Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Misteri Rumah Dinas Angker

19 Maret 2016   18:36 Diperbarui: 19 Maret 2016   18:40 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber Gambar: www.wylvera.com"][/caption]

Tantangan Nulis novel FC * 100 hari 50.000 kata *
Siti Swandari -- no. 16


Bab. IV. Mempersiapkan diri.

 

Sesudah makan siang, aku lihat suamiku mengeluarkan bedil, senjata api laras panjang, kaliber 5,6 mm sebuah.Walther.

Di bongkarnya senjata itu dibersihkan dengan teliti, diberi minyak pelumas khusus untuk senjata, kemudian di pasang lagi, dia memang ahli membongkar senapan.
 Bukan senapan saja, mobilpun akan diperbaiki sendiri jika rewel, itu salah satu hobinya.

Kita dahulu sering mempergunakan senjata untuk olahraga latihan tembak Perbakin di Surabaya.

Setelah beres membersihkan senjata itu, kita ingin mencoba kepiawaian kita dahulu.

Menuju ke halaman belakang dan dia memasang kayu yang di tancap ditanah, atasnya diberi kaleng, dari jarak kira-kira 20 meter, dia menembak.

Mengintai sejenak, ada teropong dibedil itu, terdengar lumayan keras ledakannya dan kaleng itu terpental, rupanya dia masih bisa tepat sasaran

Dia memasang lagi kaleng di atas kayu itu, dan senjata di serahkan padaku, aku intai , terdengar ledakan dan kaleng itu kembali terpental


Kami baru ingat jika punya bedil itu, kebetulan kita bawa serta juga waktu pindahke Palembang ini.

Aku ingin melatih lagi ketrampilan itu, untuk sekedar berjaga diri.

Keadaan semua itu yang memaksa kami untuk siap siaga dan selalu waspada.

Ada tantangan, pastinya kita harus siap untuk menghadapinya, gitu aja kok repot.

Pagi itu aku sedang olahraga di jalan setapak keliling rumah, dan melihat tanamanku yang makin subur.

Ada beberapa buah pepaya sudah mulai tua bergantungan di beberapa pohon. Banyak sekali pohon pepaya kita tanam disitu, berderet, berjejer. Semuanya sedang lebat berbuah.

Aku berjalan kedepan, di muka rumah ternyata ada dua pasang pria dan wanita.
Mereka melihat lihat ke halaman dalam rumah, dan saling bincang.

Ketika melihat aku. mereka kemudian mengangguk, dan menyapa.

”Ada apa ya, mencari sesuatu ?” aku tanya, kemudian mereka sebelumnya meminta maaf padaku.
Mereka berceritera jika tadi malam warga BRI di satroni lagi oleh maling

Terjadi kejar-kejaran sampai ke jalan besar, banyak yang mengejar memakai sepeda motor, tetapi mereka kehilangan jejak.

Sepertinya malingnya masuk kerumah ini dan mereka semua tidak berani mengganggu kami
”Sebentar-sebentar, nanti saya panggilkan suami saya.” aku katakan, rupanya suami sudah datang karena melihat ada ramai-ramai dimuka rumah.

Mereka kemudian berceritera tentang pengejaran maling itu dan langsung kita persilahkan mereka mencari. Jangan-jangan si maling masih bersembunyi di sekitar halaman rumah yang begitu luas ini.

Pak Pardi juga ikut bersama mencari dengan bapak-bapak yang aku lihat makin banyak berdatangan dan kita kemudian saling berkenalan

Rupanya di daerah ini memang ada maling dan penodong yang menjengkelkan warga sekitar.

“ Barangkali ada yang pernah melihat, bagaimana rupa orangnya ?” aku tanya

”Masih muda bu, umur sekitar 25-an, orangnya gempal, tinggi sedang, kulitnya putih dan rambut keriting. Tapi amat mengganggu ketentraman kita semua, kita kan jadi takut, tidak aman, meresahkan. Siang hari, waktu suami dikantor, dia sering beraksi.” Kata ibu-ibu, yang sepertinya jengkel.

Aku lihat bapak-bapak itu sudah kembali, ternyata maling itu memang tidak ada, sudah di cari sampai pelosok sudut pekarangan belakang.

Sudah di obrak-abrik semua tidak juga ketemu.

”Jangan-jangan lari ke hutan belakang, itu kan masih rimbun pohonnya?”

“Tapi pagar rumah ibu kan tinggi sekali, pasti sulit memanjat terus masuk kehutan ?”

Pagar itu setinggi 3 meter --  iya, mestinya orang kesulitan untuk melewatinya.

:”Dahulu pernah lari kehutan, kita kejar terus seharian, memang banyak bekas-bekasnya di sana. Sisa makanannya, juga bekas peralatan masak dan abu bakaran apinya.”

:”Tidak bisa ketemu ?,” aku tanya :” Tidak bu seperti hilang, sampai sore waktu itu kita carinya.” beberapa pria mengangguk membenarkan.

”Tadi malam dia kepergok lagi dan kita kejar, larinya ke jalan besar. Saya pakai sepeda motor, dia terus lari menuju jalan besar dan masuk kesini bu.” dia kelihatan amat yakin dengan penglihatannya

”Pernah juga kita mengejar dengan pak Pardi malam-malam di pekarangan ini, tetapi tidak ketemu, waktu itu ibu dan bapak belum datang.”

”Kalau dia kelihatan masuk lagi kerumah ini, langsung saja kejar, tidak enak rasanya ada maling berkeliaran di daerah kita.” aku berkata.
Suamiku mengangguk :” Ya teriak-teriak saja, nanti kita juga ikut mengejar sama-sama, bikin rusuh saja.”

Sebelum berpamitan , kami bersalam-salaman, senang juga setidaknya di tempat terpencil ini, kita punya teman senasip.

Aku sering tidak habis pikir, jadi dirumah serba lengkap ini, jika siang hari, aku selalu  merasa ketar-ketir sendiri.

Jika suami dan pak Pardi pergi ke kantor, tinggal kita perempuan dan seorang bocah yang baru berumur 1,5 tahun, anakku semata wayang.

Eyang lumayan sepuh, berumur 60 tahun, aku, 33 tahun, dan dua pembantu yang masih cukup muda, berumur sekitar 20 tahunan, Warsih berumur 25 tahunan.

Pasti suatu sasaran dan mangsa empuk bagi seseorang yang bermaksud jahat.
Tidak ada tetangga yang bisa di mintai tolong dengan cepat jika terjadi sesuatu.

Kita seperti terasing dan terpenjara dirumah besar ini – telpon juga tidak ada.

Ternyata bukan cuma aku yang gelisah, suamiku juga mulai kurang nyaman meninggalkan kami “ sendirian” jika dia kekantor.

Sepulang kantor sering aku lihat dia memeriksa dan memperbaiki jendela atau pintu yang kurang benar di bantu pak Pardi.

Sebenarnya semua pintu jendela sudah di pasang tralis yang kuat kokoh dan pasti sulit di buka atau di congkel dari luar. Mur pengikat yang dipasang di jendela  juga banyak sekali.

Yang juga menggelisahkan, jika malam hari, semua juga selalu was-was, ketakutan,deg-deg-an, dan terkaget –kaget.
 Jengkelnya jika si hantu disitu bikin ulah dan berbuat usil lagi terhadap pembantu, Warsih atau eyang yang sudah sepuh.

Kadang mereka menampakkan diri ditempat gelap, sehingga pasti membuat kaget dan ketakutan.

Anehnya, sampai sejauh itu “sang penunggu” rumah atau apa yang disebut hantu belum pernah menyapaku

Sering suami menawari aku untuk pindah mencari rumah kontrakan saja dikota
 Jadi rasanya enak di dalam kota, ramai lebih nyaman dan aman.

Dan entah kenapa aku selalu menggeleng.

Jauh di dalam hati, rasanya aku malah seperti punya tantangan untuk bisa mengetahui semua masalah tetek-bengek ini dengan benar..


Siang itu Mi bercerita jika pak Burhan, bapak tua penunggu kebun disebelah rumah kemalingan

:” Bersih bu, semua digondol, termasuk bahan makanan, ada satu dos mie di bawa juga, jadi dia gak punya lauk. ” aku geleng-geleng.

Sulit mencari satu dos mie instant ditempat terpencil seperti itu, soalnya tidak ada yang jual di dekat daerah situ, harus kekota yang jauh.

Aku mengajak Mi dengan membawa satu dos mie instant, kopi gula dan beras kerumahnya,
Waktu kita datang, ada tamu lain yang membawa satu kresek baju dan mie instan untuk pak Burhan.

Namanya pak Dullah, penjaga rumah sebelah rumah kami, aku segera mengenalkan diri

Ternyata maling itu amat meresahkan, yang paling di satroni adalah penghuni kompleks BRI di belakang hutan. Tidak boleh lena sedikit, apapun di embat, dari makanan, peralatan elektronik, sepeda dan pasti duit, perhiasan serta banyak yang lain

Bahkan terbentik berita juga ada preman baru, mencegat di jalan sepi, antara jalan raya dan jalan masuk ke kompleks BRI, membawa golok.

Korbannya sudah cukup banyak.
Jika di kejar masuk kehutan di belakang rumah yang masih begitu lebat.

” Orangnya apa sama dengan maling itu pak ?” aku tanya.

” Tidak bu, penodong itu rambutnya gimbal, kulit hitam. Saya pernah ngejar dengan orang kompleks, tapi dia masuk hutan. “ keduanya mengiyakan

“Kita tidak berani terus, hutannya masih lebat sekali. Ibu saja yang hati-hati jika siang hari, bapak dan pak Pardi kan di kantor” aku mengangguk, dan berterima kasih.

”Oh iya, pak Burhan dan pak Dullah pernah lihat hantu di rumah saya ya ?” aku tanya, mereka hampir bersamaan mengangguk dan bergidik.

:”Kalau malam Jum’at ada bau kemenyan, itu dipohon besar di belakang rumah ibu. Ada pocong dan kuntilanaknya, kadang dengar tertawa cekikikan. Pernah lihat ada yang bergelantungan di situ, saya lari jungkir-balik pulang kerumah” aku lihat pak Dullah dan pak Burhan bergidik.

” Ini saya mrinding kalau ingat bu, gak berani lewat situ lagi jika malam,  gawat, ngeri” setelah bincang sana-sini, aku dan Mi pamitan.

Waktu jalan pulang, aku sempat melihat pohon besar yang tampak dari luar, ternyata besar dan rimbun sekali pohon itu. Mi ikut memperhatikan dan langsung berlari pulang.

Waktu malam suamiku bertanya, “Kamu tidak takut ya berdiam didaerah rawan seperti itu,” aku menggeleng .”Aku bahkan kepingin tahu, ada apa semua didaerah ini ?, ” aku makin yakin.

” Kita kan bisa minta tolong polisi jika terpaksa.” aku berkata, dia mengangguk :” Ya, terserah kamu saja, kita hadapi bersama.”

Jadi acara rutin kita, sebelum suami berangkat ke kantor, segala urusan rumah harus sudah selesai. Masak, cuci, bersih-bersih harus sudah beres..

Begitu suami dan pak Pardi berangkat kekantor, rumah kita kunci rapat dari dalam.

Kami hanya menggunakan kamar tengah, ditambah kamarku serta kamar depan, kamar eyang dan anakku serta pembantu.

Kamar yang lain kami kunci semua, bahkan suami dan pak Pardi yang memeriksanya lagi, sebelum mereka berangkat kekantor.

Dan pintu itu baru di buka jika suami dan pak Pardi datang, sekitar jam 14.00 lebih.

Ada beberapa hari kita hidup seperti itu, tapi lama-lama aku merasa kurang nyaman juga, merasa gerah.

Apa lalu enaknya hidup seperti ini, terkurung dan tergantung pada para lelaki, serta tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku minta pada suami untuk mulai lagi belajar melancarkan menembak di halaman belakang, mungkin bisa untuk membiasakan diri (lanyah, bhs.Jawa) jaga diri jika terpaksa dilakukan.

 Suami membuat sasaran tembak dengan menancapkan kayu, dan di atasnya di gantung kaleng susu bekas anakku, ada yang besar, sedang dan kecil.

Suamiku ternyata masih jago nembaknya, tidak pernah meleset, dia dahulu memang jagoan tembak di club.

Aku juga masih lumayan, ada yang melest, itupun selalu pelurunya nyerempet kaleng sasaran tembak dan kalengnya terpental.

Tumbuh juga rasa percaya diri . Tetapi terfikir juga, kalau malah senjata ini bisa di rebut, seperti senjata makan tuan jadinya, aku harus ekstra hati-hati.

Ah, tapi tidak setiap orang mengerti dan bisa menggunakan senjata seperti ini, ada pengunci dan pembukanya,… aku jadi tegar lagi.

Senjata ini aku simpan di lemari baju dikamar ku dan kukunci, kuncinya kusimpan di tempat yang hanya aku yang tahu.

Yang senapan angin aku taruh diatas lemari, sedangkan yang senjata api disimpan rapi dalam lemar, diatara gaun di gantungan dalam almari itu.

Senjata api laras panjang, merk Walther, kaliber 5,6 ini cukup berbahaya, dengan daya ledak yang cukup keras.

Bisa diisi dengan lima peluru sekaligus. Bisa ditembakkan berturutan, agak berat di sandang tapi terasa mantap sekali..
Aku rasanya akrab lagi bermain dengan bedil, dahulu waktu masih di Perbakin termasuk jagoan juga.

Beberapa hari terasa aman-aman saja, tidak terdengar tentang maling, hantu atau penodong di daerah sekitar sini

Aku mulai suka jalan-jalan lagi melihat sekeliling rumah, melihat aneka tanaman yang tumbuh begitu subur.
Pepaya buahnya banyak sekali bergantungan, ada beberapa yang mulai berleret kuning, tanda sudah tua hampir masak.

Mungkin beberapa hari lagi bisa di panen, aku suka memandanginya

Pohon pisang juga banyak yang berbunga dan berbuah, ada satu tandan yang kelihatannya mulai tua, lainnya mungkin masih agak lama

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun