut saat itu, karena tidak semua undangan diberi di kantornya. Hanya orang-orang yang jabatannya tinggi saja. Sementara Haris saat itu jabatannya masih rendah, dan beruntungnya ia mendapat undangan tersebut karena ia memang dikenal dengan kinerjanya yang bagus. Beberapa rekannya yang jabatannya rendah juga dapat, namun itu hanya segelintir.
Aku awalnya menolak pergi ke pesta tersebut, terlebih saat itu aku tidak punya sesuatu yang mewah. Aku hanya punya gaun putih dan beberapa perhiasan biasa. Aku tidak percaya diri kalau hadir di pesta itu. Tetapi Haris tetap kukuh mengajakku kesana, ia tidak ingin menyiakan undangan tersebut.
Gaun putih itu saja sudah cukup baginya, namun bagiku itu belum. Tanpa perhiasan yang memadai aku benar-benar kurang percaya diri. Saat itu aku ada seorang teman yang memang kekayaan harta yang lebih. Perhiasaannya yang mahal tidak pernah lepas memeluk bagian lekuk bagian tubuhnya. Nina teman sejawatku sejak bangku sekolah. Dari segi kondisi materi dia jauh lebih kaya daripada aku.
Terbesit dalam pikiranku kenapa tidak meminjam salah satu perhiasan yang dia punya? Aku pun mendatanginya dan berniat meminjam salah satu perhiasannya. Dia dengan senang hati memperbolehkanku memilih perhiasannya. Segala macam kalung, gelang, anting dan cincin dengan harga yang mahal terpampang di dalam lacinya. Dia membuka semua kotak perhiasannya dan menunjukkannya padaku. Aku bingung harus memilih perhiasan yang mana. Mataku tertuju pada kalung berlian yang berkilau. Harganya pasti mahal dan jarang dimiliki banyak orang. Dengan mulut tergagap-gagap aku menujuk kalung tersebut. Nina memperbolehkanku meminjam kalung itu hanya untuk pesta besar tersebut.
Dengan kalung berlian yang melekat di leher, aku sangat percaya diri. Semua orang di pesta tersebut menoleh ke arahku. Aku bersanding dengan orang-orang kaya yang di sana. Aku berkenalan dan berdansa dengan banyak orang. Aku menikmati suasana pesta tersebut. Itu mungkin hiburan besar yang pernah kualami seumur hidupku. Hingga pesta selesai, aku dan Haris pulang dengan senang hati. Tidak rugi Haris mengajakku untuk bersenang-senang malam itu.
Sampai di rumah aku melepas mantel dan menyadari ada sesuatu yang janggal. Kalung berlian di leherku itu tidak ada! Aku memeriksa tas dan di sekitarku, mungkin saja kalung itu jatuh. Aku memberi tahu Haris dan dengan rasa tidak percaya, ia meyakinkanku untuk memeriksanya lagi. Kalung itu kemungkinan saja jatuh di pesta atau saat berjalan pulang. Haris lalu menyusuri jalan yang kami lewati saat pulang. Aku tidak percaya kalung berlian yang harganya mahal itu hilang. Apa yang harus aku katakan kepada Nina?