"Ray, akhir-akhir ini kau merasa ada yang aneh, tidak?"
"Hmmm. Kau bicara apa? Aku tak mendengar dengan jelas."
"Tak sopan bicara padaku yang lebih tua sembari menggunakan headset," gerutu Tama. Tanpa mempedulikan aku yang sedang asyik mendengarkan lagu 'Hoostabank' -- the Reason, ia menepis headset-ku dengan kaki kanan belakangnya. Jadi, siapa sekarang yang tak sopan? Siapa yang memamerkan bokong berbulu jabrik di depan hidungku? Dan sekarang siapa yang menambah beban dengan rebahan seenaknya di punggungku yang sedang push up?
Aku bersin karena bulu Tama yang rontok yang menggelitik hidungku. "Aneh bagaimana?" Tanyaku sembari push-up. Untuk memburu hantu, memerlukan tubuh yang bugar, bukan? Sebenarnya, aku malu karena stamina Ranko lebih kuat dariku. Ia bisa naik turun 100 anak tangga tanpa kehabisan napas.
"Aku merasa ada sesuatu yang mengawasi kita. Tapi, aku tak bisa mendeteksi makhluk mistis apakah itu," ujar Tama. Keningnya berkerut dalam ketika berpikir. "Aku tak merasa adanya kekuatan jahat, tapi siapa yang bisa memastikan?"
"Sejak kapan kau merasa kita diawasi?" Tanyaku dengan napas terengah-engah.
"Sejak kita pulang dari rumah Nenek Dian, neneknya Ranko.
"Aneh, mengapa kau terasa berat sekali?" Keluhku.
"Turunlah Tama. Kau makan ikan terus, ya?"
"Jangan banyak mengeluh. Kau ingin tubuh berotot untuk mempesona Ranko, kan?"
"Tidak," sahutku dengan jengah. Pipiku merona merah tanpa kusadari. "Aku hanya ingin stamina tubuhku lebih kuat saat memburu hantu.
Tama terkikik. Ia malah menyenderkan kepalanya dengan santai di bagian belakang leherku. "Teruskan perjuanganmu untuk memperoleh tubuh Rambo, Nak. Aku mendukungmu."
"AAAARGH, apa yang kau lakukan? Punggungku terasa patah. Kau sengaja membuat dirimu terasa sangat berat, ya?" Tuduhku.
Sembari rebahan, Tama menjilat telapak kakinya satu per satu dengan sangat santai. Ia berkata, "Aku tak mendengar apa-apa. Untuk meraih hati Ranko, kau harus berjuang lebih keras. Kau tahu aku sangat menyayangi gadis itu."
Aku menggerutu panjang pendek. Sementara itu, tanpa aku dan Tama ketahui, ada sepasang mata sebesar bola tenis yang memperhatikan dengan intens dari kolong tempat tidur Ray.
***
"Tama, di mana sih kaus kakiku kesukaanku? Aku hendak bertanding futsal." Seruku.
"Yang polkadot merah muda ini?" Tanya Tama sembari melempar sepasang kaus kaki pemberian Ranko saat ulang tahunku.
"Tantu saja bukan. Aku bisa ditertawai habis-habisan oleh anggota tim. Masa kapten tim futsal memakai warna Barbie?"
Tama terkekeh. "Tak ada lagi. Hanya itu kaus kaki di dalam lemari pakaianmu."
"Yang benar saja? Aku memiliki beberapa pasang kaus kaki hitam atau pun putih."
Tama menghela napas dan berkata, "Jika tak percaya, kau periksa saja sendiri isi lemari pakaianmu yang berantakan. Aku sudah membereskan beberapa kali, tapi kau tetap saja mengacaknya."
Dengan gusar, aku mencari sepasang kaus kaki. Tak ada di dalam lemari pakaian, aku mencari di laci, di keranjang pakaian kotor, dan kamar mandi. Tapi, nihil.
"Nak, kuperingatkan kau. Jangan mencari di buffet yang isinya sudah kurapikan ini. Aku bukan istri atau pun sekertarismu yang harus membereskan segala hal."
"Aku terlambat, Tama. Teman-teman futsal sudah menungguku. Kami akan bertanding melawan Tim Baruna."
Tanpa mempedulikan ocehan Tama, aku mengobrak-abrik isi buffet. Dengan seruan penuh kemenangan, aku menarik sepasang kaus kaki abu-abu dari sudut laci buffet. Kemudian, aku memakainya sembari bersiul-siul. Dengan kaus kaki abu-abu ini, aku percaya diri untuk memenangkan pertandingan futsal pagi ini.
Tama mengeluh. Sembari bersungut-sungut, ia membereskan kamar Ray yang porak poranda. Ia tak menguasai sihir yang bisa membersihkan kamar dalam satu jentikan. Sementara itu, di kolong kasur Ray, sepasang mata hijau berpendar puas. Makhluk itu mendengus lembut sembari mencium setumpukan kaus kaki Ray.
***
"Ray, kau melihat cemilan kulit ikan mas-ku? Ranko memberikan 5 bungkus. Aku baru makan 2 bungkus. Tapi, aku tak bisa menemukan sisanya. Apa kau memakannya?" Tanya Tama penuh selidik. Kumisnya bergerak-gerak naik turun.
Aku menggelengkan kepala sembari mengerjakan latihan soal untuk ujian masuk universitas tahun depan. Mulutku mengulum Butternuts. Aku sangat menyukai permen kacang yang lumer ini.
"Apa yang sedang kau makan? Apa itu cemilanku?" Tanya Tama dengan gusar. Ia sudah kecanduan cemilan kulit ikan mas yang digoreng crispy.
"Permen kacang. Kau mau?" Tanyaku dengan mimik innocent.
"Coba buka mulutmu," perintah Tama setegas komandan militer.
Aku membuka mulutku lebar-lebar dan menjulurkan lidah untuk memperlihatkan pecahan Butternuts. "Percaya tidak?"
Tama mendengus. "Benarkah kau tidak mengudap cemilanku sama sekali?"
Cuping hidungku sedikit mengernyit. Tapi, mata Tama yang setajam elang tak pernah luput.
"Kau bohong, kan? Mengakulah, Ray. Kau curi cemilanku, ya?"
Aku menggelengkan kepala sekuat mungkin hingga tulang leherku terasa patah. Keringat dingin membasahi tengkukku. Ini pertaruhan hidup dan mati.
Tama menatapku curiga. Ia persis agen KGB. Secepat kilat, ia mengambil bungkus kosong cemilan kulit ikan mas yang kusembunyikan di balik bantal.
"Ini apa, Ray Sayang?" Tanya Tama dengan suara selembut sutera.
Aku menelan ludah. Tamat sudah riwayatku. Tama semakin mendekat dan...
"AW, dengarkan penjelasanku dulu," ujarku sembari menahan kedua tangan Tama yang hendak mencakarku. "Aku mengaku salah. Tapi, aku hanya makan sebungkus."
Bulu Tama berdiri tegak. Kumisnya terus bergetar seperti garputala. Ia mendesis, "Teganya kau melakukan ini, Ray. Padahal aku sudah menganggapmu sebaik Nona Missy."
"Hanya sebungkus," rengekku. "Masa kau murka padaku hanya karena sebungkus cemilan kulit ikan mas. Aku lapar sekali saat tengah malam. kemarin. Sedangkan kau entah di mana. Jadi, aku tak sempat meminta terlebih dahulu."
"Kau berbohong padaku. Padahal aku sangat menyukai cemilan itu. Ranko membelikannya khusus untukku di Sukabumi. Kau malah habiskan semua," isak Tama. Kedua matanya berlinang.
"Aku hanya makan sebungkus..."
Tama mendelik marah. Ia mendengus keras.
"Kuganti sebungkus, ya? Aku akan memesan cemilan itu dari toko online," bujukku.
Tama membisu.
"Tiga bungkus."
Kumis Tama sedikit bergetar. Tapi, ia tetap membisu.
"Lima bungkus."
"Sepuluh bungkus."
"Ah, ini perampokan," keluhku. "Aku kan hanya makan sebungkus, tapi harus ganti 10 bungkus."
"Terserah. Kau mau mengganti 10 bungkus atau kita perang dingin."
Aku menyerah dan berkata, "Tapi Tama, siapa yang makan dua bungkus cemilan, ya? Aku benar-benar hanya makan sebungkus."
"Mungkin kau lupa," ujar Tama sembari menelengkan kepala. Ia membuka pintu lemari pakaianku dan menggigit 2 bungkus kosong cemilan kulit ikan mas. Lalu, tanpa berkata apa-apa ia menyodorkan kedua bungkus kosong tersebut.
Aku mengernyitkan dahi. Masa iya, sih? Kapan aku menyantap dua bungkus cemilan kulit ikan mas.
Tanpa sepengetahuanku dan Tama, ada makhluk mistis yang tidur nyenyak di dalam keranjang pakaian kotor. Ia kasat mata bagi manusia. Ia juga bisa menyembunyikan dirinya dari Tama, si hantu kucing. Remahan cemilan kulit ikan mas bertaburan di sekitar mulutnya. Siapakah ia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H