"Coba buka mulutmu," perintah Tama setegas komandan militer.
Aku membuka mulutku lebar-lebar dan menjulurkan lidah untuk memperlihatkan pecahan Butternuts. "Percaya tidak?"
Tama mendengus. "Benarkah kau tidak mengudap cemilanku sama sekali?"
Cuping hidungku sedikit mengernyit. Tapi, mata Tama yang setajam elang tak pernah luput.
"Kau bohong, kan? Mengakulah, Ray. Kau curi cemilanku, ya?"
Aku menggelengkan kepala sekuat mungkin hingga tulang leherku terasa patah. Keringat dingin membasahi tengkukku. Ini pertaruhan hidup dan mati.
Tama menatapku curiga. Ia persis agen KGB. Secepat kilat, ia mengambil bungkus kosong cemilan kulit ikan mas yang kusembunyikan di balik bantal.
"Ini apa, Ray Sayang?" Tanya Tama dengan suara selembut sutera.
Aku menelan ludah. Tamat sudah riwayatku. Tama semakin mendekat dan...
"AW, dengarkan penjelasanku dulu," ujarku sembari menahan kedua tangan Tama yang hendak mencakarku. "Aku mengaku salah. Tapi, aku hanya makan sebungkus."
Bulu Tama berdiri tegak. Kumisnya terus bergetar seperti garputala. Ia mendesis, "Teganya kau melakukan ini, Ray. Padahal aku sudah menganggapmu sebaik Nona Missy."