Tama menghela napas dan berkata, "Jika tak percaya, kau periksa saja sendiri isi lemari pakaianmu yang berantakan. Aku sudah membereskan beberapa kali, tapi kau tetap saja mengacaknya."
Dengan gusar, aku mencari sepasang kaus kaki. Tak ada di dalam lemari pakaian, aku mencari di laci, di keranjang pakaian kotor, dan kamar mandi. Tapi, nihil.
"Nak, kuperingatkan kau. Jangan mencari di buffet yang isinya sudah kurapikan ini. Aku bukan istri atau pun sekertarismu yang harus membereskan segala hal."
"Aku terlambat, Tama. Teman-teman futsal sudah menungguku. Kami akan bertanding melawan Tim Baruna."
Tanpa mempedulikan ocehan Tama, aku mengobrak-abrik isi buffet. Dengan seruan penuh kemenangan, aku menarik sepasang kaus kaki abu-abu dari sudut laci buffet. Kemudian, aku memakainya sembari bersiul-siul. Dengan kaus kaki abu-abu ini, aku percaya diri untuk memenangkan pertandingan futsal pagi ini.
Tama mengeluh. Sembari bersungut-sungut, ia membereskan kamar Ray yang porak poranda. Ia tak menguasai sihir yang bisa membersihkan kamar dalam satu jentikan. Sementara itu, di kolong kasur Ray, sepasang mata hijau berpendar puas. Makhluk itu mendengus lembut sembari mencium setumpukan kaus kaki Ray.
***
"Ray, kau melihat cemilan kulit ikan mas-ku? Ranko memberikan 5 bungkus. Aku baru makan 2 bungkus. Tapi, aku tak bisa menemukan sisanya. Apa kau memakannya?" Tanya Tama penuh selidik. Kumisnya bergerak-gerak naik turun.
Aku menggelengkan kepala sembari mengerjakan latihan soal untuk ujian masuk universitas tahun depan. Mulutku mengulum Butternuts. Aku sangat menyukai permen kacang yang lumer ini.
"Apa yang sedang kau makan? Apa itu cemilanku?" Tanya Tama dengan gusar. Ia sudah kecanduan cemilan kulit ikan mas yang digoreng crispy.
"Permen kacang. Kau mau?" Tanyaku dengan mimik innocent.