Waktu jalan pulang, aku sempat melihat pohon besar yang tampak dari luar, ternyata besar dan rimbun sekali pohon itu. Mi ikut memperhatikan dan langsung berlari pulang.
Waktu malam suamiku bertanya, “Kamu tidak takut ya berdiam didaerah rawan seperti itu,” aku menggeleng .”Aku bahkan kepingin tahu, ada apa semua didaerah ini ?, ” aku makin yakin.
” Kita kan bisa minta tolong polisi jika terpaksa.” aku berkata, dia mengangguk :” Ya, terserah kamu saja, kita hadapi bersama.”
Jadi acara rutin kita, sebelum suami berangkat ke kantor, segala urusan rumah harus sudah selesai. Masak, cuci, bersih-bersih harus sudah beres..
Begitu suami dan pak Pardi berangkat kekantor, rumah kita kunci rapat dari dalam.
Kami hanya menggunakan kamar tengah, ditambah kamarku serta kamar depan, kamar eyang dan anakku serta pembantu.
Kamar yang lain kami kunci semua, bahkan suami dan pak Pardi yang memeriksanya lagi, sebelum mereka berangkat kekantor.
Dan pintu itu baru di buka jika suami dan pak Pardi datang, sekitar jam 14.00 lebih.
Ada beberapa hari kita hidup seperti itu, tapi lama-lama aku merasa kurang nyaman juga, merasa gerah.
Apa lalu enaknya hidup seperti ini, terkurung dan tergantung pada para lelaki, serta tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku minta pada suami untuk mulai lagi belajar melancarkan menembak di halaman belakang, mungkin bisa untuk membiasakan diri (lanyah, bhs.Jawa) jaga diri jika terpaksa dilakukan.