"Tidak," sahutku dengan jengah. Pipiku merona merah tanpa kusadari. "Aku hanya ingin stamina tubuhku lebih kuat saat memburu hantu.
Tama terkikik. Ia malah menyenderkan kepalanya dengan santai di bagian belakang leherku. "Teruskan perjuanganmu untuk memperoleh tubuh Rambo, Nak. Aku mendukungmu."
"AAAARGH, apa yang kau lakukan? Punggungku terasa patah. Kau sengaja membuat dirimu terasa sangat berat, ya?" Tuduhku.
Sembari rebahan, Tama menjilat telapak kakinya satu per satu dengan sangat santai. Ia berkata, "Aku tak mendengar apa-apa. Untuk meraih hati Ranko, kau harus berjuang lebih keras. Kau tahu aku sangat menyayangi gadis itu."
Aku menggerutu panjang pendek. Sementara itu, tanpa aku dan Tama ketahui, ada sepasang mata sebesar bola tenis yang memperhatikan dengan intens dari kolong tempat tidur Ray.
***
"Tama, di mana sih kaus kakiku kesukaanku? Aku hendak bertanding futsal." Seruku.
"Yang polkadot merah muda ini?" Tanya Tama sembari melempar sepasang kaus kaki pemberian Ranko saat ulang tahunku.
"Tantu saja bukan. Aku bisa ditertawai habis-habisan oleh anggota tim. Masa kapten tim futsal memakai warna Barbie?"
Tama terkekeh. "Tak ada lagi. Hanya itu kaus kaki di dalam lemari pakaianmu."
"Yang benar saja? Aku memiliki beberapa pasang kaus kaki hitam atau pun putih."