:”Tidak bisa ketemu ?,” aku tanya :” Tidak bu seperti hilang, sampai sore waktu itu kita carinya.” beberapa pria mengangguk membenarkan.
”Tadi malam dia kepergok lagi dan kita kejar, larinya ke jalan besar. Saya pakai sepeda motor, dia terus lari menuju jalan besar dan masuk kesini bu.” dia kelihatan amat yakin dengan penglihatannya
”Pernah juga kita mengejar dengan pak Pardi malam-malam di pekarangan ini, tetapi tidak ketemu, waktu itu ibu dan bapak belum datang.”
”Kalau dia kelihatan masuk lagi kerumah ini, langsung saja kejar, tidak enak rasanya ada maling berkeliaran di daerah kita.” aku berkata.
Suamiku mengangguk :” Ya teriak-teriak saja, nanti kita juga ikut mengejar sama-sama, bikin rusuh saja.”
Sebelum berpamitan , kami bersalam-salaman, senang juga setidaknya di tempat terpencil ini, kita punya teman senasip.
Aku sering tidak habis pikir, jadi dirumah serba lengkap ini, jika siang hari, aku selalu merasa ketar-ketir sendiri.
Jika suami dan pak Pardi pergi ke kantor, tinggal kita perempuan dan seorang bocah yang baru berumur 1,5 tahun, anakku semata wayang.
Eyang lumayan sepuh, berumur 60 tahun, aku, 33 tahun, dan dua pembantu yang masih cukup muda, berumur sekitar 20 tahunan, Warsih berumur 25 tahunan.
Pasti suatu sasaran dan mangsa empuk bagi seseorang yang bermaksud jahat.
Tidak ada tetangga yang bisa di mintai tolong dengan cepat jika terjadi sesuatu.
Kita seperti terasing dan terpenjara dirumah besar ini – telpon juga tidak ada.
Ternyata bukan cuma aku yang gelisah, suamiku juga mulai kurang nyaman meninggalkan kami “ sendirian” jika dia kekantor.